Sejak mulai muncul ditahun 2008, Bank Sampah menjadi salah satu media penggerak ekonomi pada tataran level terbawah di masyarakat. Bank Sampah sendiri sebenarnya bukanlah satu jenis bank yang operasionalnya berada di bawah pengawasan Bank Indonesia namun pengertiannya lebih kepada suatu tempat yang digunakan untuk mengumpulkan sampah yang telah dipilih dan pilah untuk nantinya akan dijual oleh pengepul sampah ataupun produsen kerajinan berbahan baku barang daur ulang. Menariknya Bank Sampah ini dikelola menggunakan sistem mienyerupai perbankan konvensional pada umumnya seperti adanya istilah nasabah yakni masyarakat yang menjadi anggota Bank Sampah dan menyetorkan sampah-sampah yang mereka miliki ke tempat ini. Selanjutnya produk dasar keuangan yang disediakan oleh Bank Sampah ini sendiri kepada para nasabah adalah tabungan. Tabungan merupakan akumulasi simpanan-simpanan sampah nasabah yang telah dikonversi dengan nilai uang. Pada awalnya sistem tabungan ini dijalankan dengan sistem saldo besi, artinya saldo yang tersimpan belum boleh di ambil atau dicairkan langsung oleh nasabah melainkan harus menunggu di periode-periode tertentu berdasar peraturan yang telah ditetapkan di awal seperti periode per tiga bulan atau memakai sistem saldo minimum untuk bisa dilakukan penarikan tabungan. Hal ini diterapkan mengingat nominal tabungan yang diperoleh oleh masyarakat biasanya tidak langsung bisa besar karena seperti dimaklumi bahwa harga sampah per kilo juga mengikuti harga pasaran yang adakalanya secara ekonomi relatif kecil. Selain itu, penerapan saldo minimum dan pengambilan tabungan hanya diwaktu tertentu juga diharapkan mampu memberi pendidikan kepada nasabah agar gemar menabung dan tak bersikap konsumtif.
Lalu bagaimana caranya Bank Sampah ini membiayai operasionalnya termasuk menggaji para pengurusnya? meskipun biasanya para pendiri Bank Sampah adalah relawan-relawan yang tak melulu berbicara tentang untung rugi namun demi keberlangsungan hidup Bank Sampah ini pasti membutuhkan biaya. Biaya utama diperoleh dari potongan sejumlah rupiah dari nilai sampah yang disetorkan oleh para nasabah. Dengan sistem ini maka keberlangsungan hidup dan operasional Bank Sampah menjadi terjamin.
Bank Sampah secara matematis dan logis keberlangsungan hidupnya dalam kondisi apapun saat ini memang sangat tinggi. Aspek pertama yang menjadi jaminan keberlangsungan hidup Bank Sampah ini adalah masih banyaknya sampah-sampah berbagai jenis yang menumpuk disekitar lingkungan kita. Hal ini menjadi potensi setoran ekonomi para nasabah. Selanjutnya, untuk menjadi nasabah Bank Sampah juga begitu mudah tanpa prosedur administrasi berbelit-belit. Sistem manajemen cukup mudah yang diterapkan dalam pengelolaan Bank Sampah tentunya juga merupakan faktor pendukung penting lainnya sehingga konsep Bank Sampah ini bisa diduplikasi diberbagai wilayah Indonesia.
Lalu apa dan bagaimana kaitan Bank Sampah dalam mendukung penguatan ekonomi Desa?. Sejak digulirkannya program Dana Desa oleh Pemerintah Pusat pada tahun 2015, Desa-desa di seluruh Indonesia pada awalnya seperti tidak siap dan kaget menerima kucuran dana yang cukup besar bagi pembangunan desanya. Hal ini bisa terlihat dari munculnya beberapa kasus hukum terkait penyimpangan pengelolaan Dana Desa ini. Namun demikian dampak pembangunan yang dirasakan oleh masyarakat dari kucuran Dana Desa ini juga tak bisa dibilang kecil. Berbagai infrastruktur hasil pembangunan fisik di desa cukup membuat kita mengacungkan jempol.
Selain pembangunan fisik, pemberdayaan masyarakat juga merupakan satu sasaran yang harus digarap serius dengan Dana Desa. Disinilah konsep Bank Sampah bisa dijadikan alternatif pemberdayaan masyarakat. Bank Sampah sesungguhnya tidak hanya merupakan satu konsep penanganan sampah dengan sistem jual beli, namun juga ada konsep kepedulian/pelestarian lingkungan, konsep peningkatan kualitas sumber daya manusia dan konsep pemberdayaan masyarakat dalam kaitan kemandirian ekonomi masyarakat. Bermunculannya ritel-ritel swalayan hingga ke pelosok Desa memunculkan isu berupa sampah plastik yang semakin banyak di desa dibandingkan ketika ritel-ritel tersebut belum bermunculan. Contoh kecil yang mudah terlihat seperti tergantikannya daun pisang dengan kertas untuk pembungkus nasi, begitupun dengan kemasan mika plastik dan penggunaan wadah berbahan stereoform. Belum lagi dengan munculnya berbagai produk minuman baik botol maupun gelas plastik yang sepertinya sudah semakin jamak menggantikan gelas-gelas kaca yang biasa untuk menyuguhkan minuman di desa-desa. Di sinilah peran Bank Sampah akan terlihat nyata.
Bank Sampah bisa menjadi solusi alternatif pengendalian sampah sekaligus peningkatan ekonomi masyarakat yang permodalannya bisa diambilkan dari Dana Desa. Dari sisi kebutuhan permodalan Bank Sampah konvensional yang hanya menjalankan fungsi jual beli relatif kecil. Namun ketika menjalankan fungsi lain sebagai alat bisnis tentunya akan lebih besar modal yang dibutuhkan seperti ketika Bank Sampah juga menjalankan unit usaha kerajinan berbahan baku barang atau sampah daur ulang. Begitu juga ketika Bank Sampah ingin langsung melakukan fungsi produksi pengolahan sampah organik untuk menjadi pupuk kompos misalnya, pasti permodalan akan menjadi cukup besar untuk penyedian sarana dan prasarana serta peralatan. Keuntungan dari sisi kebersihan lingkungan pastinya merupakan hal nyata yang bisa diwujudkan oleh Bank Sampah untuk lingkungan Desa. Minimal seluruh sampah yang bernilai ekonomis pastinya akan dikumpulkan oleh para nasabah. Nasabah pastinya takkan hanya mengandalkan produksi sampah rumah tangganya sendiri untuk menjadi setoran ke Bank Sampah, mereka cenderung akan memperluas area pencarian dan pemungutan sampah demi mendapatkan setoran lebih besar dan ini berarti lingkungan akan secara otomatis menjadi lebih bersih dari serakan sampah. Disisi lain, kualitas sumber daya manusia di desa juga akan meningkat dengan adanya Bank Sampah. Pelatihan manajemen persampahan tentunya merupakan tambahan ilmu baru bagi pengurus maupun nasabah. Berbagai pengklasifikasian sampah dan cara mengolahnya sudah merupakan ilmu bermanfaat tesendiri bagi masyarakat. Pelatihan usaha kreatif dengan membuat barang bernilai ekonomis dengan bahan baku barang daur ulang juga merupakan tambahan pengetahuan lagi yang pasti bemanfaat bagi masyarakat.
Pemberdayaan ekonomi masyarakat sudah tentu juga bisa dilakukan dengan pendirian Bank Sampah. Ibu-ibu dan masyarakat yang selama ini memiliki banyak waktu luang di Desa akhirnya bisa memanfaatkan kehadiran Bank Sampah dengan menjadi nasabah dan punya kesibukan untuk mengumpulkan sampah maupun ikut terjun ke dalam industri kreatif sampah. Kalaupun tidak ingin terjun total, minimal mereka mampu mengumpulkan modal dari tabungan sampah sehingga nantinya bisa membuka usaha lain yang bisa mendukung ekonomi keluarga. Inilah sisi postif dari berdirinya Bank Sampah di Desa. Begitu besar multiplier effect yang bisa di timbulkan oleh usaha sederhana bernama Bank Sampah. Apalagi jika kemudian Bank Sampah ini dikelola dan diarahkan semakin profesional,hasilnya pasti juga makin optimal. Penguatan ekonomi desa yang dinilai dari peningkatan ekonomi masyarakatnya akan bisa cepat diwujudkan melalui salah satu jenis ikhtiar ini.
Ketika lingkungan sudah terjaga kebersihannya, masyarakat tercukupi kebutuhan dasar ekonominya, disitulah kita bisa mengatakan, bukan hal mustahil merubah SAMPAH menjadi BERKAH. (*tulisan merupakan opini pribadi penulis,bukan merupakan pandangan resmi organisasi).