Dalam iklim ketidakpastian global yang kian kompleks, kemampuan suatu negara dalam mengelola pembiayaan anggarannya menjadi penentu utama arah pembangunan dan keberlangsungan sistem fiskalnya. Di tengah tantangan perlambatan ekonomi global, kenaikan suku bunga internasional, hingga potensi risiko geopolitik, pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia untuk tahun 2025 diarahkan untuk tetap efisien, adaptif, dan berkelanjutan.
Salah satu elemen kunci dalam pembiayaan APBN adalah utang. Kata "utang" sering kali menimbulkan kekhawatiran publik---dan tidak salah. Namun dalam konteks pembangunan nasional, utang bukanlah momok, melainkan alat strategis. Yang menjadi soal adalah bagaimana kita mengelola utang itu: apakah sebagai pendorong pertumbuhan atau justru jebakan fiskal yang menggerogoti kedaulatan ekonomi masa depan.
Menjaga Rasio Utang dalam Batas Aman
Arah kebijakan pembiayaan utang 2025 ditekankan pada pengendalian rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) agar tetap dalam batas aman. Prinsip kehati-hatian ini menjadi fundamental dalam menjaga stabilitas ekonomi makro dan menjamin keberlanjutan fiskal. Pemerintah menyadari bahwa utang yang membengkak tanpa disertai pertumbuhan ekonomi yang sepadan hanya akan menumpuk beban bunga, mempersempit ruang fiskal, dan mengancam kualitas belanja publik.
Untuk itu, pendekatan akseleratif diterapkan: memanfaatkan utang secara terukur untuk mempercepat pembangunan, tetapi tetap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Tidak semua utang buruk; utang produktif yang diarahkan pada pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan adalah investasi jangka panjang bangsa.
Utamakan Pembiayaan Domestik, Hindari Guncangan Eksternal
Dalam upaya menekan risiko eksternal, pemerintah semakin mengutamakan pembiayaan dari dalam negeri. Hal ini sejalan dengan kebijakan untuk memperkuat ketahanan sektor keuangan nasional serta mengurangi ketergantungan pada pembiayaan luar negeri yang rentan terhadap fluktuasi nilai tukar dan suku bunga global.
Langkah ini didukung oleh strategi pendalaman pasar keuangan domestik, melalui pengembangan instrumen utang seperti Surat Berharga Negara (SBN), Sukuk, maupun instrumen pembiayaan hijau. Dengan demikian, pembiayaan tidak hanya bergantung pada sumber konvensional, tetapi juga mampu menjangkau segmen investor yang lebih luas, termasuk individu dan generasi muda.
Literasi dan Inklusi Keuangan: Membangun Basis Investor Domestik
Pengelolaan utang yang sehat tidak cukup hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga membutuhkan partisipasi publik. Untuk itu, pemerintah terus memperluas basis investor domestik melalui peningkatan literasi dan inklusi keuangan. Edukasi yang efektif kepada masyarakat mengenai manfaat dan risiko instrumen utang negara menjadi krusial.
Di era digital, partisipasi masyarakat dalam pembelian obligasi ritel negara (ORI, SBR, dan Sukuk Ritel) menjadi bukti bahwa keterlibatan publik dalam pembiayaan negara bisa tumbuh seiring peningkatan kesadaran finansial. Inilah wajah demokratisasi keuangan yang turut memperkuat kemandirian pembiayaan.
Manajemen Risiko: Lindung Nilai dan Diversifikasi Instrumen
Kebijakan pengelolaan utang juga menekankan pentingnya strategi liability management atau pengelolaan kewajiban utang secara aktif. Dengan melakukan refinancing utang berbiaya tinggi ke utang berbiaya lebih murah, serta menerapkan skema lindung nilai (hedging), pemerintah dapat mengurangi risiko fluktuasi suku bunga dan nilai tukar.
Diversifikasi instrumen utang juga menjadi kunci untuk menjaga fleksibilitas pembiayaan. Tidak hanya untuk jangka pendek, tapi juga jangka menengah dan panjang, sesuai kebutuhan arus kas negara dan arah pembangunan jangka panjang.
Transparansi dan Akuntabilitas: Pilar Utama Kepercayaan Publik
Tidak kalah penting adalah transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan utang. Publik berhak tahu: utang digunakan untuk apa, dikelola bagaimana, dan kapan harus dibayar. Dalam hal ini, publikasi laporan utang yang terbuka, audit oleh BPK, serta pengawasan DPR menjadi instrumen demokrasi fiskal yang harus diperkuat.
Kredibilitas pemerintah dalam mengelola utang akan menciptakan kepercayaan, baik dari investor dalam negeri maupun internasional. Kepercayaan inilah yang menjadi modal utama untuk menjaga stabilitas pasar keuangan dan mendukung keberlanjutan pembiayaan.
Pembiayaan Kreatif dan Berkelanjutan: Masa Depan yang Diperjuangkan
Ke depan, strategi pembiayaan negara tak bisa hanya mengandalkan utang konvensional. Pembiayaan kreatif dan berkelanjutan, seperti skema kemitraan pemerintah-swasta (PPP), , hingga obligasi berbasis green financing hasil pembangunan (outcome-based bonds), menjadi terobosan untuk menjawab tantangan pembangunan yang makin kompleks.
Dengan demikian, kita tidak hanya berbicara tentang "dari mana uangnya", tetapi juga bagaimana cara yang cerdas dan etis untuk mendapatkan dan mengelolanya, demi menciptakan masa depan yang lebih berkeadilan dan inklusif.
Utang sebagai Instrumen, Bukan Beban
Utang tidak selalu buruk. Utang bisa menjadi alat pembangunan atau bencana fiskal, tergantung siapa yang mengelola dan untuk apa ia digunakan. Dalam konteks APBN 2025, arah kebijakan pembiayaan utang Indonesia memperlihatkan tekad untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan pembangunan dan keberlanjutan fiskal.
Tugas kita sebagai warga negara adalah untuk melek fiskal, memahami bahwa pembangunan membutuhkan pembiayaan yang cerdas, efisien, dan berintegritas. Transparansi dan literasi menjadi jembatan untuk menghindari polemik berkepanjangan seputar utang negara.
Dalam dunia yang terus berubah, satu hal tetap: utang harus dikelola, bukan dibiarkan liar. Di sinilah peran kita semua---baik sebagai pembuat kebijakan, pelaku pasar, maupun warga negara---diperlukan untuk memastikan bahwa setiap rupiah utang yang ditarik hari ini akan menjadi pondasi kesejahteraan yang kokoh bagi generasi esok.
Disclaimer : Tulisan diatas adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat organisasi