Dalam dinamika keuangan negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bukan hanya instrumen fiskal, melainkan juga cermin komitmen pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat. Setiap rupiah yang tercantum dalam pos belanja adalah janji: pembangunan infrastruktur, pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan, hingga transformasi digital nasional. Namun, pertanyaannya: dari mana sumber dana yang menopang ambisi itu? Di tengah ketidakpastian global, defisit fiskal, dan tuntutan pembangunan berkelanjutan, jawaban atas pertanyaan itu mengarah pada satu kata: pembiayaan.
Salah satu bentuk pembiayaan yang kini semakin mendapat tempat di hati publik adalah penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) ritel. Instrumen ini bukan sekadar produk investasi. Ia adalah wujud gotong royong fiskal antara negara dan warganya. Melalui SBN ritel, negara tidak lagi hanya bergantung pada investor institusi besar atau lembaga keuangan internasional. Kini, pegawai negeri, pegawai swasta, petani, ibu rumah tangga, guru, pengusaha kecil, bahkan mahasiswa pun bisa menjadi investor bagi negaranya sendiri.
APBN dan Urgensi Pembiayaan Inklusif
Setiap tahun, APBN disusun dengan asumsi dasar makro dan kebijakan prioritas nasional. Dalam realisasinya, belanja sering kali melebihi pendapatan, yang membuat pembiayaan menjadi keharusan. Ketika belanja negara diarahkan untuk hal produktif --- seperti pembangunan jalan, rumah sakit, dan sekolah --- maka pembiayaan tidak harus dipandang sebagai beban, melainkan sebagai investasi jangka panjang.
Di sinilah SBN ritel memainkan peran strategis. Ia menjadi salah satu sumber pembiayaan domestik yang aman, terukur, dan relatif stabil. Lebih dari itu, kehadiran SBN ritel memperkuat kemandirian pembiayaan nasional, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, serta mendekatkan masyarakat pada konsep gotong royong dalam pembangunan.
SBN Ritel: Dari Instrumen Fiskal ke Gerakan Nasional
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan secara konsisten menerbitkan berbagai jenis SBN ritel seperti ORI (Obligasi Ritel Indonesia), SR (Sukuk Ritel), ST (Sukuk Tabungan), dan SBR (Saving Bond Ritel). Semua instrumen ini memiliki karakteristik yang disesuaikan dengan kebutuhan investor ritel: nilai pembelian terjangkau, risiko minimal, imbal hasil kompetitif, dan --- yang terpenting --- jaminan 100 persen dari negara.
Namun, yang membuat SBN ritel lebih dari sekadar instrumen investasi adalah esensi kebangsaannya. Membeli SBN ritel berarti berkontribusi langsung dalam membiayai negara. Uang yang disetor investor akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek produktif yang dirancang demi kesejahteraan bersama.
Gerakan ini bukan sekadar finansial, tetapi kultural. Ia mengajak rakyat untuk tidak lagi sekadar menjadi objek pembangunan, tetapi subjek aktif. Negara pun tidak lagi menjadi entitas yang jauh dan abstrak, melainkan menjadi ruang partisipasi konkret yang bisa dimasuki oleh siapa saja, cukup dengan modal sejuta rupiah.
Tantangan Literasi dan Aksesibilitas
Kendati prospek SBN ritel cerah, tantangan terbesar terletak pada literasi keuangan masyarakat. Masih banyak warga yang menganggap investasi sebagai sesuatu yang eksklusif, berisiko tinggi, dan hanya cocok untuk orang kaya. Dalam konteks ini, pemerintah dan lembaga keuangan memiliki tugas besar untuk mendekatkan konsep investasi negara kepada masyarakat awam.
Literasi bukan hanya soal pemahaman teknis, tetapi juga membangun kepercayaan. Sosialisasi harus menyentuh aspek emosional: rasa bangga menjadi bagian dari pembangunan nasional, merasa memiliki negara, dan menyadari bahwa masa depan Indonesia bisa dibentuk melalui keputusan finansial sehari-hari.
Digitalisasi telah membuka peluang besar. Saat ini, pembelian SBN ritel bisa dilakukan dengan mudah melalui platform daring. Namun, tanpa pemahaman yang memadai, kemudahan ini tak akan maksimal. Oleh karena itu, literasi dan aksesibilitas harus berjalan beriringan.
Saatnya Rakyat Menjadi Pemilik Masa Depan
Masa depan Indonesia tidak bisa hanya diserahkan kepada elite pemerintahan atau sektor korporasi. Ia harus dikelola bersama, ditopang bersama, dan dimiliki bersama. Di sinilah pentingnya memperluas partisipasi publik dalam pembiayaan negara.
Pembiayaan APBN melalui SBN ritel membuka ruang kolaborasi baru antara negara dan rakyat. Ia mengubah paradigma bahwa menjadi bagian dari pembangunan bukan hanya dengan membayar pajak atau sekadar memilih dalam pemilu, tetapi juga dengan menjadi investor dalam arti sesungguhnya.
Bayangkan jika jutaan warga Indonesia rutin membeli SBN ritel. Maka, bukan hanya pembiayaan yang stabil, tetapi juga terbentuk sebuah komunitas warga yang memiliki sense of belonging terhadap negara dan masa depannya. Inilah bentuk gotong royong abad ke-21: rakyat membiayai negara, dan negara membalasnya dengan pembangunan yang adil dan merata.
Investasi dalam Kebangsaan
Investasi dalam SBN ritel pada akhirnya bukan hanya soal keuntungan finansial, melainkan juga tentang warisan. Ia adalah investasi dalam kebangsaan, dalam kepercayaan pada institusi negara, dan dalam masa depan anak cucu kita.
Jika selama ini narasi investasi lebih banyak didominasi oleh keuntungan individu, maka kini saatnya membalikkan arah. Melalui SBN ritel, kita menegaskan bahwa keuntungan sejati adalah ketika kita semua tumbuh bersama sebagai bangsa. Maka, pertanyaannya bukan lagi: kenapa kita harus beli SBN ritel? Tapi, mengapa tidak dari dulu kita ikut membiayai mimpi besar Indonesia?
Disclaimer : Tulisan diatas adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat organisasi