Jl. Slamet Riyadi No. 5 Makassar

Pundi Negeri, Ada Ironi

Oleh:

Saor Silitonga

(Pengurus Himpunan Mahasiswa Doktor Ekonomi Unhas)

 

Berbagai terobosan penting Menteri Keuangan amat nyata. Namun sesungguhnya masih saja ada beberapa buntalan isi pundi negeri ini yang yang masih menggelayut di banyak dahan bagai buah yang ganjil, membeku, dan kehilangan kesempatan pertama untuk memberi kesejahteraan rakyat. Dua yang berikut masih jelas terlihat, yaitu:

Pertama, Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Pendapatan asli daerah belum mandiri sehingga kebanyakan daerah masih tergantung kepada dana transfer dari pusat. Pada tahun ini TKDD mencapai Rp826,77 triliun terdiri dari transfer ke daerah sebesar Rp756,77 triliun dan dana desa sebesar Rp70,0 triliun. Namun pengelolaan keuangan daerah masih jauh dari harapan. Pemda kurang dana, namun yang terjadi adalah terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun (SILPA) sebesar 20 triliun rupiah pada APBD 2018 seluruh provinsi, yaitu selisih antara surplus/defisit anggaran dengan pembiayaan netto. Dalam penyusunan APBD angka SILPA ini seharusnya sama dengan nol yang berarti pemerintah berhasil melaksanakan seluruh program/kegiatan.

Hal senada dapat juga terlihat pada ratusan triliun dana pemerintah daerah ternyata ‘menganggur’ dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito yang masih mengendap di sejumlah bank. Tercatat akhir Maret 2018, posisi simpanan pemerintah daerah secara nasional mencapai Rp 185,8 triliun. Dana-dana yang mendapat bunga tersebut seseungguhnya bukan tujuan sejati pelaksanaan anggaran pemerintah. Seharusnya dana tersebut berputar persis di tengah-tengah masyarakat menjadi berbagai bentuk program dan kegiatan yang menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian masyarakat.

Berbagai penyebab kelambanan seperti perencanaan yang tak terukur membuat segala program sulit dilaksanakan yang ditingkahi oleh pengadaan barang/jasa yang berliku melewati ruang-ruang gelap.

Kedua, Pembiayaan Ultra Mikro. Badan Layanan Umum Pusat Investasi Pemerintah (BLU PIP) mengucurkan dana sebesar Rp7 triliun dalam 3 tahun ini untuk mendorong pertumbuhan usaha ultra mikro yang tidak bankable. Pembiayaan ini menyasar usaha mikro yang berada di lapisan terbawah dengan pembiayaan paling banyak Rp10 juta per nasabah. Jenis usaha ini mencapai lebih dari 44 juta usaha atau sekitar 72,1% dari jumlah UMKM secara nasional, namun pembiayaan ultra mikro baru tersalur kepada 762.744 debitur dengan total penyaluran Rp2,1 triliun dari Rp7 triliun yang tersedia.

Ini salah siapa? Tuduhan pertama adalah bahwa skema, metode, dan upaya penyaluran dana masih kurang memadai. Indeks inklusi perbankan mencapai 63,63%, sedangkan pada lembaga keuangan non-bank masih di bawah 13% padahal P.T. Pegadaian, P.T. PNM, dan Bahana Arta Ventura dengan 6.000 cabang di seluruh Indonesia rasanya sudah lebih dari cukup untuk mengerjakan inklusi keuangan sehingga masyarakat memperoleh informasi yang memadai untuk selanjutnya dapat mengakses pembiayaan ultra mikro. Aneh saja jika masih ada rentenir bergentayangan menimpakan bunga pinjaman 30% padahal ada pembiayaan ultra mikro dengan bunga di bawah 10%. Ini kembali membuktikan bahwa orang miskin memang hanya sering disebut pada masa kampanye, tetapi alpa dari perhatian serius persis sejak pelantikan pemenang. Lembaga keuangan bank dan non-bank tentu saja akan berhati-hati sejuta kali terhadap orang miskin. Tak mungkin mereka mau rugi karena si miskin rawan kapasitas untuk mengembalikan pinjaman.

Untuk itu diperlukan penjaminan pinjaman ini entah dari pemerintah atau lembaga lain yang berskala nasional atau internsional. Ford Foundation pada 1981 memberikan dana jaminan pinjaman sebesar US$770.000 di Bangladesh. Selanjutnya bahkan Pemerintah Bangladesh menyediakan "dana siaga" yang siap digunakan sebagai jaminan. Penjaminan atau kapasitas peminjam. Yang mana yang terlebuh dahulu? Benar belaka, penjaminan akan hadir ketika pihak penjamin melihat bahwa kapasitas para penerimaan pembiayaan ultra mikro sudah menunjukkan arah yang positif. Untuk itu kita perlu peta usaha ultra mikro. Siapakah yang menggambar peta itu?

Tuduhan kedua adalah justru pada kapasitas usaha ultra mikro masih amat lemah. Kanyakan mereka memilih cara biasa dan aman yaitu mengerjakan usaha perdagangan barang-barang konsumsi. Mereka mencari barang di kota terdekat untuk dijual di desa, artinya uang mengalir ke pemilik barang jua bukan berputar di desa untuk menciptkan suatu produk khas desa yang bisa mengangkat ekonomi desa.

Untuk itu, tidak bisa tidak, kapasitas usaha ultra mikro memerlukan pendampingan dengan inklusi keuangan kreatif dan perlindungan mode keras. Total! Kesuksesan Muhammad Yunus di Bangladesh yang diganjar Nobel adalah karena kehadiran beliau persis di tengah-tengah masyarakat yang memiliki pikiran sendiri yang perlu diakomodir sedemikian rupa sehingga ditemukan suatu semangat bersama untuk menggali-gali sumber-sumber ekonomi kreatif justru dari kedalaman kemiskinan yang mendera.

Ekonomi ultra mikro banyak dibahas di kelas seminar sekaligus diteriaki dari balik meja pejabat. Usaha ultra mikro pun terlunta-lunta tak tahu arah. Sesungguhnya era otonomi daerah memiliki peluang besar dalam situasi seperti ini sehingga yang diperlukan adalah suatu peta usaha mikro per kota/kabupaten yang dirumuskan oleh pemimpin daerah sendiri. Pada peta usaha mikro tersebut tercantum tema besar yang hendak dicapai, sebagai contoh katakanlah pariswisata. Maka berbagai sektor pertanian, peternakan, infrastruktur, dan sebagainya dikemas sedemikian rupa untuk mendukung tema besar pariwisata.

Jika peta sudah dibuat, maka perlindungan terhadap pinjaman ultra mikro meski dipastikan juga sehingga lembaga keuangan yang dapat yakin terhadap keamanan uang mereka. Pemda dapat mengambil peran penjaminan ini atau melibatkan dunia usaha nasional dan internasional.

Duhai dikau yang bediri di sekitar pundi, katamu uangmu kurang, tetapi tenyata di kantungmu masih ada tersisa. Jika ini suatu paradoks, maka memang ini ironi pula. Sudahlah, mari berpikir, mari bekerja. (ss)

 

Peta Situs   |  Email Kemenkeu   |   FAQ   |   Prasyarat   |   Hubungi Kami

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Makassar I
Jl. Slamet Riyadi No. 5 Makassar 90174
Tel: 0411-3615241 Fax: 0411-3625873

IKUTI KAMI

Search