Barat
Seekor kera, terkurung, terpenjara dalam gua.
Di gunung tinggi, sunyi tempat hukuman para dewa
(soundtrack: Kera Sakti)
Pagi yang cerah dan senyum di bibir merah.. (Chrisye), waktu hampir menunjukkan pukul 07.00 WIB, kuning cahya mentari mulai terasa hangatnya, aura bediding masih menyelimuti Kota Panji. Semangat kemerdekaan menyala di masing-masing anggota keluarga KPPN Kediri, merah putih, seragam untuk memulai langkah mengawali dengan berbaris rapi, dua-dua.
Komandan timses sudah bersiaga mengamankan jalan yang akan dilalui barisan, menyusuri jalan membujur dari utara ke selatan, jalan Dhoho yang merupakan ikon kota Mbah Jayabaya. Selepas lima langkah dari gerbang, sebelah timur jalan Basuki Rahmat, terdapat tempat penginapan bernama Hotel Merdeka, yang merupakan salah satu bangunan peninggalan era kolonial Belanda. Dibangun sekira tahun 1933 dengan nama Hotel Rich (patung pemilik pertama masih ada di halaman dalam hotel).
Pernah menjadi tempat untuk menawan bala tentara Jepang pada masa PD II, dan mbah Musso-pun pernah menginap di sini sekembalinya ke Tanah Air pada tanggal 11 Agustus 1948 (siapa tidak mengenal nama Musso kelahiran Wates-Kediri).
Menyeberang simpang empat jalan Brawijaya, jalan Basuki Rahmat dan jalan Dhoho, beberapa toko sudah memulai aktivitasnya, meski belum ada yang berkunjung, di trotoar dan pinggir jalan Dhoho sisi timur ramai dengan para pedagang kaki lima, menjajakan sajian khas berselera…(KLA: Malioboro), tak ketinggalan satu orang penjual koran yang masih setia dengan dagangannya, sebagian besar sudah buram warna dan tulisannya, terpapar panas bertahun-tahun, tabloid dan majalah edisi lama yang mungkin sekarang sudah tidak terbit lagi.
Jangan lupa, bila melewati jalan Dhoho beruluk salam kepada mbah Wasil, penyebar Islam di Kediri, yang diperkirakan menjejakkan kaki di Kediri sekira abad ke-10, sezaman dengan Prabu Jayabaya, dan diyakini menjadi penasihat spiritual sang prabu (detik.com). Terletak di Kawasan Setono Gedhong yang pada masa lalu menjadi tempat sesembahan bagi penganut kepercayaan tertentu, dengan adanya makam mbah Wasil menjadikan Setono Gedhong tak pernah sepi dari peziarah.
Pada era 90-an hingga 2000an, ada satu toko busana yang menjadi jujugan pemuda pemudi bila menginginkan tampilan selalu mengikuti perkembangan zaman, merajai di wilayah Kediri Raya, Kediri, Tulungagung, dan Blitar. Terletak di sisi sebelah barat jalan Dhoho, Apollo, yang saat ini sudah surut gaungnya seiring dengan kedatangan para titan busana, Ramayana dan Matahari, juga pemain lainnya.
Beberapa langkah ke arah selatan, tepat di persilangan antara jalan Dhoho, jalan Raden Patah dan jalan Monginsidi, di sisi barat jalan Dhoho menghadap ke selatan (jalan Monginsidi) terdapat satu warung legendaris yang telah membuka usaha sejak tahun 1926, Soto Podjok, dengan sajian khas soto kuah bening serta ayam suwirnya, taoge/kecambah (jawa: capar) dan irisan seledri.
Matahari semakin meninggi, langkah kaki baru sampai di Berontoseno, menyediakn kopi bubuk khas Kediri yang dapat digunakan untuk nyethe, aktivitas melumuri rokok dengan ampas kopi, yang dapat kita jumpai di setiap warung kopi, Tulungagung-Kediri. Para penikmat nyethe akan menyebut kegiatannya dengan mbathik, menggambar rokok dengan cethe, dan para artis cethe sambil bergunjing tentang politik, sosial, budaya, mode, film, buku, bahkan sambil mengotak-atik angka yang akan mbledhos pekan depan, berlomba untuk menunjukkan hasil bathikan siapa yang paling indah, paling estetik, paling rumit, paling detail. Tak heran dari warung kopi pinggir jalan muncul maestro pelukis rokok, hanya dengan bekal potongan silet, sobekan kertas koran, batang korek api dan sendok kecil.
Sebelum meninggalkan jalan Dhoho, ada satu toko legendaris sejak era sebelum kemerdekaan, sekira tahun 1915-1963 menjadi pusat perbukuan, bahkan moncer seantero negeri, toko Surabaya yang sekarang menyediakan aneka cemilan. Dimiliki oleh mbah Tan Khoen Swie dengan nama awal Boekhandel Tan Khoen Swie Kediri. Menurut Dr. Wisnu, M.Hum dalam tesisnya yang diterbitkan menjadi buku dengan judul Boekhandel Tan Khoen Swie Kediri Agen Kebudayaan Jawa 1915-1963, menyebutkan naskah-naskah terbitan Tan Khoen Swie beredar di hampir seluruh lapisan masyarakat, khususnya buku kebatinan, ramalan, primbon, legenda, yang dapat dijumpai di setiap rumah, baik di desa maupun di kota, tidak hanya menjadi konsumsi para pembaca dari kalangan terbatas di Kediri, Surakarta, Yogyakarta, Cilacap, Ngawi, Bojonegoro, Surabaya, dan Lumajang, tetapi juga dibaca secara luas oleh masyarakat di luar Jawa.
Dan salah satu keluarga Tan Khoen Swie yang masih ada dan tinggal di Kediri adalah dokter gigi J. Sutjahno Gani yang juga membuka praktik di jalan Dhoho.
Dari jalan Dhoho (seandainya jalan Dhoho bisa dimutasikan seperti jalan Malioboro Yogyakarta) berbelok ke arah barat menyusuri jalan Yos Sudarso, dengan jalan aspal yang bergelombang, mengingatkan betapa berat beban yang harus ditanggung, yang tak pernah sepi dari kendaraan besar pengangkut barang dan orang, dan tepat di belokan ke arah utara berdiri kelenteng Tjoe Hwie Kiong.
Tidak diketahui dengan pasti siapa yang pertama kali membangun tempat ibadah Tri Dharma ini, mengingat pada 1955 pernah dilanda banjir yang menghanyutkan semua dokumen dan berkas yang mencatat kegiatan sejak awal, namun angka tahun berdiri diperkirakan sekitar 1817. Dibangun oleh pendatang dari China yang berlabuh lewat Sungai Brantas, dari sini terlihat bahwa Sungai Brantas pada masa lalu pernah ramai dan menjadi sarana transportasi penduduk pedalaman hingga ke ujung galuh Surabaya.
Menghadap ke Sungai Brantas, berdiri patung Dewi Mak Co atau Dewi Samudra setinggi 5 meter dengan berat 18 ton, dibangun tahun 2013 dengan batu yang didatangkan langsung dari negeri China (jatimnow.com). Di dalam kelenteng terdapat tiga patung nabi agung, sisi kiri patung Lao Tze dengan simbol yin-yang untuk penganut ajaran Tao, di tengah terdapat patung Budha Sakyamuni dengan simbol swastika, dan terakhir di sisi kanan patung Kong Hu Cu dengan simbol genta, merupakan keberagaman hingga dinamakan Tri Dharma.
Sebelum meninggalkan pelataran, di tembok luar bangunan utama terdapat relief biksu Tong Sam Cong dengan ketiga muridnya, Sun Go Kong, Cu Pat Kay dan Wu Jing, dengan kesetiaan tak ada duanya menemani sang guru pergi ke barat mencari kitab suci.
Sejalan dengan itu, tahun 2010 Albert Hughes dan Allen Hughes memproduksi film Eli, yang mengisahkan perjalanan setelah perang besar, yang juga pergi ke barat untuk melindungi kitab suci, yang diperankan dengan sangat bagus oleh Denzel Washington, Gary Oldman dan Mila Kunis.
Perjalanan barisan merah putih berakhir di Taman Brantas, diselingi canda dan tawa serta gembira (terlepas dari insiden yang menimpa satu anggota) dengan menikmati nasi pecel lauk tempe, tahu, peyek dan semangat untuk terus berkarya.