Jl. Jati Lurus No. 254 Ternate

PARADOKS KRISIS ENERGI GLOBAL DAN KENAIKAN PNBP KITA

Raymond Jackson Effendy, ASN Kanwil DJPb Provinsi Maluku Utara

Paradoks ekonomi terkait krisis migas global adalah bahwa krisis migas membuat negara maju menderita, dan dibagian lainnya menguntungkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)  kita. Bukti paling populer dari premis ini adalah bahwa krisis energi di sejumlah negara, baik Amerika Serikat, di kawasan Eropa, maupun di kawasan Asia, yang diikuti pulihnya perekonomian dari dampak pandemi Covid-19 dan datangnya musim dingin membuat kebutuhan energi di banyak negara meningkat. Bersejajaran dengan itu, kelangkaan pasokan gas, naiknya harga gas, naiknya tarif listrik, dan kesulitan mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) menjadi beberapa alasan penyebab negara-negara global masuk ke senjang krisis energi. Pada belahan dunia lainnya, negara kita, sebagai produsen dan importer perdagangan komoditas (migas dan batubara)  mendapatkan limpahan manfaat dari stuasi tidak menentu ini.

Memang teori ekonomi kadang membingungkan nalar kita. Akan tetapi kurva ekonomi akan selalu dibimbing oleh tangan tak nampak (invisible hand)-nya Adam Smith, membuat dan mencapai equilibirium-nya (keseimbangan) pada kurva kemungkinan produksi (production possibility frontier). Inilah keadilan ekonomi (economy justice), disaat satu atau beberapa negara mengalami stagnasi atau krisis, maka negara lain akan mengalami surplus sebagai titik keseimbangannya. 

Posisi PNBP pada APBN Kita

Dalam struktur APBN i-Account, Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan komponen Pendapatan Dalam Negeri selain Penerimaan Perpajakan, yang terdiri dari Penerimaan Perpajakan dan Penerimaan Kepabeanan dan Cukai. Komponen Penerimaan Negara lainnya, adalah Hibah. Sampai dengan Bulan September 2021, Penerimaan Negera telah terealisir sebesar Rp.1.353,8 Triliun (77,7% dari target APBN). Penerimaan Negara sebesar itu terdiri dari Penerimaan negara yang bersumber dari Penerimaan Perpajakan mencapai Rp.850,1 Triliun. Sedangkan Penerimaan Kepabeanan dan Cukai terealisasi sebesar Rp.182,9 Triliun. Bersejajaran dengan itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak menunjukkan kinerja yang mengagumkan yaitu terealisasi sebesar Rp.320,8 Triliun. Dengan capaian sebesar itu, Kinerja PNBP dalam kontribusi Penerimaan Negara hampir separuh dari penerimaan pajak yang menjadi otot saraf penerimaan negara kita selama ini.

Sesungguhnya  apabila kita menjajarkan fakta-fakta capaian PNBP selama 3 tahun terakhir, maka secara jujur kita akan mengakui bahwa terdapat siginifikansi pertumbuhan realisasi PNBP negara kita, bahkan pada situasi Pandemi Covid-19 ini. Setelah mencapai Rp.408,994 Triliun pada tahun 2019, PNBP kita mengalami kontraksi saat pandemi di tahun 2020 menjadi 294,141 Triliun, dan selanjutnya pulih di Tahun 2021 ini, dimana capaian PNBP s.d. September 2021 ini saja telah melampaui capaian PNBP di tahun 2020 dan berdasarkan prognosa, maka akan melampaui capaian 2019. Bila ditelisik lebih mendalam, berdasarkan komponen penerimaan yang dikandungnya, maka komponen PNBP yang memberikan kontribusi terbesar berturut-turut adalah: Penerimaan SDA (termasuk migas), Penerimaan Bukan Pajak Lainnya, Penerimaan Pendapatan dari Kekayaan Negara yang Dipisahkan dan selanjutnya Pendapatan dari BLU.

Berkaitan dengan itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut, realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor mineral dan batubara (minerba) per Oktober 2021 mencapai Rp 49,67 triliun. Jumlah tersebut sudah melewati target tahun ini yang hanya Rp 39,1 triliun. Artinya, realisasi PNBP dalam 10 bulan pertama 2021 sudah setara 127 persen dari target. Dari jumlah tersebut, maka komoditas batubara merupakan penyumbang utama capaian PNBP dengan kontribusi mencapai 92 persen (Rp 45,9 triliun) pada tahun 2021.

Skenario Optimis Krisis Migas bagi PNBP Kita

Harga minyak terus melonjak seiring krisis energi di pasar internasional. Faktanya, Harga minyak kini sudah berada di dekat level tertingginya selama 7 tahun terakhir.  Realitas ini didorong oleh situasi dimana Masyarakat Uni Eropa kini menghadapi krisis energi kala menghadapi musim dingin yang panjang. Alasan di balik krisis energi Eropa jauh dari lugas dan menggambarkan betapa kompleks dan saling terkaitnya pasar energi global. Menurut World Economic Forum, terdapat 5 hal penting  terkait masalah yang memicu krisis energi di Eropa,: 1. Permintaan Global Pulih Pada 2020 dan disisi lain, permintaan gas alam turun sebesar 1,9 persen. Hal itu sebagian diakibatkan karena perubahan penggunaan energi selama periode gangguan pandemi terburuk, 2. Eropa Bergantung kepada Impor Gas. Sejumlah cadangan gas Laut Utara mulai mengering, begitu pula sejumlah ladang gas di Belanda, seperti Groningen yang akan ditutup pada pertengahan 2022. Hal ini membuat Eropa semakin bergantung pada impor gas 3. Harga Gas Meroket. Sejauh ini, harga gas Eropa telah meroket 600 persen pada 2021. Di awal Oktober 2021, terjadi lonjakan 37 persen harga gas grosir Inggris hanya dalam 24 jam. 4. Musim dingin datang lebih awal di 2021, benua Eropa diselingi oleh serangkaian peristiwa cuaca ekstrem yang sangat dingin. Sebagian besar wilayah AS dipengaruhi oleh pusaran kutub yang membawa salju, es, dan suhu beku ke selatan. Musim dingin utara yang sangat dingin lainnya akan memberi tekanan tambahan pada sistem gas yang sudah meregang. 5. Transisi Energi Rumit Gas, sebagai biang Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) belum dikelola secara bijak substitusinya. Disaat tekanan untuk meninggalkan gas, sdaat itulah  Eropa dilanda krisis energi. Secara teori ekonomi, krisis energi ini  lebih kepada supply shock karena secara umum permintaan mulai tumbuh tetapi rantai pasokan belum siap kembali ke level produksi seperti sebelum pandemi Covid-19.

Bersejajaran dengan itu, sejumlah analis menilai tingginya permintaan energi dari sejumlah negara berpotensi meningkatkan pendapatan negara bukan pajak atau PNBP sehingga berdampak positif bagi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Chief Economist Bahana TCW, Budi Hikmat, menilai krisis energi yang melanda berbagai negara di dunia dapat menjadi sentimen positif bagi pemulihan ekonomi Indonesia. Hal ini memberikan peluang besar bagi Indonesia terutama dari sisi penerimaan negara. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).  Saat ini mayoritas PNBP berasal dari pendapatan perdagangan komoditas unggulan yang harganya sedang rally.  Namun tetap diwaspadai risiko  terutama bagaimana respons regulator terkait tingkat inflasi yang berpotensi naik sebagai dampak dari supply shock di sektor energi, tenaga kerja, bahan baku, atau bahkan dari sisi logistik yang melanda dunia saat ini.

Setali tiga uang, Kepala Ekonom Indo Premier Sekuritas Luthfi Ridho, mengatakan ada dua dampak dari kenaikan harga minyak terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yakni pada pos penerimaan negara dan dan pos belanja subsidi. Menurutnya, penerimaan pajak minyak dan gas (Migas) dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) migas seharusnya naik secara significan. Sebab, asumsi ICP dalam APBN hanya sebesar US$ 45 per barel. Tren kenaikkan harga minyak akan menambah triliunan penerimaan negara, karenanya sensitifitas harga minyak terhadap penerimaan negara yakni untuk setiap kenaikan USS 1 harga minyak, pendapatan negara naik Rp 3 triliun hingga Rp 4 triliun.

Penutup

Pemerintah perlu memaksimalkan momentum krisis energi, berupa kenaikan harga komoditas kelompok migas yang sedang rally, untuk meningkatkan PNBP kita, apalagi harga komoditas ini memiliki sensitifitas yang signifikan. Pertumbuhan yang signifikan dan positif dalam penerimaan negara akan memperbesar fiscal space APBN negara kita untuk membelanjakan lebih banyak government expenditure untuk pemulihan ekonomi pasca pandemi.

Peta Situs   |  Email Kemenkeu   |   FAQ   |   Prasyarat   |   Hubungi Kami

Hak Cipta Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Maluku Utara  Kementerian Keuangan RI
Jalan Jati Lurus Nomor 254 Ternate  97716

IKUTI KAMI

Search