THE SERIES 2: Memahami APBN Tak Harus Sulit, Saat Semua Sudah Digital

THE SERIES 2: DIGITALISASI PEMBAYARAN BELANJA NEGARA

Dari Digitalisasi Menuju Budaya Transparansi 

Di tengah kehidupan yang makin serba digital---dari belanja online sampai bayar kopi pakai QRIS---ada satu hal besar yang juga ikut berubah: cara negara mengelola uangnya. Ya, uang kita bersama, yang namanya keren: APBN, atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Dulu, APBN terasa jauh. Sekadar berita di koran, atau dokumen ribuan halaman yang hanya dimengerti orang kementerian. Tapi sekarang? Semuanya sudah serba digital. Uang negara bukan cuma tercatat, tapi terekam. Bukan hanya untuk dilaporkan ke atasan, tapi juga bisa (dan seharusnya) diawasi oleh kita---rakyat biasa.

Tapi masalahnya, meskipun sistemnya sudah canggih, masih banyak dari kita yang belum tahu, belum paham, bahkan mungkin belum peduli.

"APBN itu untuk siapa, sih?"

Ini pertanyaan penting. Jawabannya: untuk kita semua. Dari subsidi pupuk petani di kampung, dana BOS untuk sekolah anak-anak, hingga pembangunan jembatan dan rumah sakit---semuanya dibiayai dari APBN.

Jadi, kalau kamu pernah lewat jalan tol baru, dapat vaksin gratis, atau pakai listrik subsidi, itu semua adalah bagian dari APBN. Artinya, kamu berhak tahu dan ikut menjaga agar uang itu dipakai dengan benar.

Dan kabar baiknya: sekarang kita bisa mengikuti ke mana larinya uang negara, lewat sistem digital. Pemerintah sudah menyediakan berbagai platform---seperti laman https://www.kemenkeu.go.id/home atau anggaran.kemenkeu.go.id---yang bisa diakses publik. Tapi, apa gunanya laman yang sudah terbuka itu kalau kita tidak tahu cara membacanya? Bahkan untuk pengelola keuangan APBN mulai dari tingkat satuan kerja sampai dengan kementerian sudah dibekali aplikasi SAKTI sebagai bentuk transformasi sistem perbendaharaan sehingga level pimpinan sudah dapat membaca data dengan cepat dan realtime.

Ketika Sistem Sudah Terbuka, Tapi Kita Masih Tutup Mata

Digitalisasi pengelolaan APBN sebetulnya jadi peluang emas. Semua transaksi anggaran kini terekam, bisa ditelusuri, bahkan dicek siapa penerimanya. Ini bisa jadi senjata melawan tindak korupsi dan pemborosan. Tapi kita juga harus jujur: tak semua instansi memberikan informasi ke publik dengan lengkap, dan tak semua masyarakat paham cara mengaksesnya dan membaca informasinya.

Kadang, keterbukaan ini hanya jadi formalitas. Data dibuka, tapi disajikan dalam bentuk teknis yang sulit dimengerti. Laporan diunggah, tapi tanpa penjelasan sederhana. Akhirnya, masyarakat tetap jadi penonton, bukan pengawas.

Padahal, transparansi bukan cuma soal sistem terbuka, tapi juga informasi yang bisa dipahami semua kalangan.

Uang Digital, Masalah Tetap Nyata

Ada anggapan: "Kalau sudah digital, pasti aman." Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Sistem bisa saja pintar, tapi manusianya belum tentu. Bahkan dalam sistem digital, manipulasi tetap bisa terjadi kalau tidak ada pengawasan.

Masih ada instansi yang belum maksimal menggunakan sistem digital. Mungkin masih ada yang berpikir, "yang penting laporan masuk, soal akuntabilitas nanti saja." Di sinilah peran masyarakat sangat penting, untuk ikut menyuarakan, memantau, dan bertanya: "Uang kita dipakai untuk apa, dan hasilnya apa?"

Mengubah Data Menjadi Cerita

Bayangkan jika laporan anggaran disajikan seperti cerita: misalnya, "Pembangunan puskesmas di Desa X menelan biaya Rp1,2 miliar. Dana ini digunakan untuk membangun tiga ruang rawat inap, satu ruang bersalin, dan menggaji dua bidan." Lebih mudah dipahami, bukan?. Tentunya tugas dari pengelola dana APBN untuk memberikan informasi kepada masyarakat melalui media masing-masing dengan cara dan bentuk yang mudah dipahami oleh masyarakat luas.Disamping pembuatan Laporan yang sudah sesuai dengan ketentuan dan harus menampilkan secara detil dan teknis.

Inilah yang kita butuhkan: literasi anggaran yang membumi. Bukan sekadar grafik dan tabel, tapi narasi yang menyentuh. Karena ketika masyarakat paham, mereka jadi lebih peduli. Dan ketika mereka peduli, penyimpangan jadi sulit disembunyikan.

APBN Itu Kita

Satu hal yang perlu kita tanamkan: APBN bukan milik pemerintah. Bukan pula milik kementerian. Tapi milik rakyat. Kita semua. Setiap rupiah yang dikelola negara berasal dari keringat kita---dari pajak yang kita bayar, retribusi, cukai, bahkan utang yang kelak akan dibayar generasi berikutnya.

Kalau kita paham soal ke mana uang itu pergi, maka kita bisa ikut menentukan arah pembangunan. Kita bisa bertanya saat bantuan tak kunjung turun. Kita bisa protes saat proyek mangkrak. Kita bisa terlibat.

Dan ini semua bisa dimulai sekarang, karena semua sudah digital.

Dari Sistem ke Kesadaran

Digitalisasi APBN adalah kemajuan besar. Tapi kemajuan itu tak akan berarti kalau kita masih berpikir APBN itu urusan orang atas saja. Kita butuh satu langkah lagi: menjadikan sistem digital itu sebagai alat pendidikan, alat pengawasan, dan alat pemberdayaan rakyat.

Memahami APBN tak harus sulit. Kita hanya perlu membuka hati dan pikiran. Karena saat rakyat melek anggaran, maka pemimpin tak bisa lagi bermain-main dengan uang publik.

Dan mungkin, saat itulah kita bisa bilang: transparansi bukan lagi formalitas, tapi sudah menjadi budaya.

 

Disclaimer : Tulisan diatas adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat organisasi

Peta Situs   |  Email Kemenkeu   |   FAQ   |   Prasyarat   |   Hubungi Kami

KPPN Watampone
Jl. K.H. Agus Salim No.7, Macege, Tanete Riattang Barat, Watampone, Sulawesi Selatan 92732

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Djuanda I Lt. 9
Gedung Prijadi Praptosuhardo II Lt. 1 Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat 10710
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

IKUTI KAMI

 

PENGADUAN

   

 

Search