Salat
Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya
-Q.S. Al-Isra:1-
Syahdan suatu ketika, seorang tuan rumah suatu perjamuan menawarkan sebuah sajian kepada tamu kehormatannya, “Apakah Anda suka salad?” dan segera dijawab oleh tamu,”Oh saya biasa lima kali sehari.” Sebuah guyonan satire dari Gus Dur, seolah-olah tuan rumah menyatakan iki wong ndeso opo doyan salad, makanannya orang barat/modern, dan dipatahkan dengan telak oleh sang pejuang pluralisme.
Suatu ketika lagi, seorang imam besar kaum muslim berjalan melewati kerumunan orang di pinggir jalan, didengarnya mereka sedang membicarakan dirinya. Salah seorang yang sedang duduk-duduk itu bercerita pada teman-temannya, “ Kalian tahu imam itu setiap malam salat sebanyak seribu rakaat.” Tidak mau mengecewakan orang yang telah berprasangka baik kepadanya, sejak itu sang imam salat seribu rakaat dalam semalam.
Tambah lagi, suatu ketika Sayyidina Ali dalam peperangan terkena panah di kakinya hingga menembus tulang, sulit untuk dicabut mengingat sifat mata panah yang seperti mata kail, apabila dicabut paksa akan semakin merobek jaringan daging dengan tingkat sakit yang luar biasa. Masa itu jalan satu-satunya hanya dengan menekan anak panah tersebut hingga tembus untuk dipatahkan mata panahnya dan selanjutnya dapat dicabut. Kepada tabib yang mengobatinya, Sayyidina Ali berpesan agar anak panah tersebut dicabut saat beliau sedang salat.
Sebelum perintah salat diwajibkan, Nabi mengalami tahun penuh duka cita yang meliputi kehidupan Nabi, saat istri terkasih, Bunda Siti Khadijah dipanggil menghadap Tuhan setelah menemani dalam suka dan duka, baik sebelum masa kenabian maupun sesudah wahyu pertama turun yang menandakan diangkatnya manusia Muhammad menjadi Nabi/Rasul. Bunda Siti Khadijahlah orang pertama yang membenarkannya, yang menenangkan saat gundah gulana dan ketakutan menerima amanat yang bahkan langit dan gunung tidak mau menerimanya.
Tidak cukup hingga di situ, paman yang sangat menyayanginya, Abu Thalib, yang senantiasa membela dan melindunginya dari rundungan kaum Quraisy, bahkan yang masih terhitung saudara dan pamannya sendiri. Menjaganya dari kekerasan dan tindakan kejam yang bertujuan melemahkan tindakan baiknya, yang senantiasa dihormati dan disegani oleh tetua-tetua Quraisy yang lain, juga dipanggil Tuhan menghadap ke haribaan-Nya.
Lengkap sudah derita Nabi yang masih merasakan sisa-sisa hasil boikot yang dilakukan kaum Quraisy kepada Bani Hasyim, klan Nabi, selama tiga tahun ditambah kehilangan dua orang pendukung dan pelindung yang sangat disayanginya. Betapa hebat kuasa Tuhan untuk menempa hamba-Nya, yang mungkin bila kita, manusia penuh noda dan dosa menerima segala cobaan tersebut, serasa langit runtuh, resah gelisah tak tahu harus bagaimana.
Namun Nabi adalah manusia pilihan yang senantiasa dijaga oleh Allah, Tuhan yang mengutusnya untuk menjadi suri teladan bagi manusia dan rahmat bagi seluruh alam. Tidak dibiarkan-Nya sang kekasih dalam kesedihan berlarut-larut, segera diberinya penghiburan dengan memanggilnya untuk menghadap langsung ke hadapan-Nya di Sidratul Muntaha, yang bahkan Malaikat Jibrilpun tidak bisa melangkah sejejakpun di pelatarannya.
Di mana tak berlaku lagi segala kesombongan, keangkuhan, ilmu pengetahuan dan semua hal remeh yang berkaitan dengan dunia dan materi, karena hanya derajat takwa yang bisa menggapainya, hanya kuasa Tuhan yang membuka pintunya hingga siapa yang boleh sowan dan siapa yang hanya mengimpikannya. Dan sebagai wujud cinta langsung dari Tuhan, Nabi diberi hadiah berupa salat lima waktu yang boleh ditambah pada waktu dan periode tertentu. Terlepas dari perdebatan dan diskusi para ahli tafsir tentang tawar menawar antara Nabi dan Tuhan perihal jumlah rakaat salat yang berujung pada 17 rakaat sehari semalam dan terangkum dalam lima kali pelaksanaan, dari Subuh, Zuhur, Asar, Magrib dan Isya.
Dan hadiah ini bagi kita yang melaksanakannya menjadi media dan sarana menghadap, berinteraksi, berbicara, ngobrol dan berkeluh kesah secara langsung kepada yang Maha Tak Terhingga. Maka kalimat dalam pembuka adalah kepada-Mu kami menyembah dan kepada-Mu kami mohon pertolongan. Sebuah kalimat yang menandakan bahwa antara yang berbicara dengan yang diajak bicara tidak ada perantara siapapun, tidak terhalang oleh apapun dan tanpa batasan apa-apa.
Bunda Siti Aisyah menyatakan kesaksiannya, bahwa Nabi apabila melaksanakan salat sedemikian khusyuk dan menikmati hingga kaki beliau bengkak, mendaraskan kalimat-kalimat Tuhan yang termaktub dalam kitab suci, rukuk memuji keagungan Tuhan, sujud menyungkurkan wajah sejajar dengan kaki memuji ketinggian Sang Maha Kuasa.
Manusia penuh salah, selalu diliputi syak wasangka, keraguan, was-was ra wis-wis (was wisufi sudurinnas), tak kan mampu sekhusyuk Nabi dalam menghadap Tuhan. Bahkan manusia sekelas Sayyidina Ali ketika diberi tantangan oleh Nabi untuk salat dengan khusyuk dan akan dihadiahi serban Nabi, tinggal pilih yang warna putih atau yang hijau. Saat selesai salam ditanya Nabi pilih yang mana, Sayyidina Ali menjawab yang warna hijau, maka oleh Nabi salatnya dikategorikan tidak khusyuk.
Sebab itu Kanjeng Nabi dalam perintah salat hanya berpesan, “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku salat” (H.R. Bukhari) dan bukan salatlah seperti aku salat. Maka tidak perlu menjadi perdebatan manakah yang benar antara yang jari telunjuknya bergerak-gerak ketika tasyahud, yang diam menunjuk ke depan, atau yang njekengkeng.
Karena hidup adalah menunggu, menunggu tibanya waktu salat yang kita sambi sembari menyusun laporan kegiatan, mendisposisi surat bersama kak Nadine, membaca, makan sate pak Kuwat, minum es krim di mak Tam, jalan-jalan, nongkrong di kafe, nonton di bioskop, guyon dengan teman, dia lo gue bersama stakeholder, bernyanyi, melaksanakan upacara bendera, ngemil jajan pasar, olah raga pagi, lari sore, memproses SPM, dimarahi atasan, diomeli pimpinan, petan, rasan-rasan, atau mendengarkan suara Isyana Sarasvati saat mendendangkan Frühlingsstimmen - Walzer, Op. 410 - Johann Strauss II yang seolah mengembalikan kita pada era mbah Daendels berkuasa, dan hal-hal baik yang bisa membuat Tuhan trenyuh, terharu dan tersenyum.
Semua menunggu tibanya bertemu kembali, berbincang dan berkeluh kesah, mengadu dengan sang kekasih sejati dalam salat.