Pindah
Setiap aku dari kita semua adalah Ruh Muhammad
Setiap diri dari kita semua adalah Nur Muhammad
-emha ainun nadjib: setiap aku adalah muhammad-
Karena perlakuan penduduk Makkah yang sangat tidak manusiawi, Nabi Muhammad S.A.W. ditemani Zaid bin Haritsah berkehendak hijrah dari kota kelahiran tercinta menuju Thaif, sebuah wilayah sejuk sekira 75 KM sebelah tenggara Makkah dengan ketinggian 1700 mdpl. Namun apa mau dikata, penduduk Thaif masih belum menerima keberadaan Nabi, mereka mengusirnya, melemparinya dengan batu hingga darah mengucur, tidak terima dengan hal tersebut Malaikat Jibril berniat menimpakan gunung Akhsyabin untuk mengubur penduduk Thaif yang kurang ajar.
Nabi penuh kasih dan berpandangan jauh ke depan hanya mengharap belas kasih Allah, dengan menyampaikan permohonan, “Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kekurangan daya upayaku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maha Rahim, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhan pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan nasibku? Kepada orang jauhkah yang berwajah muram kepadaku atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli sebab sungguh luas kenikmatan yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada nur wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan karena itu yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat dari kemurkaan-Mu dan yang akan Engkau timpakan kepadaku. Kepada Engkaulah aku adukan halku sehingga Engkau ridha kepadaku. Dan tiada daya upaya melainkan dengan kehendak-Mu”.
Asalkan Engkau tidak murka, sebuah ungkapan kerendahatian dan ketawaduan serta kepasrahan total dari seorang kekasih Tuhan, aku tidak peduli sebab sungguh luas kenikmatan yang Engkau limpahkan kepadaku, yang dilanjutkan dengan kebersyukuran yang tak terhingga, semakin menandakan bahwa Sang Nabi seorang manusia pinilih, halus budi pekertinya, tidak semena-mena dan tidak mentang-mentang bahwa beliau seorang Rasul akhir zaman.
Penolakan oleh penghuni Thaif, tidak menyurutkan niat Nabi untuk mencari wilayah yang lebih kondusif dalam menebarkan rahmat bagi seluruh alam. Madinah, yang waktu itu masih bernama Yatsrib sebuah daerah sekira 450 Km timur laut Makkah, dipandang lebih kondusif dalam menebarkan benih-benih kedamaian Islam.
Persiapan-persiapan pendahuluan telah dilakukan, para sahabat satu demi satu mulai berhijrah ke Madinah, didahului dengan perjanjian Aqabah antara Nabi dan 12 perwakilan penduduk Madinah, semakin memantapkan tekad untuk bersegera melangkahkan kaki ke sana.
Awalnya beberapa penduduk Madinah melaksanakan haji dan menemui Rasul serta menyatakan kesetiaannya, diikuti dengan perjanjian Aqabah ke-2 yang dihadiri 73 penduduk Madinah. Kondisi masyarakat kedua kota pada saat itu sedang dalam kondisi memanas. Di Makkah, Nabi Muhammad S.A.W. baru saja ditinggal istri tercinta, Bunda Siti Khadijah, dan paman yang sangat disayang, Abu Thalib.
Kaum Quraisy yang belum bisa menerima bahwa salah satu anggota keluarganya diangkat Allah menjadi Nabi, telah bersepakat untuk mengirim wakil masing-masing suku dalam rangka melakukan pembunuhan berencana kepada Nabi Muhammad agar tidak lagi meneruskan kegiatannya menebarkan kebaikan. Di Madinah suku Aus dan Khazraj juga sedang bersinggungan kembali, dan sewaktu-waktu bisa terjadi perang yang sangat merugikan kedua belah pihak, dan kedatangan Sang Nabi diharapkan mampu meredakan ketegangan tersebut.
Ternyata momentum bagi Sang Nabi telah disiapkan oleh Sang Pencipta dengan sedemikan tepat dan indah. Di saat kondisi Makkah sedang memanas dan memuncak dalam menghalang-halangi dan membangun tembok penghalang bagi tugas Nabi, Allah memberikan solusi dengan kondisi Madinah yang sangat kondusif dan sudah menantikan kedatangan Sang Nabi. “Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat” (Q.S. 67: 3).
Persiapan dan perencanaan telah disusun dengan sangat rapi oleh Nabi, dalam mengantisipasi nafsu angkara kaum Quraisy dan rencana perjalanan ke Madinah yang membutuhan waktu dan bekal yang tidak sedikit. Siapa yang akan menggantikan Nabi untuk tidur di rumahnya, siapa yang akan menemani dalam perjalanan, siapa yang akan menjadi penunjuk jalan, bekal apa saja yang mesti dibawa, tempat persinggahan yang mana untuk mengelabuhi para pemburu Quraisy, dan ubo rampe sedetil-detilnya, semua telah tercentang menandakan bahwa perjalanan panjang, berbahaya dan sulit namun penuh berkah akan segera dilakukan.
Setelah menempuh perjalanan selama 26 hari (hampir sebulan lamanya) di tengah terpaan cuaca yang demikian ekstrim, jangan bayangkan seperti sekarang yang Makkah Madinah dapat ditempuh selama 5-6 jam menggunakan moda transportasi bus, dengan sarana dan prasarana jalan yang lurus tanpa hambatan dan pendingin yang menyembur dari kiri dan kanan sisi penumpang, Nabi menempuhnya dengan tertatih-tatih di atas punggung onta, yang terkadang mesti menghindar dari keramaian dan kemungkinan untuk berpapasan dengan rombongan kafilah dari daerah lain yang juga menuju tempat yang sama, serta menghindari pencari jejak yang disebar oleh suku Quraisy.
Sesampai di Madinah, tugas pertama yang dilakukan Nabi adalah mendirikan masjid sebagai tempat beliau menebarkan cahaya bagi seluruh alam semesta. Nabi tidak mendirikan negara, tidak membentuk kerajaan, tidak membuat batas dan sekat, hanya menyatukan kedua suku yang sedang bertikai, Aus dan Khazraj, menjadi suatu komunitas masyarakat yang oleh peradaban modern saat ini disebut sebagai masyarakat madani, masyarakat beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Nurcholis Madjid).
Meski Nabi tidak menjadi presiden atau raja, kepala kampung atau kepala desa, gubernur atau bupati, namun masing-masing individu mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan sangat baik, tanpa rantai komando yang memerlukan rentang birokrasi yang panjang. Dan untuk menandai peristiwa penting ini, Sayyidina Umar mengusulkan bahwa peristiwa perjalanan Nabi dari Makkah ke Madinah sebagai tahun pertama Hijriah.
KPPN Kediri sebagai suatu entitas kecil telah mampu menunjukkan konsep sebagai masyarakat madani. Dalam suatu kegiatan yang telah direncanakan dan ditetapkan untuk dilaksanakan bersama, masing-masing person telah mengetahui tugasnya, siapa menata bunga diatas meja, menyiapkan makanan kecil, snack dan kudapan di sudut ruangan, siapa yang memesan nasi kotak lengkap dengan kantong kresek untuk dibawa pulang, siapa bertugas sebagai pranatacara, menyetel tata suara, membuat taman kecil di depan panggung, menyambut tamu, menata dan mengarahkan parkir kendaraan, bahkan menyiapkan tissu dan tempat sampah serta mempersiapkan kamar mandi bila ada tamu yang memerlukannya.
Demikian juga dengan pelaksanaan pekerjaan sehari-hari, siapa melakukan apa, bagaimana dengan siapa telah tertata dengan sedemikian hingga dapat berjalan dengan baik. Tak ada udur-uduran, tak ada mban cinde mban siladan, semua melaksanakan dengan sepenuh hati dan segenap jiwa, selayaknya slogan kendaraan bermotor atau sebuah klub sepak bola.
Selamat tahun baru 1445 Hijriah.