Tak ada negara maju yang dibangun dengan menahan belanja. Sebaliknya, negara-negara yang mampu tumbuh cepat dan berkelanjutan adalah mereka yang mampu merancang strategi pembiayaan investasi secara cerdas---efektif, terukur, dan tetap menjaga keberlanjutan fiskal. Indonesia pun kini tengah bergerak dalam kerangka itu: memperkuat kebijakan pembiayaan investasi dalam postur APBN sebagai bagian tak terpisahkan dari agenda pembangunan nasional.
Pembiayaan investasi bukan sekadar pos pengeluaran. Ia adalah arsitektur masa depan. Dalam skema besar APBN 2025, Pemerintah Indonesia menempatkan pembiayaan investasi sebagai instrumen kunci untuk memperkuat BUMN, menggerakkan proyek strategis nasional, memperluas layanan publik melalui BLU, serta menciptakan sinergi pembangunan yang lebih lincah melalui SWF dan SMV.
Namun, dalam prosesnya, ada satu prinsip yang tidak boleh dilupakan: pembangunan yang masif tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kesinambungan fiskal. Inilah seni mengelola investasi publik: mengukur risiko, memitigasi beban jangka panjang, dan memastikan hasil yang berlipat ganda bagi rakyat.
Meningkatkan Efektivitas PMN: Dari Suntikan Modal ke Dampak Riil
Salah satu titik berat kebijakan pembiayaan investasi adalah optimalisasi Penyertaan Modal Negara (PMN). Dalam sejarah anggaran, PMN kerap dipandang sebagai instrumen penyelamat korporasi negara yang mengalami tekanan keuangan. Namun paradigma itu kini bergeser. PMN diarahkan untuk memperkuat model bisnis BUMN, mendorong ekspansi sektor strategis, dan mengakselerasi proyek-proyek pembangunan dengan multiplier effect tinggi.
Efektivitas PMN harus diukur dari seberapa besar dampak ekonominya terhadap masyarakat. Apakah menciptakan lapangan kerja baru? Apakah memperkuat ketahanan energi dan pangan nasional? Apakah menghasilkan dividen yang signifikan bagi kas negara? Inilah indikator yang semestinya dipakai dalam menilai setiap keputusan investasi negara.
Selain itu, prinsip transparansi dan akuntabilitas harus menjadi fondasi. Publik berhak tahu ke mana PMN diarahkan, siapa yang menerima, dan apa target capaian kinerjanya. Jika tidak, risiko pemborosan dan ketidakefisienan akan selalu mengintai.
Menguatkan SMV dan SWF: Membangun Otot Finansial Tanpa Bebani APBN
Pemerintah telah menunjukkan keberanian dan inovasi dalam membentuk Special Mission Vehicles (SMV) dan Sovereign Wealth Fund (SWF) seperti Indonesia Investment Authority (INA). Kedua instrumen ini dirancang untuk menjembatani kesenjangan pembiayaan tanpa mengandalkan APBN secara langsung.
SMV dan SWF memungkinkan pemerintah mengelola investasi jangka panjang dengan pendekatan pasar yang lebih lincah. Mereka bisa menghimpun dana dari investor institusional dalam dan luar negeri untuk dikelola pada proyek-proyek infrastruktur, energi hijau, dan digitalisasi ekonomi. Tidak hanya itu, keberadaan mereka membuka jalan bagi skema pembiayaan campuran atau blended finance yang efisien.
Namun keberhasilan instrumen ini sangat bergantung pada dua hal: tata kelola yang independen dan profesionalisme manajerial. Tidak boleh ada intervensi politik atau kepentingan jangka pendek yang mengaburkan arah investasi strategis.
BUMN dan BLU sebagai Agen Pembangunan, Bukan Beban Negara
Ke depan, BUMN dan BLU diharapkan menjadi agent of development, bukan sekadar entitas ekonomi milik negara. BUMN seperti PT PLN, PT KAI, hingga Bio Farma memegang peran vital dalam mengisi ruang kosong pembangunan yang tidak tersentuh sektor swasta. BLU pun---mulai dari rumah sakit pendidikan, lembaga riset, hingga pelabuhan---telah terbukti mampu memberikan layanan publik dengan efisiensi anggaran yang lebih baik.
Pemerintah mengarahkan kebijakan pembiayaan investasi untuk mendorong KPBU (Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha). Skema ini adalah bentuk cerdas dari pembiayaan proyek yang membagi risiko dan beban fiskal dengan swasta. Dengan jaminan transparansi dan keadilan kontraktual, KPBU bisa menjadi tulang punggung pembangunan tanpa harus menguras anggaran negara.
Di sisi lain, reformasi struktural terhadap BUMN dan BLU harus dilanjutkan. Mereka harus mampu menghasilkan nilai tambah, termasuk dalam bentuk kontribusi langsung terhadap penerimaan negara: dividen, pajak, dan bahkan perluasan akses layanan publik yang efisien.
Menumbuhkan Pasar Pembiayaan dan Inovasi Keuangan Nasional
Salah satu tujuan jangka panjang kebijakan pembiayaan investasi adalah mendorong pengembangan pasar keuangan nasional. Pemerintah tidak bisa selamanya menjadi satu-satunya sumber pembiayaan pembangunan. Karena itu, menciptakan ekosistem pembiayaan yang sehat, inklusif, dan inovatif menjadi syarat mutlak.
Instrumen seperti green bond, sukuk ritel, hingga pembiayaan berbasis proyek perlu diperluas. Bahkan, penguatan lembaga pembiayaan pembangunan seperti PT SMI (Sarana Multi Infrastruktur) dan Lembaga Pengelola Investasi menjadi pilar penting dalam menjembatani kebutuhan pembiayaan proyek dan kesiapan pasar.
Literasi keuangan di level publik juga penting. Masyarakat harus memahami bahwa berinvestasi pada proyek-proyek pembangunan melalui instrumen negara bukan hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga menjadi bagian dari tanggung jawab warga negara dalam membangun bangsa.
Literasi APBN Adalah Hak Publik, Bukan Monopoli Ahli
Ketika kita membicarakan APBN, sejatinya kita sedang membicarakan uang rakyat. Maka pembiayaan investasi---sekokoh dan serumit apapun---harus dimengerti rakyat. Literasi fiskal bukan hanya domain teknokrat, melainkan hak konstitusional warga negara. Di sinilah tantangan dan tanggung jawab media, akademisi, dan komunitas digital seperti Kompasiana menjadi sangat relevan.
Kebijakan pembiayaan investasi harus disampaikan dalam bahasa publik. Bukan sekadar angka dan istilah teknis, tetapi dalam narasi harapan, dampak, dan masa depan. Karena pada akhirnya, investasi terbaik yang dilakukan negara adalah ketika rakyat percaya bahwa setiap rupiah dikelola untuk kesejahteraan bersama.
Disclaimer : Tulisan diatas adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat organisasi