Perekonomian Jawa Barat pada Triwulan I-2025 menunjukkan performa yang solid dan stabil. Pertumbuhan ekonomi tercatat 4,98 persen (y-on-y), melampaui pertumbuhan nasional (4,87 persen), dengan PDRB mencapai Rp734,08 triliun (ADHB). Pertumbuhan ini didorong oleh konsumsi rumah tangga (PK-RT) dan konsumsi lembaga nonprofit (PK-LNPRT), serta didukung signifikan oleh sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan yang tumbuh 31,89 persen. Industri Pengolahan tetap menjadi kontributor terbesar PDRB.
Inflasi Jawa Barat pada Maret 2025 tercatat 0,81 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan nasional (1,03 persen) dan inflasi tahun sebelumnya (3,05 persen). Inflasi tertinggi terjadi di Kota Sukabumi (1,77 persen), dan terendah di Kota Cirebon (0,24 persen). Kenaikan harga terjadi pada kelompok makanan, pakaian, transportasi, serta perawatan pribadi.
Di sisi perdagangan luar negeri, neraca perdagangan Jawa Barat pada Maret 2025 tetap surplus sebesar USD 2,11 miliar, meski turun 1,42 persen dari tahun sebelumnya. Ekspor mencapai USD 3,091 miliar, mengalami penurunan 3,29 persen (yoy), sedangkan nilai impor sebesar USD 0,976 miliar meningkat 10,38 persen (m-to-m).
Dalam aspek kesejahteraan, beberapa indikator sosial menunjukkan perbaikan. Tingkat kemiskinan pada September 2024 sebesar 7,08 persen turun 0,38 persen dibandingkan Maret 2024, lebih rendah dari nasional (8,57 persen), dengan total penduduk miskin sebanyak 3,67 juta orang. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada bulan Februari 2025 sebesar 6,74 persen turun 0,17 persen dari tahun sebelumnya. Di sisi lain, Nilai Tukar Petani (NTP) pada bulan Maret 2025 sebesar 113,10 turun 0,38 persen dibandingkan Februari 2025, juga lebih rendah dibandingkan Maret 2024 (116,45). Sedangkan Nilai Tukar Nelayan (NTN) sebesar 112,54, lebih tinggi dibandingkan NTN pada bulan Februari 2025 dan Maret 2024. Ketimpangan pendapatan yang diukur dengan Gini Ratio bulan September 2024 meningkat menjadi 0,428 dan lebih tinggi dari angka nasional (0,381). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Barat tahun 2024 mencapai 74,92 meningkat 0,68 poin (0,92 persen) dibandingkan capaian tahun sebelumnya (74,24) dan telah melampaui target RPJMD 2024 Perubahan (73,56).
Kinerja APBN di Provinsi Jawa Barat hingga Triwulan I tahun 2025 menunjukkan hasil yang positif dengan mencatatkan surplus sebesar Rp3,11 triliun. Realisasi pendapatan negara dan hibah sampai dengan 31 Maret 2025 tercatat sebesar Rp32,52 triliun atau 20,05 persen dari target, tumbuh positif sebesar 5,37 persen (yoy). Pendapatan negara didominasi oleh pendapatan PPN dan PPnBM sebesar Rp10,57 triliun, disusul pendapatan PPh Nonmigas sebesar Rp10,12 triliun. Sedangkan dari sektor pajak, penyumbang pajak terbesar berasal dari sektor Industri Pengolahan sebesar Rp7,21 triliun dengan kontribusi 32,58 persen.
Di sisi lain, belanja negara secara nominal terkontraksi 4,05 persen namun secara persentase terhadap pagu mengalami peningkatan sebesar 1,44 persen, dengan total realisasi sebesar Rp29,41 triliun dengan capaian 24,96 persen terhadap pagu tahun 2025. Hal ini menunjukkan bahwa kontraksi realisasi secara nominal, bukanlah indikator memburuknya kinerja belanja, melainkan refleksi dari kebijakan efisiensi dan efektivitas belanja. Efisiensi ini justru menjadi momentum untuk menggeser orientasi belanja negara dari kuantitas ke kualitas. Dengan anggaran yang lebih terkendali, pemerintah memiliki ruang fiskal yang lebih besar untuk mendanai program prioritas nasional, investasi infrastruktur dasar dan konektivitas yang mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang, dan peningkatan kualitas layanan publik.
Realisasi Pendapatan daerah di Jawa Barat sampai dengan triwulan I 2025 tercatat Rp19,19 triliun atau sebesar 13,96 persen dari target APBD Jawa Barat 2025, tumbuh 16,88 persen dari periode yang sama tahun 2024. Disisi lain, realisasi belanja daerah mencapai Rp14,56 triliun atau 10,29 persen dari pagu dan mengalami pertumbuhan 17,45 persen. Hal ini menunjukan kinerja yang positif di tengah isu efisiensi belanja yang sedang dilaksanakan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Selain itu, inovasi pemerintah provinsi Jawa Barat yang memberikan keringanan pembebasan denda pajak kendaraan bermotor mendorong peningkatan PAD dari PKB di Provinsi Jawa Barat.
Program MBG (Makan Bergizi Gratis) merupakan salah satu upaya strategis Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui layanan terpadu di bidang kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Berdasarkan data operasional SPPG hingga 11 April 2025, terdapat 253 SPPG di Jawa Barat dengan jumlah penerima manfaat sebanyak 743.157 orang yang tersebar di 27 kabupaten/kota. Jumlah unit SPPG di tiap kabupaten/kota cukup bervariasi. Dari sisi penerima manfaat, Kota Bandung menempati posisi teratas dengan jumlah 69.726 orang, sedangkan terendah terdapat pada Kota Cimahi sebanyak 3.512 orang.
Program MBG yang dilaksanakan melalui SPPG menunjukkan indikasi awal berpengaruh terhadap beberapa indikator ekonomi dan sosial, terutama di wilayah-wilayah dengan intensitas pelaksanaan yang tinggi seperti Provinsi Jawa Barat. Beberapa indikator tersebut antara lain peningkatan harga bahan pangan strategis, inflasi volatile food, keterbatasan bahan pangan, efek ekonomi lokal, serta membaiknya status gizi dan kehadiran siswa.
Koperasi merupakan pilar penting ekonomi kerakyatan, tercermin dari peningkatan kontribusi terhadap PDB nasional dari 5,10 persen (2018) menjadi 6,07 persen (2022), dan di Jawa Barat mencapai 6,7 persen. Namun, perkembangan ini diiringi tantangan signifikan.
Pada tahun 2023, Jawa Barat memiliki 16.080 koperasi, menempati peringkat kedua nasional. Meskipun ada peningkatan jumlah koperasi dari tahun 2020 hingga 2022 (11 persen, 6 persen, dan 4 persen secara berturut-turut), pada tahun 2023 terjadi penurunan sebesar 1 persen. Penurunan ini disebabkan oleh penataan ulang dan pembubaran koperasi yang tidak aktif atau tidak berdampak positif.
Penurunan jumlah koperasi berdampak pada berkurangnya jumlah anggota sebesar 5 persen pada tahun 2023. Namun sisi positifnya, jumlah tenaga kerja koperasi justru meningkat 2 persen menjadi 78.281 orang, menandakan peningkatan efisiensi, kualitas SDM, dan kemampuan koperasi dalam mengembangkan usaha.
Secara finansial, modal luar koperasi turun 2,51 persen menjadi Rp10,54 triliun pada tahun 2023. Volume usaha juga menurun 23,66 persen menjadi Rp18,15 triliun, sejalan dengan penurunan jumlah koperasi. Meskipun demikian, Sisa Hasil Usaha (SHU) hanya turun kurang dari 1 persen, menunjukkan kinerja keuangan yang baik dan kemampuan koperasi dalam memberikan keuntungan bagi anggotanya.
Berbagai tantangan yang dihadapi koperasi meliputi belum diterapkannya tata kelola yang baik (Good Cooperative Government/GCG), keterbatasan akses modal dan informasi, kurangnya SDM yang mumpuni, partisipasi anggota yang rendah, serta kurangnya relevansi dengan kebutuhan pasar dan dukungan pemerintah yang efektif. Selain itu, masalah eksternal seperti regulasi, persaingan usaha, kondisi ekonomi, dan perubahan teknologi juga menjadi penghambat. Untuk mengatasi tantangan ini, strategi pengembangan koperasi perlu fokus pada penguatan tata kelola dan SDM, akselerasi digitalisasi, peningkatan daya saing di pasar global, dan penguatan dukungan pemerintah. Potensi pengembangan koperasi di desa/kelurahan sangat besar, baik melalui pendirian koperasi baru maupun revitalisasi koperasi yang sudah ada, dengan penambahan unit usaha dan kerja sama dengan BUMDes/BUMDes Bersama untuk mengelola perekonomian masyarakat desa.
Secara keseluruhan, meskipun koperasi di Jawa Barat menghadapi tantangan internal dan eksternal, dukungan pemerintah pusat dan daerah melalui berbagai kebijakan, target, dan alokasi anggaran menunjukkan komitmen untuk memperkuat peran koperasi dalam perekonomian daerah dan nasional. Diperlukan sinergi yang lebih kuat dan efisiensi dalam pemanfaatan anggaran untuk mencapai tujuan pengembangan koperasi yang berkualitas dan berdaya saing.
Untuk selengkapnya silahkan Klik disini