Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bukan semata tabel angka tentang pendapatan dan pengeluaran negara. Ia adalah cermin dari pilihan kebijakan, arah pembangunan, dan komitmen negara terhadap kesejahteraan rakyatnya. Dalam dinamika global yang penuh ketidakpastian serta kebutuhan domestik yang terus meningkat, keberadaan APBN yang sehat dan berkelanjutan menjadi prasyarat mutlak untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Namun, pertanyaannya bukan sekadar bagaimana mengelola APBN, melainkan bagaimana menjadikannya instrumen fiskal yang lebih tajam, adil, dan efektif dalam menjawab tantangan zaman. Di sinilah pentingnya penguatan fiskal secara holistik, yang mencakup tiga pilar utama: collecting more, spending better, dan innovative financing secara prudent.
Collecting More: Meningkatkan Penerimaan Negara secara Adil dan Efisien
Penguatan APBN dimulai dari sisi penerimaan. Prinsip collecting more bukan berarti sekadar menaikkan tarif pajak, melainkan memperluas basis pajak, meningkatkan kepatuhan, dan memperbaiki sistem administrasi perpajakan.
Direktorat Jenderal Pajak misalnya, terus mengembangkan core tax system berbasis digital yang lebih transparan dan akuntabel. Ini penting agar pajak tidak hanya menjadi beban, tetapi juga menjadi bentuk gotong royong warga negara dalam pembangunan. Dengan prinsip keadilan, maka yang kuat menyokong lebih besar, sementara yang lemah tetap dilindungi.
Selain perpajakan, optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP), seperti dari sektor sumber daya alam dan dividen BUMN, juga menjadi perhatian. Ke depan, diversifikasi sumber pendapatan negara sangat penting agar tidak terlalu bergantung pada komoditas yang volatil.
Spending Better: Membelanjakan Uang Negara dengan Cerdas dan Terukur
Jika penerimaan adalah jantung APBN, maka belanja negara adalah nadinya. Namun, besarnya belanja tidak selalu berbanding lurus dengan dampak. Oleh karena itu, spending better menjadi kunci agar setiap rupiah yang dibelanjakan menghasilkan manfaat maksimal.
Prinsip ini menuntut peningkatan kualitas perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi anggaran. Program yang tumpang tindih, tidak efektif, atau sarat birokrasi harus direformasi. Di sisi lain, belanja produktif---seperti untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan perlindungan sosial---harus terus ditingkatkan kualitas dan efisiensinya.
Inovasi seperti automatic adjustment dan budget tagging yang digunakan Kementerian Keuangan saat ini dapat menjadi instrumen penting untuk menjaga fleksibilitas dan akuntabilitas belanja dalam menghadapi dinamika ekonomi yang cepat berubah.
Innovative Financing: Menjembatani Kebutuhan Pembangunan secara Berkelanjutan
Kebutuhan pembiayaan pembangunan terus meningkat, sementara ruang fiskal terbatas. Di sinilah peran innovative financing dibutuhkan---bukan sebagai utang tanpa batas, tetapi sebagai instrumen pembiayaan yang cerdas dan terukur (prudent).
Skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), green bonds, maupun blended finance adalah contoh bagaimana negara bisa menggandeng sektor swasta dan investor global tanpa membebani APBN secara langsung.
Namun, prinsip kehati-hatian tetap menjadi landasan. Risiko fiskal harus dihitung cermat. Setiap keputusan pembiayaan harus mempertimbangkan kapasitas bayar jangka panjang serta keberlanjutan fiskal negara.
Literasi APBN: Menjadikan Masyarakat sebagai Mitra Pembangunan
Penting untuk disadari, bahwa pemahaman masyarakat tentang APBN sangat krusial. Sebab transparansi dan akuntabilitas tak hanya berhenti di laporan kementerian atau presentasi pejabat negara, tetapi harus sampai ke kesadaran warga biasa---bahwa APBN adalah uang rakyat, dan penggunaannya harus dipantau serta didukung secara partisipatif.
Melalui literasi publik yang lebih masif, masyarakat bisa menjadi mitra aktif dalam pembangunan. Kampanye "Uang Kita" oleh Kementerian Keuangan, misalnya, merupakan langkah awal yang baik. Namun perlu lebih dari itu---perlu pendekatan kolaboratif dengan media, dunia pendidikan, dan komunitas sipil agar APBN tidak lagi menjadi istilah teknokratis yang asing, tetapi bagian dari kehidupan sehari-hari warga negara.
Menuju Pertumbuhan yang Inklusif dan Tangguh
Ekonomi Indonesia sedang berada pada simpang jalan. Kita butuh pertumbuhan yang lebih tinggi dari 5 persen, namun tidak bisa dengan cara-cara lama. Kita butuh pembangunan yang menjangkau desa dan kota, perempuan dan laki-laki, anak muda dan lansia, pelaku usaha besar maupun UMKM.
Untuk itu, APBN sebagai instrumen fiskal harus hadir secara lebih progresif, inklusif, dan strategis. Tidak hanya menopang pertumbuhan jangka pendek, tetapi juga memastikan keadilan antar generasi.
Dengan penguatan fiskal secara holistik---melalui collecting more, spending better, dan innovative financing yang prudent---kita sedang membangun fondasi bagi Indonesia yang tangguh, adil, dan berkelanjutan.
Karena sejatinya, APBN bukan milik pemerintah semata. Ia adalah milik seluruh rakyat Indonesia.
Disclaimer : Tulisan diatas adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat organisasi