Kediri

Uang

Yang tidak bisa kulawan ialah

Cinta-Mu yang tak pernah luntur kepadaku

-ean: kepada tuhanku-

Pastinya Tuhan tidak menurunkan manusia pertama ke bumi bila tidak disangoni dan dibekali segala sesuatu yang dapat menopang dan menjaga keberlangsungan hidupnya di kondisi dan situasi yang sangat jauh berbeda, bahkan bertolak belakang dengan kondisi dan situasi sebelumnya di mana mbah Adam bertempat tinggal, dunia tempat segala duka, nestapa, lara, bahagia, ceria dan gembira bercampur menjadi satu.

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!" (Q.S. 2: 31).

Setelah berketurunan, menurut mbah Ibnu Katsir, Nabi Adam memiliki putra putri 40 orang dari 20 kehamilan Bunda Siti Hawa, riwayat lain menyebutkan 240 dengan 120 kali kehamilan, terbentuklah suatu komunitas masyarakat, suatu ikatan sosial, bertetangga dan bebrayan.  Setelah beranak pinak hingga 400 ribu jiwa, bapak pertama waktunya kembali ke haribaan Tuhan, maka anak-anaknyalah yang meneruskan tugas memakmurkan bumi sebagai khalifah, sebagai perwakilan Tuhan di bumi.

Dengan semakin bertambahnya manusia yang lahir di bumi, mau tidak mau dan suka tidak suka, masing-masing individu akan berinteraksi dengan tetangga di sebelahnya, baik sebelah rumah, sebelah desa, kampung atau yang lebih luas lagi tetangga antar negara. Saat ini dengan era kemajuan teknologi informasi yang tak terbendung oleh apapun dan terkadang menyerimpung kaki sang pembuat sendiri, makna tetangga tak lagi dibatasi dengan garis wilayah maupun lokasi, tak ada batas ruang dan waktu.

Ketika zaman masih ramai dengan pembicaraan, orang saling melempar kata dan kalimat secara langsung, tidak seperti saat ini ketika pembicaraan diwakili sebaris kalimat dan tulisan lewat aplikasi pesan singkat, untuk ngrasani tetangga, ngomongin perkara gawat maupun ngobrolin hal genting tentang negara, sekelompok lelaki akan berkumpul di sebuah warung kopi maupun sebuah halaman rumah sambil menikmati sore.

Lain dengan para ibu, untuk bisik-bisik tetangga bisa lewat acara petan, sebuah kebiasaan untuk mencari tumo maupun lingso, sebuah makhluk Tuhan yang entah kenapa senang berkembang biak di kepala manusia yang rambutnya tumbuh lebat dan mengakibatkan gatal tak terkira di kulit kepala. Hingga ketika ada orang yang menyatakan keheranannya dengan menggaruk kepala akan dikatakan ora eneng tumone kok kukur-kukur.

Teriris oleh ruang dan waktu, nama-nama (benda-benda) seluruhnya yang diajarkan langsung oleh Allah kepada mbah Adam sedikit demi sedikit terkikis, hingga tidak lagi seluruhnya yang dipunyai dan diingat oleh anak cucu mbah Adam, namun demikian manusia dikaruniai kemampuan untuk senantiasa belajar.

Ketika masih dalam komunitas yang sedikit dan belum memerlukan segala barang dan jasa yang mendukung kehidupan, kebutuhan satu sama lain diperoleh dengan saling memberi dan bertukar benda, maka dalam budaya masyarakat Jawa antar tetangga ada istilah nempil. Seorang ibu rumah tangga yang memerlukan satu dua siung bawang, dari pada jauh pergi ke pasar dan memerlukan biaya yang lebih besar dari harga dua siung bawang, solusi praktis adalah nempil ke tetangga sebelah rumah. Dan ini semacam utang tidak resmi, tidak tercatat yang suatu saat nanti akan dikembalikan dalam bentuk barang yang sama, atau barang lain dengan nilai yang sama atau lebih, atau diikhlaskan begitu saja oleh si pemberi.

Dengan semakin bertambahnya anggota masyarakat di suatu komunitas, semakin komplek dan rumit kebutuhan serta permasalahan yang dihadapi, pertukaran barang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari menjadi tidak efektif dan efisien. Kesulitan dalam menilai suatu barang yang dimiliki oleh anggota masyarakat untuk dipertukarkan dengan barang milik anggota yang lain, memberikan suatu pemikiran, yang tentunya juga diilhamkan oleh Tuhan, untuk membuat suatu alat tukar yang perlu kesepakatan bersama antar anggota masyarakat, bahwa diperlukan suatu benda untuk dijadikan alat tukar sebagai cara mempermudah serta menjadi pengetahuan bersama bahwa  alat tukar tersebut memiliki nilai yang sama dengan benda yang lain.

Disepakatilah, kerang, tulang, batu akik, batu mulia, tak lupa emas sebagai alat pertukaran paling awal di era peradaban manusia yang masih sangat sederhana (menurut pandangan manusia modern sekarang). Waktu demi waktu kebutuhan akan suatu barang tak lagi terbatas dalam satu wilayah dan daerah tertentu, namun telah merambah ke daerah yang lebih jauh, melewati gunung dan lautan, sehingga alat tukar berupa batu akik, batu mulia dan emas tak lagi efektif untuk dibawa menempuh perjalanan jauh. Terlalu risiko, berat, memerlukan tempat yang seharusnya dapat digunakan untuk memuat barang yang lain, belum lagi risiko kehilangan, perampokan, pencurian maupun kecelakaan.

Kembali Tuhan memberikan ilham bahwa harus dibuat suatu alat tukar yang nilainya sama dengan sejumlah logam mulia tertentu yang disepakati dan diterima oleh pihak dan bangsa manapun, ringan, mudah dibawa, tidak memakan tempat, juga dapat dipertanggungjawabkan. Sejak itu uang sebagai alat tukar (dan seiring perkembangan zaman alat tukarlah yang diperdagangkan yang menurut Imam Al-Ghozali haram hukumnya memperdagangkan alat tukar), berkembang hingga dalam wujud seperti saat ini, bahkan lebih popular lagi adanya uang plastik (kartu kredit maupun kartu debit), yang lebih mempermudah dalam melakukan pembayaran atas pembelian suatu barang dan jasa.

Sudah 77 tahun bangsa Indonesia memiliki mata uang sendiri, jangan membayangkan bagaimana perjuangan para pendiri bangsa dalam mengupayakan cara agar tidak tergantung dengan bangsa lain, terutama yang pernah menjajah negeri gimah ripah lohjinawi ini, dan salah satunya dengan memiliki alat tukar sendiri yang mencerminkan bahwa kita adalah negara yang berdaulat.

Bertransaksi dengan rupiah, menyimpan uang dalam rupiah, tidak melipat uang kertas, tidak menggunting, menulisi maupun mencoret dan menggambar di atas uang, adalah salah satu wujud mencintai rupiah.

…tidak mengkhianati amanat yang diberikan…

Pesan Menteri Keuangan yang dibacakan oleh Inspektur Upacara dalam peringatan Hari Oeang Republik Indonesia ke-77 di halaman KPPN Kediri dan diikuti oleh segenap insan Kemenkeu Satu Kediri Raya. Seiring perkembangan zaman yang sangat mengedepankan materialisme, sepenggal pesan yang akan menjadi tanggung jawab kita semua hingga di akhirat kelak.

Selamat Hari Oeang Republik Indonesia ke-77.

 

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Djuanda I Lt. 9
Gedung Prijadi Praptosuhardo II Lt. 1 Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat 10710
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

IKUTI KAMI

Search