Kediri

Persiapan

Bulan, aku mau lebaran

Aku ingin baju baru,

tapi tak punya uang

-Jokpin: Baju Bulan-

 

Ketika turun perintah untuk hijrah dari Mekkah ke Madinah, Kanjeng Nabi segera menyusun langkah strategis sebagai persiapan agar perjalanan sejauh 380 km, dapat ditempuh dengan aman dan lancar karena dengan menunggang unta memerlukan waktu sekira 8 hari untuk tiba di tempat tujuan, yang saat ini dengan kereta Haramain hanya berkisar 2,5 jam duduk nyaman atau 4-5 jam dengan bus yang sudah berfasilitas pendingin udara sebagai penangkal panas di luar.

Sayyidina Abu Bakar sudah diminta untuk menemani selama perjalanan, ini juga sebagai langkah jitu dengan tidak memilih Sayyidina Umar yang ditakuti seantero Mekkah. Hal ini terbukti saat mbah Umar akan berangkat hijrah sendirian dengan lantang mengumumkannya di pelataran Kakbah, siapa saja yang besok ingin istrinya menjadi janda atau kehilangan anak lelakinya, silakan cegat saya di sini, dan keesokan harinya tak ada ada siapapun yang muncul, Sayyidina Umar pun melenggang dengan santai menuju Madinah. Rasul malah memilih mbah Abu Bakar yang hati-hati dan penuh taktik serta perhitungan dalam melangkah.

Nabi juga memilih Sayyidina Ali untuk menggantikan di tempat beliau biasa rebahan, sehingga saat pembesar Quraisy menyusun rencana untuk menangkap dan membunuhnya dengan mengutus perwakilan pemuda dari masing-masing kabilah, yang ada hanya kekecewaan, karena sosok yang keluar pintu rumah Nabi adalah pemuda Ali yang juga sangat disegani oleh pemuda Mekkah.

Rute yang akan ditempuh juga menjadi perhatian Nabi, agar siapapun tidak mengira perjalanan ke Madinah yang terletak di utara Makkah akan menempuh jalan tidak biasa yang lazim dilewati kafilah dagang, hingga tidak mudah untuk dilacak, bahkan oleh pencari jejak andal sekalipun. Maka rute pertama lewat gua Tsur ke arah selatan. Berdiam selama tiga hari, dengan Asma’ binti Abu Bakar yang bertugas menyediakan bekal makanan, hingga dikenal dengan pemilik dua ikat pinggang karena membelah ikat pinggangnya menjadi dua, satu digunakan mengikat bekal makanan dan satu lagi digunakan sebagai ikat pinggang pakaian yang dikenakannya (ypsa.id).

Peristiwa di gua Tsur inilah muncul ucapan Nabi yang menjadi pegangan umatnya hingga sekarang dan diabadikan dalam Al-Quran, Tuhan bersama kita, ketika pengejar Quraisy sudah melongok ke mulut gua namun terhalang oleh sarang burung dan rumah laba-laba, dan Sayyidina Abu Bakar pun gemetar saat melihat mereka, namun ditenangkan Nabi dengan ungkapan di atas, dan oleh mbah Nun dijadikan nama jemaah Sinau Bareng yang setia mengikutinya menjadi jemaah Maiyah.

Penunjuk jalan juga dicari orang yang tepat, dan Sayyidina Abu Bakar meminta Abdullah bin Uraiqith yang bersumpah demi Latta dan Uza  akan memegang amanah mengantar Nabi hingga tiba di Madinah (news.detik.com). Dan pilihan ini tepat karena Abdullah bin Uraiqith mengetahui rute tidak biasa yang tidak memungkinkan orang lain melewatinya.

Bahkan jauh sebelum itu semua, Kanjeng Nabi sudah mempersiapkan lewat perjanjian Hudaibiyah dengan kaum Aus dan Khazraj yang menjadi penduduk Madinah, sehingga persiapan kepindahan pun sejatinya sudah direncanakan sebelum perintah hijrah diturunkan.

Jangankan peristiwa besar, untuk kegiatan sehari-hari yang sudah biasa kita lakukan juga memerlukan persiapan matang. Saat akan berangkat ke kantor agar tidak terlambat, maka pagi subuh sudah bersiap dengan segala ubo rampe, seragam hari berkenaan, bekal makan siang, cek kendaraan-bensin, rem, lampu sein kiri kanan, kaca spion, jaz hujan, dan bila sudah lengkap tinggal memperhitungkan jam berapa mesti berangkat agar tidak terjebak keramaian, kemacetan pada jam sibuk, banyaknya anak-anak berangkat sekolah, pedagang ke pasar, atau sesama pekerja dan karyawan yang juga menggunakan jalan yang sama, sehingga bisa tiba di kantor melakukan presensi clock in sebelum batas waktu yang dianggap terlambat.

Menjelang lebaran-bahkan Ramadan juga belum menampakkan hilalnya, persiapan sudah dilakukan: kaleng wafer, biskuit, roti, kacang, keripik, kerupuk sudah mulai berpindah tangan. Bermacam camilan dalam plastik transparan seukuran tinggi orang dewasa, yang pedas, asin, gurih, manis, kecut, juga sudah beralih tempat. Tak lupa makanan ringan berbagai warna, biru, kuning, merah, hijau dan pink dalam wadah rodong plastik sudah tersimpan dalam lemari, yang dalam perjalanannya memenuhi satu minibus dan membuat penumpang tak memiliki ruang untuk gerak, meski hanya sekadar menggeser kaki yang mulai kesemutan akibat diinjak teman duduk sebelahnya yang sama-sama mencari sisa ruang.

Namun bila tidak waspada persiapan ini akan memakan korban, seperti peribahasa menjilat ludah sendiri. Salah seorang anggota kafilah selatan dengan syahdunya menggigit wafer latihan, namun begitu mendengar teriakan urunan, langsung dimuntahkan di telapak tangannya sendiri.

“Sakjane mung sakcokotan.” Matanya memandang penuh sesal segumpal wafer yang telah remuk bercampur saliva, namun sekejap segera dimasukkan kembali ke dalam mulut (mungkin saja rasanya semakin nikmat setelah mendapat sentuhan udara serta sedikit keringat di tangan).

“Pokoke wis ngrasakne wafer yo urunan.”

“Sopo sing durung yo, saumpomo kabeh, iso kari 8 ewunan urunane.”

Sebuah suara menyebut nama-nama yang langsung disahut dengan balasan, “Wonge poso mbak.” Ternyata puasa itu menyelamatkan. Namun begitu tidak membuat patah arang, hingga tiba sore menjelang pulang.

“Le cah bagus, purun wafer enak.” Pancingan menjerumuskan, namanya anak-anak berbinar matanya dengan polosnya menerima dua batang wafer di kiri dan kanan, langsung digigit sembari berlari riang, tanpa tahu menahu bahwa ini semua ada imbal baliknya (jadi kayak pesugihan).

“Hayo Nal, urunan.”

“Lho aku durung mangan mbak, aku poso.”

“Lha kui Usamah wis entek 2.”

Sejawat yang kembali dari menengok buah hati segera ditawari dan tentu saja langsung mengenyam sembari menyusun dan menetapkan tanggal pencairan serta hanya terlongong dengan wajah tanpa dosa,”Kok urunan to.”

Bahkan si bungsu yang baru masuk kantor selepas cuti (masih meneruskan bulan madunya), juga tak luput dari desakan untuk menyisihkan selembar dua lembar rupiah.

“Pi ki lho wafer enak.”

“Aku ga seneng wafer Buk.”

“Wis to rasakno sik, enak-enak.”

Si bungsu pun mengambil satu, dan segera digigitnya penuh perasaan.

“Crunchy Buk.”

“Enak to, diomongi wong tuwek manuto, hayo melu urunan.”

“Urunan opo to Buk, neng omah wis eneng tarikan erte mambengi.”

“Pokoke urunan.” Kalimat pamungkas yang tidak bisa dibantah dengan alasan apapun.

Dan persiapan Ramadan digelar dengan acara makan bareng, di Jumat terakhir bulan Ruwah. Nasi putih hangat dengan lauk ayam lodho, urap daun pepaya, mie medan, sambal goreng hati, lodeh tempe dan tahu, kerupuk uyel, kerupuk lompong, dan ditutup dengan apem yang berasal dari kata afuwun yang berarti memaafkan.

“Mi bapake jupukno wafer.”

“Pak cobain wafer Khong Guan.”

“Sik wareg aku.”

“Satu aja to pak, sekadar ngincipi.” Sebuah pinta yang tak kuasa untuk ditolak dan...

Selamat menunaikan ibadah Ramadan 1446 H.

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
KPPN Kediri
Jl. Basuki Rahmat No.4, Balowerti, Kec. Kota Kediri, Kota Kediri, Jawa Timur 64123 
Tel: 0354-682151, 683610 Fax: 0354-682325, 686472

IKUTI KAMI

Search