APBN dalam Lanskap Risiko
Di tengah ketidakpastian global yang kian intens --- dari tensi geopolitik, perubahan iklim ekstrem, hingga fluktuasi pasar keuangan internasional --- Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tak bisa dikelola secara business as usual. Ia memerlukan kecermatan ekstra. Dalam APBN 2025, pemerintah tidak hanya merancang peta jalan pembangunan nasional, tetapi juga menyiapkan sistem navigasi fiskal yang adaptif menghadapi beragam risiko ekonomi dan kelembagaan.
Kementerian Keuangan secara konsisten mengungkapkan risiko fiskal dalam Nota Keuangan sejak 2008. Praktik ini menjadi tonggak penting dalam membangun budaya fiskal yang transparan dan akuntabel. Tahun ini, pengelolaan risiko fiskal tidak lagi sekadar pelengkap dokumen anggaran, tetapi menjadi perangkat utama untuk menjaga keberlanjutan dan ketahanan fiskal Indonesia.
Mengenali Sumber-Sumber Risiko Fiskal
Dalam dokumen Informasi APBN 2025, setidaknya terdapat lima kelompok risiko fiskal yang patut diwaspadai dan dikelola secara strategis:
1. | Risiko Perubahan Kondisi Ekonomi Makro |
Fluktuasi harga minyak, pelemahan nilai tukar rupiah, peningkatan suku bunga global, hingga menurunnya permintaan ekspor bisa memukul asumsi dasar ekonomi makro. Risiko ini berpotensi menekan pendapatan negara dan memperbesar beban pembiayaan. Untuk itu, pemerintah melakukan monitoring berkala, analisis sensitivitas terhadap asumsi dasar, dan menyediakan dana cadangan sebagai shock absorber fiskal. | |
2. | Risiko Implementasi Program dan Kebijakan |
Seringkali, keputusan politik atau perubahan regulasi yang tidak sejalan dengan postur fiskal menciptakan beban baru bagi APBN. Misalnya, penghapusan pajak jenis tertentu tanpa pengganti yang sepadan atau program populis yang berdampak fiskal tinggi. Strategi mitigasi mencakup optimalisasi belanja wajib (mandatory spending), peningkatan penerimaan negara, mendorong creative financing, hingga memperkuat efektivitas UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). | |
3. | Risiko Kewajiban Kontinjensi Pemerintah Pusat |
Ini adalah "ranjau laten" dalam keuangan negara. Ketika pemerintah memberikan jaminan atas proyek tertentu, dan proyek tersebut gagal, maka anggaran harus turun tangan. Untuk itu, digunakan pendekatan risk sharing dengan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII), pembatasan exposure sesuai Batas Maksimum Penjaminan (BMP), serta penguatan tata kelola risiko. | |
4. | Risiko Neraca Konsolidasi Sektor Publik |
Keseimbangan fiskal tidak hanya diukur dari APBN, melainkan dari neraca agregat sektor publik, termasuk BUMN dan lembaga keuangan negara. Jika salah satu entitas gagal bayar atau mengalami krisis, dampaknya bisa sistemik. Pemerintah mendorong sinergi pusat-daerah, implementasi UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), serta memperluas pembiayaan inovatif seperti blended finance. | |
5. | Risiko Fiskal Daerah |
Otonomi fiskal daerah tidak bisa dilepas begitu saja tanpa pengawasan. Ketidakseimbangan fiskal di daerah berpotensi menyebar ke pusat, terutama jika belanja daerah tidak produktif atau sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak berkembang. Solusinya adalah mendorong transfer ke daerah berbasis kinerja dan memperkuat kapasitas kelembagaan fiskal lokal. |
Fiskal Sehat, Negara Kuat
Sehatnya APBN bukan hanya dilihat dari angka defisit atau rasio utang, tetapi juga dari kemampuannya bertahan terhadap guncangan. Tahun 2025, pemerintah menetapkan defisit fiskal dalam batas aman dan berkomitmen menjaga kesinambungan fiskal jangka panjang. Namun komitmen ini tidak akan cukup tanpa manajemen risiko yang disiplin, fleksibel, dan partisipatif.
Penting disadari bahwa pengelolaan risiko fiskal bukan hanya urusan teknokrat. Ini menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Ketika risiko gagal dimitigasi, yang terkena dampak pertama adalah pelayanan publik: keterlambatan bantuan sosial, pemangkasan anggaran pendidikan, hingga terganggunya pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu, keterbukaan pemerintah terhadap risiko fiskal perlu diapresiasi dan dikawal bersama.
Menumbuhkan Kesadaran Fiskal di Tengah Masyarakat
Sayangnya, istilah seperti "risiko fiskal", "kewajiban kontinjensi", atau "neraca konsolidasi sektor publik" masih terdengar asing di telinga publik. Padahal, dampaknya sangat nyata. Literasi fiskal harus menjadi bagian penting dalam agenda pembangunan sumber daya manusia. Masyarakat perlu diberi ruang untuk memahami bagaimana uang negara dikelola, apa tantangannya, dan bagaimana mitigasinya.
Lewat publikasi rutin, forum dialog publik, pelibatan media, serta kampanye berbasis data dan narasi yang mudah dicerna, upaya membumikan isu fiskal akan memperkuat daya tahan demokrasi. Negara kuat hanya akan hadir jika rakyat paham cara kerjanya.
Antisipasi adalah Benteng Terbaik
Di dunia yang penuh ketidakpastian, APBN tidak bisa dibiarkan berjalan dengan asumsi optimistis semata. Ia harus dilengkapi dengan strategi mitigasi risiko yang menyeluruh dan tangguh. APBN 2025 menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia semakin matang dalam mengantisipasi risiko fiskal --- dari pusat hingga daerah, dari ekonomi makro hingga kewajiban tersembunyi.
Tantangannya ke depan adalah menjaga agar strategi mitigasi ini tidak sekadar tertulis dalam dokumen, tetapi benar-benar menjadi praktik keseharian dalam pengelolaan anggaran negara.
Disclaimer : Tulisan diatas adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat organisasi