Di tengah derasnya arus globalisasi dan penetrasi budaya digital yang melaju tanpa sekat, bangsa ini mengalami ujian yang tidak ringan. Krisis identitas, kelunturan nilai, dan kemerosotan integritas menjadi tantangan yang nyata di berbagai lapisan kehidupan---baik dalam ruang politik, pemerintahan, pendidikan, bahkan dalam interaksi sosial keseharian.
Dalam situasi yang penuh paradoks ini, kearifan lokal yang selama ini tertanam kuat dalam masyarakat tradisional Indonesia kembali menemukan relevansinya. Falsafah hidup masyarakat Bugis-Makassar, yang dikenal dalam tiga kata bermakna dalam: Lempu, Warani, Getteng, hadir sebagai suluh moral yang tak pernah padam. Nilai-nilai ini bukan sekadar romantisme etnik, tetapi mengandung energi etik yang mampu menopang bangunan peradaban modern.
Menggali Makna dalam Tiga Pilar Etika Bugis
Secara bahasa, Lempu berarti kejujuran, Warani dimaknai sebagai keberanian, dan Getteng adalah keteguhan atau konsistensi prinsip. Namun dalam praktik kebudayaan Bugis, ketiganya tak dapat dipisahkan. Mereka membentuk sistem nilai yang menyatu dan menjadi fondasi utama dalam membentuk karakter individu yang luhur.
Lempu bukan hanya berkata benar, tetapi hidup dalam kejujuran yang menyatu dalam tindakan. Warani bukan sekadar berani bertindak, tetapi juga berani menanggung risiko untuk mempertahankan kebenaran. Sedangkan Getteng adalah manifestasi dari keteguhan batin yang tidak mudah goyah walau diterpa tekanan dari luar.
Dalam Lontara'---naskah kuno berbahasa Bugis---disebutkan bahwa seorang pemimpin sejati bukanlah mereka yang pandai berbicara atau memimpin pasukan besar, tetapi mereka yang memegang teguh lempu warani getteng meskipun berada dalam situasi yang paling sulit.
Dari Nilai Budaya Menjadi Instrumen Transformatif Bangsa
Kita tidak sedang kekurangan regulasi atau perangkat kebijakan. Yang kita butuhkan hari ini adalah pembaruan etika publik, penanaman kembali nilai-nilai integritas dalam setiap ruang kehidupan. Di sinilah falsafah Lempu Warani Getteng menemukan momentumnya. Ia dapat menjadi nilai pemersatu yang melampaui sekat etnik dan geografis.
Nilai-nilai ini sangat bisa diadaptasi menjadi prinsip dasar dalam birokrasi, politik, bisnis, bahkan dalam pendidikan karakter di sekolah. Kejujuran dalam menyampaikan data publik, keberanian untuk menyampaikan kebenaran meskipun melawan arus, serta keteguhan memegang prinsip di tengah tekanan politik---adalah pengejawantahan nyata dari filosofi Bugis tersebut.
Jika nilai-nilai ini hidup dalam diri aparatur negara, pemangku kekuasaan, pelaku usaha, hingga pendidik di sekolah, maka kita akan menyaksikan Indonesia yang tidak hanya unggul secara teknologi dan ekonomi, tetapi juga agung dalam moralitas sosial.
Etika Bugis dalam Konteks Indonesia Kini
Tidak berlebihan jika kita menyebut Lempu Warani Getteng sebagai sumbangan etika terbesar dari Bugis kepada Indonesia. Dalam konteks kekinian, di mana kecepatan informasi tidak selalu beriringan dengan kedalaman makna, masyarakat sering terjebak dalam dunia serba instan. Kejujuran dianggap lambat, keberanian dipersepsikan sebagai pembangkangan, dan keteguhan hati kerap dicemooh sebagai keras kepala.
Namun generasi muda saat ini juga menunjukkan tanda-tanda kebangkitan etika. Banyak di antara mereka yang mulai sadar akan pentingnya nilai, tidak hanya sekadar capaian. Aktivisme sosial yang tumbuh di kalangan anak muda, gerakan antikorupsi, edukasi media yang sehat, hingga keberanian bersuara di ruang publik, menandai bahwa api lempu warani getteng masih menyala---meski mungkin redup.
Peran Negara, Pendidikan, dan Komunitas Budaya
Sudah saatnya pemerintah memasukkan kearifan lokal sebagai bagian integral dari kurikulum pendidikan karakter dan kebijakan pembangunan nasional. Kearifan lokal seperti Lempu Warani Getteng bukan hanya untuk disimpan di museum budaya atau dipentaskan dalam seremoni adat, melainkan harus dihidupkan dalam praktik.
Pemerintah daerah Sulawesi Selatan dan lembaga budaya Bugis-Makassar sepatutnya menjadi pelopor dalam membangun kesadaran ini. Dengan melibatkan komunitas, pesantren, sekolah, dan tokoh-tokoh adat, nilai-nilai luhur ini bisa kembali membentuk generasi yang kuat secara karakter.
Seperti kata bijak Bugis, "Ada tongeng, ade' rilangi" --- kebenaran adalah aturan tertinggi dari langit. Maka, membela kebenaran adalah panggilan moral tertinggi manusia. Lempu Warani Getteng bukan sekadar filosofi, melainkan panggilan hidup untuk setiap insan yang ingin hidup bermartabat.
Dari Makna Lokal Menuju Etika Global
Indonesia adalah rumah bagi ratusan suku bangsa dengan ribuan warisan nilai. Namun tantangan terbesar bukan pada pelestariannya, melainkan pada keberanian untuk mengadaptasikannya ke dalam kehidupan modern. Nilai-nilai seperti Lempu Warani Getteng bisa menjadi kontribusi nyata Indonesia bagi etika global---sebuah pernyataan bahwa bangsa ini bukan hanya kaya akan sumber daya, tetapi juga kaya akan jiwa.
Dalam dunia yang makin pragmatis dan kehilangan rambu moral, kita harus memilih: apakah akan menjadi bangsa yang hanya mengejar kemajuan ekonomi, atau menjadi bangsa yang unggul secara holistik---kuat dalam nilai, unggul dalam martabat, dan tangguh dalam karakter.
Disclaimer : Tulisan diatas adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat organisasi