Menunggu-Mu
Sebab kita hanya butuh juara-juara
-ean: dari puisi melebur bingkai kesenian ke bingkai kehidupan-
“Sebenarnya bila lampu sudah menyala kuning, kita para pengguna jalan harus bersiap-siap untuk mengurangi laju kendaraan, menekan tuas rem sedemikan hingga ketika lampu menyala merah tak lagi ada gerakan berhenti mendadak yang dapat mengagetkan pengendara yang ada di belakang kita”.
Aku hanya bisa mengurut kaki yang sedikit lecet di sana-sini, hampir tak kudengar petuah si kalem yang meluncur seperti gerimis di senja hari.
“Karena banyak orang yang masih belum bisa memahami antara sudah dan masih, jadinya ya seperti ini. Karena kamu memakai masih kuning, bukannya menekan tuas rem, yang ada malah gas pol, akibatnya kamu rugi, orang lain juga rugi. Kamu celaka dan mencelakai yang lain”.
Ia tak merasakan betapa perihnya kulit lecet terbentur aspal jalan, ditambah perihnya hati dinasihati setelah kejadian di perempatan tadi pagi.
“Memang kelihatannya sederhana, kata sudah dan masih ini, tapi dampaknya bila keliru menempatkan akan runyam, ya seperti ini. Kamu luka dan mengakibatkan orang lain luka. Dan juga tingkat kedewasaan seseorang dapat dilihat dari penggunaan sudah dan masih ini. Dulu kamu pernah bilang dewasa itu pilihan”.
Aku hanya sibuk mengurut kaki, parak tak mendengar kalimat yang keluar dari mulutnya.
“Buktinya kamu alami sendiri, pilihan antara sudah dan masih, Aku tidak menyalahkan siapa-siapa, hanya kita perlu mewaspadai segala sesuatunya, siapa tahu besok-besok kita akan berhadapan lagi dengan situasi yang memerlukan dua kata ini”.
Kaki sedikit kugeser, lebam di lutut masih terasa nyeri, senut-senut.
“Padahal berhenti di lampu merah itu salah satu bentuk menghormati orang lain, sikap rendah hati, dan yang jelas disiplin berlalu lintas. Dan kita sudah hafal, bahkan di luar kepala, disiplin adalah wujud nilai organisasi yang sangat kita junjung tinggi”.
Aku hanya bisa menganggukkan kepala sebagai tanda tidak menolak maupun menegasikan pernyataannya.
“Dan kala menunggu lampu hijau menyala (seolah tahu bantahan dalam batinku), kita bisa mengamati banyak hal. Terkadang ada manusia silver yang bergaya hormat sejenak, untuk selanjutnya menadahkan wadah yang juga seputih perak, berharap selembar dua lembar yang mungkin bagi sebagian besar kita tak ada artinya, namun di tangan mereka itu amat sangat berarti”.
“Bahkan kita juga bisa menulis banyak hal tentang manusia silver yang keberadaannya mungkin tidak dikehendaki oleh sistem yang ada. Dari segi ekonomi, politik, sosial, budaya, psikologi, hubungan kemanusiaan, maupun keamanan, sudah berapa artikel, makalah, buku yang bisa dihasilkan dari satu manusia silver”.
Kalimatnya mulai sederas hujan yang lama ditunggu kedatangannya oleh banyak kalangan.
“Apa kau kira mereka dulu saat sekolah punya cita-cita memeluk pekerjaan seperti yang saat ini dijalaninya. Pastinya mereka juga memiliki harapan dan angan-angan seperti anak-anak kecil Indonesia lainnya. Jadi polisi, tentara, dokter, pengacara, atau seperti anak-anak sekarang jadi youtubers, selebgram yang penuh dengan kegiatan artifisial”.
Jadi ingat lagunya Radiohead Fake Plastic Trees, sudah plastik fake pula.
“Atau bisa juga sambil membaca nasihat, pepatah dan petuah serta kalimat motivasi yang tertulis di bak belakang truk, yang bisa jadi pembelajaran buat kita. Kau bisa lihat ada lukisan perempuan cantik, meski cantik itu relatif katamu, dengan tulisan di sampingnya isone mung nyawang. Atau kalimat popular oleh ulama muda yang saat ini sedang naik daun, panutan para kawula muda, dekengane pusat, itu juga banyak makna dan artinya”.
“Sekali waktu pernah jumpa truk dengan tulisan Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, mengutip judul novelnya Eka Kurniawan. Dan itu semua mereka tulis bukan tanpa maksud dan hanya sekadar iseng, tapi sebagai peringatan, hiburan dan himbauan kepada siapapun yang membacanya, dan bila ada yang tersenyum karena membaca tulisan itu, setidaknya mereka telah menebarkan sedikit kegembiraan buat sesama, dan itu penting bagi proses bebrayan”.
Aku hanya menghela nafas panjang.
“Boleh juga kita membaca baliho iklan yang dipasang segede Gaban, yang lampunya saja mungkin bisa untuk menerangi satu keluarga. Belum lagi iklan para caleg yang mulai memajang wajahnya di pinggir jalan, seolah yang paling pertama memperjuangkan kepentingan rakyat. Padahal giliran ditanya bagaimana cara meningkatkan taraf hidup kesejahteraan masyarakat kecil, jawabannya ndakik-ndakik setinggi langit. Kau pernah pesan jangan pilih caleg maupun partai yang menancapkan iklannya di pohon, dengan pohon aja tega apalagi dengan kita katamu”.
“Kamu yang suka sepeda motor sekali waktu saat menghentikan kendaraan di traffic light bisa melihat-lihat, mengamati motor apa saja yang sedang turut berhenti di lampu merah. Macam ragam sepeda motor yang berseliweran juga bisa jadi bahan tulisan tak terbatas, atau sekadar mengamati macam custom motor yang ada, honda 70 yang masih mampu menandingi laju anak bahkan cucunya, betapa kreatifnya para mekanik negeri kita”.
Mataku sudah berat terasa, angin senja semakin meninabobokan, tak kupedulikan dia yang terus dan terus menembakkan kata bak senapan mitraliur pasukan Jerman ke arah pasukan Sekutu.
“Menunggu memang kegiatan yang membosankan bila tidak kita isi dengan hal yang memberi arti”.
Ah masih berlanjut rupanya.
“Karena hidup juga menunggu, untuk kembali kepada yang sejati, dan sambil menunggu inilah kita lakukan hal-hal yang setidaknya jangan sampai membuat yang sejati cemberut atau bahkan marah kepada kita”.
Sayup-sayup tarhim di masjid sebelah mulai dikumandangkan.
…Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk
Ya imamal mujahidin ya Rasulallah…
“Wis meh magrib, tak pamit aku, motormu ra sah dipikir, tak urusane”.
Aku hanya mengangguk pelan, dia memang sahabat terbaik. Thok thok thok dung dung dung.
*refleksi jajah deso milangkori, terima kasih tak terhingga untuk kepala desa dan perangkatnya, Desa Rowoharjo, Desa Demangan, Desa Sumberkepuh, Desa Sawahan, Desa Jekek.