UMKM memiliki peranan yang penting dalam perekonomian Indonesia.
Sebagaimana penelitian Berry et. al (2001) dan Funabashi (2013), UMKM di Indonesia memiliki daya tahan (resilience) yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan besar dalam hal terjadi tekanan krisis dan tidak terlalu bergantung pada pasar dan kredit formal. Selain itu, UMKM dapat merespon lebih cepat dan fleksibel dibandingkan perusahaan yang lebih besar terhadap guncangan ekonomi (economic shocks). Data Kementerian Koperasi dan UKM pada tahun 2013 menunjukan jumlah UMKM di Indonesia sebanyak 57,8 juta atau sebesar 99,9% dari seluruh unit usaha yang ada. Dari jumlah tersebut, UMKM mampu menyerap 110,2 juta tenaga kerja dan memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar Rp4.202,9 triliun atau setara 46,62% dari total PDB.
Permasalahan utama yang dihadapi UMKM Indonesia yaitu sulitnya mendapat akses pembiayaan dari perbankan. Permasalahan tersebut disebabkan karena ketidakmampuan UMKM dalam penyediaan barang jaminan/ agunan yang dipersyaratkan oleh Bank. Oleh karena itu, Pemerintah melalui program KUR hadir untuk memberikan kemudahan akses pembiayaan bagi UMKM yang memiliki usaha layak (feasible) namun terkendala oleh ketiadaan atau kekurangan agunan (unbankable).
Program KUR merupakan pendanaan kredit yang berasal dari lembaga perbankan, dimana pemerintah membantu melalui pemberian subsidi bunga (interest subsidy). Pemerintah menanggung selisih antara tingkat bunga yang diterima perbankan dan bunga yang dibebankan kepada penerima KUR. Saat ini tingkat bunga yang ditanggung oleh penerima KUR sebesar 9% efektif per tahun.
Menurut data TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) dan Kemenkop-UKM, pada tahun 2015 jumlah UMKM di Indonesia sebesar 60,7 juta. Adapun jumlah UMKM yang menerima pembiayaan KUR sebesar 13,5 juta, sehingga terdapat 47,1 juta yang belum dibiayai melalui program KUR. Dari jumlah tersebut berarti baru 22,4% UMKM yang sudah mendapat pembiayaan KUR, sisanya 77,6% belum mendapatkan pembiayaan KUR sehingga tanggung jawab pemberdayaan UMKM harus melibatkan berbagai pihak.
Sesuai Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 8 Tahun 2015, sebagaimana telah diubah dengan Permenko Bidang Perekonomian Nomor 9 Tahun 2016, KUR terbagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu KUR Mikro, KUR Ritel dan KUR TKI (Tenaga Kerja Indonesia). KUR Mikro diberikan kepada penerima KUR paling banyak dengan jumlah Rp25 juta dengan jangka waktu kredit untuk modal kerja paling lama 3 tahun atau investasi paling lama 5 tahun. KUR Ritel diberikan kepada debitur KUR dengan jumlah antara Rp25 juta – Rp500 juta dengan jangka waktu kredit untuk modal kerja paling lama 4 tahun atau investasi paling lama 5 tahun. Adapun KUR TKI diberikan kepada penerima KUR paling banyak Rp25 juta dengan jangka waktu kredit paling lama sama dengan masa kontrak kerja dan tidak melebihi jangka waktu paling lama 3 tahun.
Saat ini, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah memiliki sistem informasi elektronik yaitu Sistem Informasi Kredit Program (SIKP) yang digunakan untuk menatausahakan dan menyediakan informasi penyaluran Program KUR. SIKP bertujuan sebagai Early Warning System (EWS) jika penerima KUR mendapatkan lebih dari satu fasilitas kredit atau penyaluran melebihi plafon/ limit yang sudah ditentukan. Selain itu, melalui SIKP dapat diketahui data penerima KUR (Know Your Customers) berupa jumlah dan profil debitur, validitas debitur, serta statistik penyaluran KUR. SIKP juga dapat digunakan untuk otomasi verifikasi tagihan subsidi bunga serta sebagai support pengambilan kebijakan.
Selain peran pemerintah pusat dalam mendukung progam KUR melalui subsidi bunga pinjaman, diharapkan bahwa pemerintah daerah (Pemda) juga memiliki kontribusi yang signifikan dalam mendukung pemberdayaan UMKM. Selama ini, pihak perbankan sendiri yang mencari calon debitur KUR sehingga pemberian kredit tersebut diragukan ketepatan sasarannya. Bisa jadi, debitur yang menerima fasilitas KUR tersebut bukan merupakan UMKM yang layak untuk dibiayai. Oleh karena itu, Pemda memiliki peran yang vital untuk mendata dan mengidentifikasi calon debitur potensial (UMKM) yang layak untuk dibiayai melalui program KUR. Hal ini dikarenakan Pemda dipandang lebih mengetahui kondisi UMKM di daerahnya yang layak untuk diberikan pembiayaan. Setelah itu, Pemda dapat mengunggah data UMKM tersebut ke dalam SIKP. Data yang telah diunggah tersebut kemudian digunakan oleh Bank dalam melakukan penyeleksian calon nasabah KUR.
Untuk meningkatkan peran Pemda dalam pemberdayaan UMKM di Papua Barat, Kanwil Ditjen Perbendaharaan Prov. Papua Barat bekerja sama dengan Biro Perekonomian Provinsi Papua Barat telah mengadakan sosisalisasi mengenai Program KUR dan Bimbingan Teknis (Bimtek) SIKP pada tanggal 11 April 2017. Acara yang berlangsung di Swisbell Hotel Manokwari tersebut dihadiri Pemda Kabupaten/Kota se-Papua Barat dan dibuka oleh Gubernur Provinsi Papua Barat yang dalam hal ini diwakili oleh Asisten II Gubernur Provinsi Papua Barat.
Pada acara tersebut terbagi menjadi 2 (dua) sesi yaitu sesi manajerial dan teknis. Pada sesi manajerial dibahas mengenai konsepsi dan kebijakan pemberdayaan UMKM melalui program KUR. Sesi ini diisi oleh narasumber: Muhdi sebagai Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Papua Barat, Erdiriyo sebagai perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Agus Hartanto sebagai Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Papua Barat. Pada sesi kedua dilakukan bimtek SIKP yang disampaikan oleh trainers dari Kanwil Ditjen Perbendaharaan Papua Barat. Pada bimtek tersebut Pemda diajarkan bagaimana untuk menginput dan mengunggah data calon debitur potensial ke dalam SIKP serta mengunduh data SIKP untuk dapat digunakan sebagai bahan monitoring, evaluasi, dan pelaporan.