Gratifikasi Awal Korupsi

Dewasa ini, istilah gratifikasi merupakan bagian dari Korupsi itu mulai disebut secara spesifik semenjak disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

Sehubungan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut sudah dilakukan beberapa kali Perubahan sebagaimana berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah sebagaimana berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang dan Perubahan Terakhir sebagaimana berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

Defenisi Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa gratifikasi merupakan pemberian dan dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Adapun pengecualian sekaitan dengan gratifikasi ada pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021, Pasal 12C ayat (1).

Adapun Peraturan yang mengatur tentang gratifikasi itu ada pada pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No.20/2001 yang berbunyi setiap gratifikasi pada pegawai negri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap,apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Adapun sanksi yang mnjadi ganjaran pelanggaran sekaitan dengan gratifikasi yakni pada pasal 12B ayat (2) UU No.31/1999 jo UU No.20/2021 yang berbunyi pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

 

Untuk perlu diketahui, di negara lain juga menyatakan pemberian yang ditujukan kepada Pegawai Negeri dan/atau Pejabat Negara juga secara otomatis merupakan Tindak Pidana Korupsi. Namun oleh karena sifat permisif dan kebiasaan berbagi merupakan budaya beramah tamah bangsa Indonesia, maka istilah pemberian sebagai Gratifikasi di Negara kita perlu diatur tersendiri.

 

Di Indonesia sendiri telah mengelompokkan ke dalam dua kategori penerimaan Gratifikasi yaitu Gratifikasi yang dianggap sebagai suap dan Gratifikasi yang tidak dianggap sebagai suap. Gratifikasi yang dianggap sebagai suap apabila hal-hal yang diberikan kepada Pegawai Negeri dan/atau Pejabat Negara yang dianggap tidak sesuai dengan kode etik atau Gratifikasi yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi suap, bilamana gratifikasi tersebut diberikan kepada pegawai negeri / penyelenggara Negara / pejabat yang berhubungan dengan jabatannya.

 

Penerimaan gratifikasi tersebut berlawanan dengan kewajiban atau tugas dari penyelenggara negara tersebut. Termasuk untuk mempercepat proses pelayanan atau menjamin proses pelayanan selesai tepat waktu, atau juga untuk hal yang menentukan keputusan. Sedangkan Gratifikasi yang tidak dianggap sebagai suap, jika hal-hal yang di berikan kepada pegawai Negeri dan/atau pejabat Negara yang tidak berhubungan dengan jabatan dan tidak bertetangan dengan kewajiban atau tugas si penerima gratifikasi.

Dalam hal gratifikasi yang tidak dianggap suap yang mana hubungan antara pemberi dan si penerima gratifikasi biasanya diukur dengan nilai atau harga pemberiannya berdasarkan nilai kewajaran dan kepantasan secara sosial di masyarakat.

Kedua jenis gratifikasi ini mungkin relatif mudah dimaknai namun agak sulit diterapkan. Itu ditandai dengan fakta dan realitas yang terjadi di khalayak Pegawai Negeri bahkan sampai kepada Pejabat Negara baik fungsional maupun stuktural.

Hal ini tentunya berdampak terhadap perkembangan Negara dari seluruh aspek mulai dari sosial sampai pemerintahan. Jika kita mengkaji makna dari jenis gratifikasi diatas dengan mengaitkan kepada kemungkinan dan efek yang akan terjadi pada suatu pemerintahan dalam Negara, tentunya ini menjadi tugas bersama agar kita bisa menjadi kontrol dan people of balance serta bersinergi untuk memerangi. Jika gratifikasi yang terjadi dalam model suap atau korupsi, dimana masyarakat bertindak sebagai kontrol dan yang berwenang sebagai penegak hukum adalah eksekutor.

Dengan terjalinnya kerjasama dan simbiosis antara masyarakat dengan penegak hukum maka gratifikasi yang berjenis suap akan sedikit demi sedikit mengurang bahkan hilang dari Negara ini.

Setelah kita mengulas hal mengenai gratifikasi dan yang berhubungan dengan dampak buruk gratifikasi maka ada baiknya kita mengungkap gratifikasi yang sekaitan dengan dampak baik dari gratifikasi itu sendiri. Bahwasanya gratifikasi yang non suap seperti yang dikatakan diatas sebelumnya juga mempunyai dampak baik dibalik buruknya gratifikasi yg telah dibahas sebelumnya. Jika kita mengkaji hal baik dari gratifikasi ini tentunya besar kaitannya dengan norma dan sosial secara adat dan adab.

Sebab dari segi budaya atau kultur yang turun temurun di Negara kita ini banyak membahas tentang tenggang rasa yang bersifat saling membantu dan saling menolong yang tidak luput dari ucapan terima kasih. Di sini kita bisa melihat secara jelas dan dapat mengaitkan makna gratifikasi yang bersifat non suap seperti yang dibahasakan sebelumnya.

Dikatakan bahwa gratifikasi non suap adalah pemberian kepada pihak atau personal (Aparatur Sipil Negara/Pegawai Negeri dan Pejabat Negara) yang tidak berhubungan dengan jabatan dan tidak bertentangan dengan kewajiban. Disini kita bisa menarik kesimpulan bahwa gratifikasi tersebut tidak serta merta bisa membawa kita untuk berfikir negatif tentang perkembangan gratifikasi itu sendiri.

Oleh karena peristiwa atau transaksi yang bersifat gratifikasi sebenarnya sudah ada dari zaman dahulu di zaman nenek moyang kita. Hanya saja dizaman dahulu nenek moyang kita melakukan dengan penuh kesadaran dengan memegang teguh prinsip yang bernilai pancasila dan patuh terhadap hukum dan undang-undang yang berlaku. Sedangkan sekarang atau saat ini orang-orang melakukannya kadang-kadang diluar norma dan diluar dari prinsip dasar yang seperti dilakukan para pendahulu kita.

Di mana di zaman ini gratifikasi selalu memanfaatkan kepentingan dan momentum yang ada pada situasi yang merusak prinsip dasar hukum dan undang-undang yang berlaku di Negara ini. Disinilah seharusnya orang yang dekat dengan penentuan kebijakan harus sadar dan harus mempunyai integritas. Sebab tanpa integritas gratifikasi yang tergolong suap kerap akan terjadi bahkan bisa terjadi berulang-ulang.

Untuk itu, pentingnya integritas dalam pribadi seseorang apalagi jika dia pemerintah atau pejabat publik karena dengan integritas yang mereka miliki praktek gratifikasi yang terjadi bisa dikatakan tidak akan berdampak buruk bagi siapapun apalagi berdampak kepada Negara. Sekaitan dengan perihal gratifikasi, saat ini integritas menjadi sesuatu yang sangat di butuhkan oleh seluruh anak bangsa guna untuk memerangi praktik gratifikasi yang curang.

Kita semua tentu menginginkan segera diakhirinya perilaku koruptif yang masih marak terjadi sampai dengan saat ini. Korupsi terjadi di semua lini kehidupan yang berkaitan dengan gratifikasi, baik yang dilakukan oleh oknum swasta maupun pegawai pemerintah akibat tidak berintegritas. Karena, sekecil apapun bentuk perilaku koruptif, sangat bertentangan dengan nilai ajaran agama begitupun dengan Undang-Undang di Negara kita Indonesia ini.

Peta Situs   |  Email Kemenkeu   |   FAQ   |   Prasyarat   |   Hubungi Kami

KPPN Watampone
Jl. K.H. Agus Salim No.7, Macege, Tanete Riattang Barat, Watampone, Sulawesi Selatan 92732

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Djuanda I Lt. 9
Gedung Prijadi Praptosuhardo II Lt. 1 Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat 10710
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

IKUTI KAMI

 

PENGADUAN

   

 

Search