Gratifikasi: Akar dari Korupsi
oleh : Kukuh
Penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa Gratikasi adalah: “pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.”
Ketika membaca makna gratifikasi menurut peraturan di atas, rasanya biasa saja, tidak ada hal-hal negatif dari makna gratifikasi tersebut. Namun pada kenyataannya tidak sedikit dari kasus korupsi yang berawal dari gratifikasi. Sebut saja Anas Urbaningrum yang terjerat kasus korupsi proyek Hambalang. Anas terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp 2,2 miliar dari PT Adhi Karya agar perusahaan itu memenangkan lelang pekerjaan fisik pekerjaan. Selain itu, Anas juga dinyatakan terbukti menerima mobil Toyota Harrier serta fasilitas survey dari Lingkaran Survey Indonesia Rp478,6 Juta. Selain Anas, masih banyak kasus korupsi lain yang terkait gratifikasi sebut saja Zumi Zola, Nazaruddin, Imam Nahrawi, Nurhadi, dan lain sebagainya.
Gratifikasi sebenarnya telah menjadi budaya turun temurun bangsa kita. Seperti acara pernikahan, khitanan, syukuran, dan lain sebagainya. Pada acara tersebut dilakukan praktik pemberian hadiah sebagai bentuk ekspresi persahabatan, solidaritas, dan kekeluargaan. Namun, pada perkembangannya, gratifikasi telah dibelokkan menjadi sebuah cara untuk memperlancar sebuah urusan. Gratifikasi sering kali ditunggangi oleh kepentingan terselubung.
Pemberian gratifikasi pada umumnya tidak ditujukan untuk mempengaruhi keputusan pejabat secara langsung, namun cenderung sebagai “tanam budi” atau upaya menarik perhatian pejabat. Tanam budi ini kemudian menciptakan benturan kepentingan antara pejabat yang diberi gratifikasi dan pelaku pemberi gratifikasi. Benturan kepentingan yang terjadi menyebabkan perumusan kebijakan menjadi tidak objektif, berpihak, dan sering kali diskriminatif. Hal lain yang dapat terjadi adalah pengangkatan pegawai berdasarkan balas jasa, pemilihan partner atau rekanan kerja berdasarkan keputusan yang tidak professional, dan lain sebagainya.
Pemberi gratifikasi berharap dengan memberikan gratifikasi tersebut dapat memperlancar urusannnya. Sebagai contoh pengiriman parcel dari rekanan kepada pejabat pengadaan barang dan jasa atau pejabat yang mempunyai kekuasaan. Rekanan berharap dengan pengiriman parcel tersebut, maka akan dijadikan pemenang tender. Gratifikasi seperti ini bisa disebut juga sebagai suap.
Selain menyebabkan perilaku koruptif, gratifikasi juga dapat merusak birokrasi. Sebagai contoh, pernahkah kalian mengurus sesuatu di kantor pemerintahan namun diminta untuk membayar fee/biaya seikhlasnya?
Saya sendiri pernah mengalami hal tersebut. Sekitar 9 (Sembilan) tahun yang lalu, saat masih SMP ketika mengurus berkas untuk mendaftar ke SMA. Tepat di depan petugas yang melegalisir berkas-berkas saya, ada sebuah kotak yang bertuliskan “diisi seikhlasnya”. Waktu saya mengajukan berkas saya, petugas langsung bilang “silahkan diisi dulu kotaknya dek”. Waktu itu saya isi Rp. 2.000,00. Mungkin maksud dari petugas itu agar kita memberi reward sebagai tanda terima kasih. Nominal tersebut mungkin juga tidak seberapa. Namun, hal tersebut akan berdampak negatif di masa mendatang.
Kebiasaan-kebiasaan tersebut pada akhirnya akan menjadi budaya dan dianggap lumrah. Apabila mengurus sesuatu harus membayar, kalau tidak membayar maka akan dipersulit. Kejadian seperti ini pada akhirnya akan menyebabkan cost of bureaucracy yang tinggi atau biaya birokrasi menjadi mahal. Hal yang sebelumnya tidak ada tarif, menjadi ada tarifnya. Kejadian seperti ini akan menyebabkan orang menjadi malas mengurus sesuatu yang pada akhirnya orang tidak akan menaati aturan.
Selaras dengan hal tersebut, Harkristuti (2006) mengungkapkan adanya perkembangan gratifikasi yang semula adalah sebagai tanda kasih dan apresiasi kepada seseorang yang dianggap telah memberikan jasa atau memberi kesenangan pada sang pemberi hadiah, kemudian berubah menjadi sebuah ‘komisi’ sehingga para pejabat pemegang otoritas banyak yang menganggap bahwa hal ini merupakan ‘hak mereka’.
Sebenarnya tidak semua gratifikasi berdampak negatif ataupun dilarang. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pelaporan Gratifikas telah mengatur gratifikasi yang wajib dilaporkan dan tidak wajib dilaporkan. Gratifikasi yang wajib dilaporkan adalah gratifikasi terlarang sedangkan gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan adalah gratifikasi yang boleh diterima. Gratifikasi terlarang pada umumnya adalah yang berhubungan dengan tugas dan kewajiban pegawai negeri atau penyelenggara negara. Salain itu gratifikasi ini biasanya memiliki nilai yang tidak wajar. Seperti pemberian parcel dengan harga yang fantastis atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maupun pemberian honor yang tidak sesuai dengan standar biaya.
Gratifikasi yang boleh diterima setidaknya mempunyai empat karakteristik, yaitu: gratifikasi yang berlaku umum; tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dipandang sebagai wujud ekspresi keramahtamahan & penghormatan dalam hubungan sosial antar sesama dalam batasan nilai yang wajar; dan merupakan bentuk penerimaan yang berada dalam ranah adat istiadat serta kebiasaan & norma yang hidup di masyarakat dalam batasan nilai yang wajar.
Ada sebuah metode untuk mengidentifikasi gratifikasi yang akan kita terima merupakan gratifikasi terlarang atau tidak. KPK dalam bookletnya yang berjudul Pengendalian Gratifikasi menjelaskan metode yang disebut dengan PROVE IT. Metode ini menggunakan beberapa pertanyaan yang dapat diajukan kepada diri sendiri saat mempertimbangkan apakah sebuah hadiah boleh kita terima atau tidak. Pertanyaan-pertanyaan tersebut terdiri dari tujuh topik yaitu purpose, rules,
Purpose yang berarti tujuan. Sebelum menerima gratifikasi tersebut pikirkan terlebih dahulu “apa tujuan dari pemberian itu?”
openness, value, ethics, identity, dan timing.
Rules yang berarti aturan. “Bagaimana aturan perundang-undangan mengatur tentang gratifikasi ini?”
Openness yang berarti keterbukaan. “Bagaimana substansi keterbukaan pemberian tersebut?” apakah hadiah yang diberikan secara sembunyi-sembunyi atau di depan umum.
Value yang berarti nilai. “Berapa nilai dari gratikasi tersebut?” jika gratifikasi memiliki nilai yang cukup tinggi maka sebaiknya berhati-hati dan usahakan untuk menolak pemberian tersebut.
Ethics yang berarti etika. “Apakah nilai moral pribadi anda memperbolehkan penerimaan hadiah tersebut?” tanyakan pada hati nurani anda, apakah kita pantas menerima hadiah ini.
Identity yang berarti identitas. Cari tahu apakah pemberi memiliki hubungan jabatan, calon rekanan, atau rekanan instansi?
Timing yang berarti waktu. “Apakah pemberian gratifikasi berhubungan dengan pengambilan keputusan, pelayanan atau perizinan?”
Dengan menerapkan metode tersebut, kita tidak akan terjerumus menerima gratifikasi terlarang yang dapat menyebabkan perilaku koruptif.
Pada akhirnya pengendalian gratifikasi sangat penting dilakukan. Karena dewasa ini perkembangan gratifikasi telah menjadi sebuah sarana untuk menyelundupkan suatu kepentingan. Gratifikasi menjadi penyebab terciptanya benturan kepentingan yang dapat menyebabkan perilaku koruptif. Selain menyebabkan perilaku koruptif, gratifikasi juga dapat merusak birokrasi. ‘komisi’ yang tercipta dari budaya gratifikasi seperti yang disebutkan oleh Harkristuti (2006) telah membuat cost of bureaucracy tinggi dan birokrasi yang koruptif: apa-apa harus menggunakan uang supaya lancar; harus menyogok agar perizinan lancar, jika tidak maka akan dipersulit. Birokrasi yang koruptif akan berdampak pada buruknya layanan publik, kinerja pemerintah yang buruk dan bisa merugikan masyarakat.
Penulis : Kukuh Galang Waluyo.
Daftar referensi:
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pelaporan Gratifikasi.
Komisi Pemberantasan Korupsi. “Pengendalian Gratifikasi”. Booklet. Jakarta Selatan: Direktorat Gratifikasi KPK.
Ramadhan, Ardito. 2021. “Dari Anas Urbaningrum, Nazaruddin, hingga Nurhadi, Deretan Kasus Gratifikasi yang Jadi Sorotan”. Kompas.com.
https://nasional.kompas.com/read/2021/04/03/12490341/dari-anas-urbaningrum-nazaruddin-hingga-nurhadi-deretan-kasus-gratifikasi?page=all, diakses pada 2 Juni 2021 pukul 13.30 WIT.