NIAT
Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui
-pepatah lama-
Siang, seiring mentari dhuha yang lingsir berganti teriknya zuhur, para tamu undangan mulai berdatangan satu demi satu, memasuki pelataran halaman KPPN Kediri yang telah dipoles sedemikian rupa sehingga akan membuat pangling siapapun yang pernah singgah menjejakkan kaki di atasnya.
Halaman sudah penuh dengan kuda besi roda empat yang berasal dari empat penjuru mata angin wilayah timur pulau Jawa, menyisakan satu lokasi untuk para tetua yang masih dalam perjalanan menuju kota asal Prabu Jaya Baya, salah satu manusia linuwih yang dianugerahi Tuhan kemampuan untuk memberi gambaran tentang masa depan.
Sesaat setelah kedatangan para tetua, suguhan berupa masakan khas Kediri yang berasal dari hasil produksi UMKM mitra telah terhidang di atas meja, rujak cingur, nasi rames, ayam lodho dengan kuah yang menumbuhkan rasa kangen bila beberapa waktu tidak menyantapnya, aroma yang menumbuhkan cita rasa sedap menyelinap di sela-sela yang hadir.
Tangan-tangan cekatan menyajikan makanan dengan tatanan table manner yang akan menggugah selera siapa saja yang melihatnya, nasi di sisi mana, piring sendok dan garpu di sebelah apa, lauk di mangkuk dengan ukuran seberapa, rodhong krupuk, air minum mineral ditata yang memanjakan mata sekaligus melegakan tenggorokan, tak lupa seberapa jauh tangan bisa menjangkau secarik kertas lembut untuk menghilangkan sisa makanan.
Selepas bersantap siang, beranjak ke ruang aula Panjalu yang telah ditata untuk memudahkan koordinasi. Di atas meja masing-masing peserta telah tersaji cemilan dan jajanan sebagai sarana untuk menjaga agar mata tak terkatup sekejap pun, mendengar dan menyimak wejangan dan petuah dari para tetua, demi kebaikan bersama, organisasi serta untuk bangsa dan negara tercinta. Hingga sore menjelang diselingi dengan menyungkurkan kepala memanjatkan doa pada sembahyang asar.
Selepas magrib, mengiringi senja yang menyeruak diantara sore dan malam, meja-meja koordinasi berganti menjadi meja bundar sebagai persiapan malam ramah tamah yang akan diisi dengan tawa dan gembira. Lagu-lagu rancak, syahdu, sendu yang membuat kaki bergoyang ritmis, mengiringi para tamu menikmati hidangan malam, soto daging khas Kediri dengan tambahan gorengan jerohan yang siap mengisi perut yang telah diberitahu oleh hidung bahwa ada aroma sedap yang harus segera disantap.
Dari gerobak jadah bakar, menguar wangi gosong ketan ketika bertemu dengan panas arang membara, tak lupa gurihnya terasa di lidah yang mungkin tak akan hilang meski sudah tandas. Ada harum lain yang saling bersilang dengan wangi penganan yang sudah ada, ote-ote/weci. Masih fresh dari penggorengan, tak sabar antrian sudah mengular membawa piring kecil di tangan. Tuntas bahkan sebelum chef ote-ote menuang kembali adonan ke dalam wajan. Selaras dengan udara dingin menusuk tulang dari angin musim kemarau yang segera datang, bediding, menjadi perpaduan yang pas.
Meja-meja telah ditata untuk dua pasang kompetitor, kartu-kartu telah dijatuhkan, hingga malam menjelang larut, telah dipastikan siapa yang berhak menyandang nama besar dalam dunia perkartuan, pengumuman untuk kegiatan esok pagi juga sudah siarkan, para tamu kembali ke peraduan di penginapan.
Meja-meja bundar segera disingkirkan, diiringi alunan nada dari kelompok orkes yang terus mengiringi hingga aula kembali lengang, berganti meja pingpong telah terpasang. Siapa yang jadi jawara akan ditentukan esok pagi.
Pagi, meski berkemul selimut lebih nikmat untuk menangkis udara Juli yang membawa dinginnya munson Ostrali, tak menyurutkan para penjaga nagara dana rakca untuk menghangatkan raga dengan senam yang dipandu peraga mumpuni.
Diawali berbaris dipimpin para tetua masing-masing, ada yang mengular dua banjar, ada yang cukup satu banjar, atau hanya seorang diri, tertib, rapi dan teratur. Peluh mulai menetes satu demi satu, ditingkahi angin pagi yang sesekali menghantam cukup kencang, dan selepas menggerakkan kaki, tangan dan badan sebagai kolaborasi antara mata, pikiran, hati dan gerak, meski terkadang tak selaras, halaman berganti menjadi lapangan bola voli.
Satu pertandingan yang lain ada di halaman belakang rumah dinas douane, dikelilingi tembok setinggi pohon kelapa dari kantor sebelah, yang pas sebagai penghalang bagi bola liar yang hendak terbang entah ke mana seiring hantaman pemain lawan yang tak mampu dihalau pemain tim lainnya.
Sementara embusan angin dari dua gunung purba, Klothok dan Wilis, menerpa wajah, bandara Dhoho masih lengang saat mengantar salah satu tetua yang menggawangi algoritma perbendaharaan untuk kembali ke ibu kota, tempat sebongkah emas terpancang di pucuk obelisk, sebagai penanda inilah negeri khatulistiwa, sepetak surga yang jatuh ke mayapada.
Di sela puncak pertandingan voli, tercium wangi bumbu kacang tanah bercampur dengan cabai dan daun jeruk, ada kriuk dari rempeyek, bercampur dengan tahu dan tempe serta sayur di atas pincuk, menemani penonton yang berteriak riuh memberi semangat bagi timnya. Hantaman demi hantaman, tangkisan dan operan bola tak sedikitpun menyisakan celah untuk berdiam diri, bahkan yang di luar lapangan pun turut merasakan semangat yang sama dengan yang sedang berada di dalam garis putih persegi panjang terpisah jaring membentang kiri ke kanan.
Tak kalah riuh, di lantai 2 gedung Indonesian Treasury Kediri, suara bola berdiameter 40mm dan berat 2,7 gram dari selulosa ringan membentur meja kayu, bertingkah dengan teriakan penonton yang tidak puas bila tim jagoannya tidak mampu mengembalikan operan lawan, yang pada akhirnya bubar dengan sendirinya ketika skor telah mencapai batas akhir.
Tuntas sudah pertandingan demi pertandingan, hadiah telah dibagikan, tangan yang satu berganti menggenggam tangan yang lain, juru gambar pun telah menyimpan momen terbaiknya, pada akhirnya tersisa pesan dari tetua, bahwa ini bukan sekadar bersenang-senang, tidak hanya gembira semata, namun lebih dari itu, semua untuk kemaslahatan dan kebaikan organisasi, yang harus semakin baik, solid, bertanggung jawab dan memberi dampak lanjutan bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Sejalan dengan itu, ribuan tahun yang lewat, manusia mulia memberi nasihat ketika para sahabat tercinta melaksanakan hijrah dari bumi yang sempit untuk menebarkan kebaikan, ke wilayah yang lebih subur bagi kemaslahatan, barang siapa yang hijrah karena perempuan, maka itulah yang didapatkannya, sedangkan yang hijrah karena Tuhannya ia mendapatkan keduanya.
Suara muazin yang mengajak untuk bersujud, seolah mengiringi langkah para petandang meninggalkan halaman KPPN Kediri untuk kembali ke tempat tugas masing-masing, selamat jalan dan bila hati bertemu hati di jalan, maka hati-hati di jalan, serta tak lupa selamat tahun baru hijriah.