Di dunia kerja yang terus berubah, salah satu tantangan terbesar justru bukan soal teknologi, regulasi, atau target kinerja. Tantangan itu datang dari dalam: bagaimana kita berinteraksi dengan rekan kerja yang berbeda generasi. Hal ini terjadi juga di Kementerian Keuangan. Di balik prestasi dan profesionalisme yang terus dijaga, ada dinamika antargenerasi yang perlu mendapat perhatian serius.
Selama ini, tanpa kita sadari, stigma antargenerasi sering hadir dalam keseharian. Generasi muda dicap terlalu ambisius, kurang sabar, atau terlalu idealis. Sebaliknya, generasi senior dianggap kaku, sulit berubah, bahkan menghambat ide-ide baru. Label-label ini mungkin hanya berupa candaan atau gurauan, tetapi dampaknya nyata: komunikasi menjadi kaku, kerja sama tersendat, dan kepercayaan perlahan memudar.
Padahal, setiap generasi punya kelebihan masing-masing. Generasi Baby Boomers terkenal loyal dan menghormati aturan. Generasi X lebih mandiri dan pragmatis. Generasi Y atau milenial datang dengan semangat kolaboratif dan terbuka terhadap inovasi. Generasi Z, yang lahir di era digital, sangat adaptif dan menghargai keseimbangan hidup. Semua karakteristik ini, jika dikolaborasikan, akan menjadi kekuatan luar biasa.
Sayangnya, tanpa kesadaran bersama, potensi ini justru bisa menjadi sumber konflik. Inilah yang mendorong Kementerian Keuangan menyusun Pedoman Program Mengatasi Stigma Antargenerasi di Lingkungan Kemenkeu. Sebuah langkah strategis untuk menciptakan budaya kerja inklusif, produktif, dan harmonis.
Program ini tidak hanya berhenti pada himbauan atau slogan. Ia diterjemahkan dalam aksi nyata yang terukur. Dimulai dengan kampanye kesadaran lewat poster, video, dan briefing pimpinan. Dilanjutkan dengan forum diskusi lintas generasi, mentoring, pembentukan tim lintas usia, hingga sesi umpan balik rutin. Semua ini dirancang untuk membuka ruang dialog, saling mendengarkan, dan membangun kepercayaan.
Dalam prosesnya, program ini juga mengadopsi pendekatan ADKAR: Awareness (kesadaran), Desire (keinginan), Knowledge (pengetahuan), Ability (kemampuan), dan Reinforcement (penguatan). Langkah-langkah ini memastikan perubahan budaya tidak berhenti di permukaan, tetapi mengakar hingga menjadi kebiasaan.
Namun, tentu saja perubahan budaya tidak bisa dicapai dalam semalam. Butuh komitmen semua pihak, terutama para pimpinan. Mereka dituntut menjadi teladan, membuka ruang komunikasi, dan berani mengevaluasi diri. Pemimpin juga perlu aktif mendukung kegiatan program, memastikan pelaksanaan tidak hanya formalitas, tetapi benar-benar membawa manfaat.
Monitoring dan evaluasi juga menjadi bagian penting. Kementerian Keuangan sudah menetapkan pelaporan berkala agar implementasi program bisa diukur dan diperbaiki jika perlu. Pendekatan ini menunjukkan keseriusan, bahwa program ini bukan sekadar proyek jangka pendek, tetapi investasi jangka panjang untuk budaya organisasi yang lebih sehat.
Jika program ini berhasil, dampaknya tidak hanya dirasakan di internal Kemenkeu. Pegawai yang merasa didengar, dihargai, dan dipercaya akan bekerja lebih optimal, lebih inovatif, dan lebih bahagia. Ujungnya, pelayanan publik yang diberikan pun akan meningkat. Pegawai yang harmonis akan menciptakan layanan yang lebih responsif, humanis, dan solutif.
Pelajaran dari program ini juga relevan untuk instansi lain, baik di sektor publik maupun swasta. Perbedaan generasi bukan ancaman, tetapi peluang. Setiap generasi membawa nilai, pengalaman, dan cara pandang yang saling melengkapi. Kolaborasi lintas usia bukan hanya soal toleransi, tetapi juga strategi untuk bertahan di dunia yang terus berubah.
Sebagai masyarakat, kita pun diingatkan untuk tidak mudah melabeli orang hanya karena beda generasi. Setiap orang lahir, tumbuh, dan bekerja di zamannya masing-masing. Alih-alih menghakimi, lebih baik kita berusaha memahami dan mendukung satu sama lain.
Akhirnya, merdeka dari stigma bukan berarti menghapus perbedaan. Justru mengakui keberagaman sebagai kekayaan, dan menjadikannya kekuatan bersama. Kementerian Keuangan telah memulai langkah ini. Sekarang tugas kita bersama untuk memastikan langkah ini berlanjut dan menginspirasi lebih banyak pihak.
Karena harmoni antargenerasi bukan hanya tentang kenyamanan bekerja. Ia adalah fondasi untuk membangun organisasi yang adaptif, inovatif, dan berkelanjutan. Dan pada akhirnya, ia juga bagian dari ikhtiar membangun Indonesia yang lebih inklusif dan kolaboratif.
Disclaimer : Tulisan diatas adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat organisasi