Dalam beberapa tahun terakhir, kata "hilirisasi" kian nyaring terdengar dalam setiap pidato pejabat publik, dokumen perencanaan pembangunan, hingga berita-berita ekonomi. Hilirisasi bukan sekadar jargon politik, melainkan sebuah strategi yang menempatkan Indonesia pada jalur transformasi ekonomi, dari sekadar pengekspor bahan mentah menjadi penghasil produk bernilai tambah tinggi. Di balik ambisi besar ini, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memainkan peran krusial, terutama melalui kebijakan fiskal berupa insentif perpajakan, kepabeanan, serta pemberlakuan disinsentif untuk komoditas tertentu demi kepentingan nasional.
Mengapa Hilirisasi Penting?
Indonesia selama puluhan tahun terjebak dalam "kutukan sumber daya alam". Kita kaya akan tambang, hutan, dan hasil bumi, tetapi nilai tambah ekonomi lebih banyak dinikmati negara lain yang mengolah bahan mentah kita menjadi produk akhir. Contohnya, nikel diekspor sebagai ore, tetapi kembali ke Indonesia dalam bentuk baja tahan karat dengan harga berkali lipat. Hilirisasi berupaya memutus mata rantai ini dengan mendorong industri pengolahan di dalam negeri.
Di sinilah APBN hadir sebagai katalisator. Lewat instrumen fiskal, pemerintah memberikan insentif pajak seperti tax holiday, tax allowance, pembebasan bea masuk untuk mesin dan barang modal, serta kemudahan fasilitas kepabeanan lainnya. Semua ini bertujuan menarik investor menanamkan modalnya dalam sektor hilirisasi.
Insentif Fiskal: Dorongan bagi Industri
Data Kementerian Investasi menunjukkan, pemberian tax holiday telah berhasil menarik investasi di sektor smelter nikel, tembaga, dan bauksit. Pabrik-pabrik pengolahan mulai bermunculan di Sulawesi, Maluku, dan Kalimantan, menciptakan lapangan kerja baru dan mendongkrak penerimaan negara dari ekspor produk hilir.
Selain itu, fasilitas bea masuk ditanggung pemerintah (BMDTP) juga mempermudah pelaku usaha memperoleh mesin berteknologi tinggi untuk menunjang proses hilirisasi. Ini penting, karena teknologi memegang kunci efisiensi dan daya saing.
Namun, insentif tidak hanya soal keringanan pajak. Perbaikan infrastruktur, kepastian hukum, hingga penyederhanaan perizinan juga bagian dari insentif non-fiskal yang turut dianggarkan melalui APBN.
Disinsentif untuk Melindungi Kepentingan Nasional
Di sisi lain, APBN juga berperan sebagai alat untuk mengendalikan ekspor komoditas mentah lewat kebijakan disinsentif fiskal. Pemerintah, misalnya, mengenakan bea keluar atau bahkan melarang ekspor bijih nikel sejak 2020. Kebijakan ini sempat menuai gugatan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), tetapi Indonesia tetap bergeming dengan argumen pembangunan nasional.
Disinsentif ini memang menimbulkan polemik jangka pendek, terutama bagi eksportir bahan mentah. Namun dalam jangka panjang, langkah ini diharapkan memaksa pelaku usaha membangun fasilitas pengolahan di dalam negeri agar tetap bisa mengakses pasar ekspor.
Tantangan dan Kritik
Meski secara konsep terlihat menjanjikan, implementasi kebijakan fiskal untuk hilirisasi tidak lepas dari tantangan. Pertama, ketimpangan kesiapan infrastruktur antarwilayah menyebabkan konsentrasi industri hanya terjadi di kawasan tertentu. Kedua, regulasi yang tumpang tindih antarinstansi sering mempersulit realisasi investasi.
Selain itu, pengawasan penggunaan insentif fiskal perlu diperketat. Tanpa monitoring yang baik, insentif bisa dinikmati pelaku usaha tanpa komitmen nyata membangun industri hilir yang berkelanjutan.
Reformasi dan Transparansi
Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah perlu memperkuat koordinasi antarinstansi, menyederhanakan regulasi, serta memastikan integrasi kebijakan fiskal dan non-fiskal. Digitalisasi layanan perizinan dan insentif juga harus terus ditingkatkan demi transparansi dan akuntabilitas.
APBN juga perlu mendukung pengembangan sumber daya manusia (SDM) industri lewat anggaran pendidikan vokasi yang relevan dengan kebutuhan industri hilir. Tanpa SDM yang kompeten, investasi akan mandek meski fasilitas fiskal sudah disiapkan.
Selain itu, keterlibatan pemerintah daerah menjadi kunci. APBN dapat mengalokasikan dana transfer daerah untuk penguatan kawasan industri berbasis potensi lokal. Ini mencegah terjadinya ketimpangan pembangunan dan membuka peluang hilirisasi di daerah.
Hilirisasi untuk Masa Depan Ekonomi
APBN bukan sekadar dokumen angka pendapatan dan belanja. Ia adalah instrumen strategis untuk mengarahkan pembangunan ekonomi nasional. Melalui insentif perpajakan dan kepabeanan, APBN mendorong hilirisasi sebagai upaya meningkatkan nilai tambah ekonomi. Sementara lewat disinsentif fiskal, pemerintah menjaga kepentingan nasional agar sumber daya alam kita tidak hanya habis terkuras, tetapi benar-benar mendatangkan manfaat optimal bagi rakyat.
Masyarakat perlu memahami bahwa kebijakan fiskal ini bukan semata-mata mempersulit atau menguntungkan kelompok tertentu. Ia adalah bagian dari upaya besar menyiapkan fondasi ekonomi Indonesia yang lebih kuat, mandiri, dan berdaya saing di kancah global. Dengan literasi APBN yang baik, publik akan lebih siap mendukung---sekaligus mengawasi---pelaksanaan kebijakan fiskal demi kesejahteraan bersama.
Disclaimer : Tulisan diatas adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat organisasi