Menjawab Utang
Pemerintah akan terus menjaga kebijakan fiskal dan defisit APBN sesuai aturan perundang-undangan. Oleh karena itu pengelolaan utang selalu dilakukan secara prudent dan profesional. Laman ini berisi informasi tentang pengelolaan utang pemerintah, agar masyarakat dapat memahami dan turut mengawasi pengelolaan utang pemerintah. Bagaimana rencana strategis pemerintah membayar utang? Simak Bicara Utang Pemerintah dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada video berikut:
FAQ Utang Pemerintah
Ketertinggalan infrastruktur dan masalah konektivitas menimbulkan tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung oleh masyarakat hingga rendahnya daya saing nasional. Inilah yang menjadi dasar pemerintah mengakselerasi pembangunan infrastruktur demi mengejar ketertinggalan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Saat ini pemerintah mengambil kebijakan fiskal ekspansif dimana Belanja Negara lebih besar daripada Pendapatan Negara untuk mendorong perekonomian tetap tumbuh.

Selain mengejar ketertinggalan infrastruktur, kebijakan fiskal ekspasif ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia melalui alokasi anggaran pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial.
Dari penjelasan diatas, terdapat kebutuhan masyarakat yang mendesak dan tidak dapat ditunda. Namun demikian, Pendapatan Negara belum cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan tersebut sehingga menimbulkan defisit yang harus ditutupi melalui pembiayaan/utang. Utang tersebut aman karena digunakan untuk belanja produktif.[/spoiler][/accordion]
Angka yang sangat besar namun berdampak positif dalam alokasi belanja produktif Indonesia. Belanja infrastruktur naik 200% dari Rp456,1 triliun menjadi Rp921,9 triliun. Belanja pendidikan naik 120% dari Rp983,2 triliun menjadi Rp1.176,6 triliun.
Belanja kesehatan naik 180% dari Rp145,9 triliun menjadi Rp263,3 triliun. Belanja perlindungan sosial naik 849% dari Rp35,3 triliun menjadi Rp299,6 triliun dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Dana Desa naik 357% dari Rp88,6 triliun menjadi Rp315,9 triliun.
Walaupun, akhir-akhir ini utang pemerintah meningkat, namun tidak melanggar amanat Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dimana defisit APBN masih terjaga kurang dari 3% terhadap PDB dan rasio utang kurang dari 60% dari PDB.
Amanat dari UU tersebut merupakan batasan dalam pengelolaan utang pemerintah yang bertujuan untuk mengantisipasi risiko pemerintah dalam berutang.
Pada tahun 2045 nanti Indonesia diproyeksikan menjadi salah satu dari 7 negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia.
Salah satu faktornya adalah Indonesia memiliki bonus demografi. Hal ini akan berhasil apabila ditunjang dengan penyiapan dan investasi Sumber Daya Manusia (SDM) serta pembangunan infrastruktur.
Sebagai ilustrasi, seorang anak akan menyelesaikan proses pendidikan sampai dengan pendidikan tinggi minimal 16 tahun.
Selama 16 tahun tersebut, generasi muda Indonesia berhak untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan sebagai modal untuk memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang layak nantinya.
Pada tahun 2017 dan 2018, sebanyak 19,7 juta siswa mendapatkan Kartu Indonesia Pintar. Indonesia akan dapat mengoptimalkan bonus demografi di 2045 nanti, apabila generasi muda Indonesia saat ini memperoleh pendidikan dan kesehatan yang baik.
Begitu juga hasil dari pembangunan infrastruktur, yang tidak dapat dirasakan dalam waktu singkat. Sebagai contoh pembangunan jembatan yang membutuhkan 2-3 tahun, manfaat dari jembatan ini dapat dinikmati setelah jembatan selesai dibangun.
Infrastruktur akan menggerakkan ekonomi, menciptakan pemerataan dan berujung pada pengentasan kemiskinan. Beberapa contoh infrastruktur yang dibiayai dari utang pemerintah adalah sebagai berikut:
Utang negara dalam hal ini adalah Utang Pemerintah tidak termasuk Utang Swasta.
Posisi per Februari 2018 Utang Pemerintah sebesar Rp3.958,6 triliun dan Utang Swasta sebesar Rp2.351,7 triliun yang ketika keduanya dijumlahkan sebesar Rp6.310,36 T.
Jadi, tidak benar apabila disebutkan utang pemerintah sebesar Rp7.000 triliun.
Utang pemerintah dikelola sedemikian baiknya agar bermanfaat bagi Indonesia. Indonesia dengan defisit yang rendah, menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi. Dengan kata lain, tambahan utang menjadi lebih kecil apabila dibandingkan tambahan manfaat yang diperoleh. Inilah yang disebut utang dikelola dengan baik, terjaga dan hati-hati. Terbukti dari rata-rata defisit Indonesia selama 10 tahun terakhir termasuk yang paling kecil di dunia.
Dapat dibandingkan dengan negara lain, rata-rata defisit Indonesia sebesar -1,6% per PDB dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,6%, sedangkan Turki, Mexico dan Brazil memiliki rata-rata defisit sebesar -2,1%, -3,3% dan -4,3% dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,8-%, 2,2%, dan 2,1%.
Ini artinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu tumbuh dengan relatif tinggi dengan defisit yang kecil. Bila dibandingkan dengan negara lain, rasio utang terhadap PDB dan tingkat per kapita tahun 2016, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling rendah nilainya.
PDB Indonesia pada tahun 2018 menjadi sebesar Rp13.798,91 triliun. Jumlah PDB yang cukup besar ini selain mendudukan Indonesia pada posisi ke-16 dari negara-negara dengan perekonomian terbesar atau G-20, juga menunjukkan kekuatan perekonomian Indonesia untuk menutup total utang Pemerintah yang mencapai 29,24 persen dari PDB per akhir bulan Februari 2018.
Hal ini masih sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dimana defisit APBN masih terjaga kurang dari 3% terhadap PDB dan rasio utang kurang dari 60% dari PDB. Masyarakat diharapkan turut mengawasi pengelolaan utang pemerintah melalui dokumen publikasi #APBNkita yang dapat diunduh pada tautan www.kemenkeu.go.id/APBNkita.
Terdapat 3 indikator risiko yang menunjukkan bahwa utang pemerintah dikelola dengan baik, antara lain:
- Penurunan porsi kepemilikan asing dalam utang pemerintah. Data menunjukkan bahwa rasio utang dalam valuta asing, terhadap total utang pemerintah terus menurun dari 2015 sebesar 44,5% ke38,6% di 2018. Hal ini menunjukkan risiko utang yang berasal dari nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing dapat ditekan. Artinya utang Indonesia tidak terdampak apabila ada pengaruh dari luar negeri/global.
- Kenaikkan rasio utang dengan tingkat bunga tetap terhadap total utang pemerintah. Data menunjukkan bahwa dalam 4 tahun terakhir rasio ini meningkat dari 86,3% ke 89,6%. Hal ini berarti risiko utang pemerintah tidak terlalu terpengaruh oleh situasi pasar yang tidak stabil (floating).
- Kenaikan rasio utang yang jatuh tempo lebih dari 3 tahun terhadap total utang pemerintah. Data menunjukkan bahwa dalam 4 tahun terakhir rasio ini meningkat dari 21.4% ke 26.5%. Hal ini berarti risiko beban pembayaran utang pemerintah dalam jangka pendek memiliki tren menurun, artinya alokasi pembayaran utang dalam APBN akan mengecil, seiring dengan meningkatnya porsi utang yang memiliki jatuh tempo menengah/panjang, sehingga setiap tahunnya APBN tidak akan terbebani oleh cicilan utang dan dapat dialokasikan untuk belanja produktif lainnya.
Contoh : Budi memiliki penghasilan Rp10 juta/bulan dengan pengeluaran tetap Rp4 juta/bulan. Budi berencana membeli ruko seharga Rp144 juta untuk usaha (belanja produktif). Budi mendapatkan penawaran kredit dengan pilihan 1: Rp6 juta selama 24 bulan dan pilihan 2: Rp2,4 juta selama 60 bulan (kedua ilustrasi tanpa bunga). Budi memutuskan untuk memilih pilihan 2 dengan pertimbangan cicilan hanya Rp2,4 juta, sehingga Budi masih memiliki ruang gerak keuangan yang cukup untuk investasi produktif lainnya sebesar Rp3,6 juta.

Dunia internasional memberikan kepercayaan yang semakin kuat terhadap APBN dan perekonomian Indonesia. Hal ini dikonfirmasi oleh peringkat investasi dari lima lembaga pemeringkat dunia (S&P, Moodys, Fitch, JCR, dan R&I). Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang menjaga disiplin APBN (fiscal responsibility rules) dan konsisten menjalankannya sehingga masuk dalam kategori negara layak investasi atau Investment Grade.
Investment Grade adalah sebuah peringkat (rating) yang menunjukkan apakah utang pemerintah atau perusahaan memiliki risiko yang relatif rendah dari peluang default atau gagal bayar, sehingga memiliki tingkat kepercayaan yang berkelanjutan dalam jangka panjang. Sekarang seluruh lembaga rating terkemuka telah menyatakan bahwa Indonesia adalah negara layak Investasi. Belum lama ini laporan dari US News (media internasional) menyebutkan bahwa Indonesia kini berada pada peringkat 2 sebagai negara terbaik untuk investasi di dunia.
Indikator lainnya adalah Global Competitiveness Index yaitu ukuran seberapa produktif kemampuan sebuah negara menggunakan sumber daya yang tersedia untuk menyediakan kemakmuran tingkat tinggi bagi warga negaranya. Menurut World Economic Forum, Global Competitiveness Index Indonesia naik dari posisi 41 menjadi 36 di tahun 2017 diatas Rusia (38), Polandia (39), India (40) dan Italia (43). Kenaikan peringkat ini dikarenakan adanya perbaikan di sektor Infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan dasar serta teknologi. Ini merupakan bukti bahwa belanja produktif pemerintah memiliki hasil nyata dan diakui oleh lembaga internasional seperti World Economic Forum.
Berbagai Aspek dalam Pengelolaan Utang Pemerintah
Hasil revaluasi aset tahun 2017 terhadap sekitar 40 persen aset negara menunjukkan bahwa nilai aktual aset negara telah meningkat sangat signifikan sebesar 239 persen, yaitu dari Rp781 triliun menjadi Rp2.648 triliun, atau naik sebesar Rp1.867 triliun. Tentu nilai ini masih akan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk tahun laporan 2017.
Kenaikan kekayaan negara tersebut harus dilihat sebagai pelengkap dalam melihat utang pemerintah, karena kekayaan negara merupakan penambahan aset setiap tahun, termasuk yang berasal dari utang. Apabila utang untuk pembiayaan produktif artinya utang itu digunakan untuk belanja investasi/modal yang produktif bukan untuk belanja konsumtif/operasional, semakin banyak belanja investasi/modal maka akan semakin banyak pula aset negara yang dihasilkan.
Oleh karena itu, tidak dapat disimpulkan bahwa tambahan utang disebut sebagai tidak produktif karena tidak diikuti jumlah belanja modal yang sama besarnya. Kualitas institusi yang baik, efisien, dan bersih adalah jenis “soft infrastructure” yang sangat penting bagi kemajuan suatu perekonomian. Belanja institusi ini dimasukkan dalam kategori belanja barang dalam APBN kita.
[/spoiler]
Indikator positif lainnya adalah menurunnya imbal hasil (yield) Surat Utang Negara berjangka 10 tahun dari 7,93 persen pada Desember 2016, menurun menjadi 6,63 persen pada pertengahan Maret 2018. Ini prestasi yang tidak mudah, karena pada saat yang sama justru Federal Reserve Amerika melakukan kenaikan suku bunga pada akhir Desember 2016, dan dilanjutkan dengan kenaikan suku bunga tiga kali pada tahun 2017.
[/spoiler]