Oleh: Chiltry R. Hutahaean (Fungsional PTPN Mahir, KPPN Pematang Siantar)
Dalam melakukan pembayaran APBN, satker K/L dapat menggunakan Uang Persediaan (UP) yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran. Menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 62 Tahun 2023 sebagaimana diubah dengan PMK Nomor 107 Tahun 2024, besaran UP yang dapat dikelola satker adalah 1/12 dari pagu jenis belanja yang dapat dibayarkan melalui UP sesuai dengan sumber dana masing-masing, dengan jumlah paling banyak Rp500.000.000,-. UP dapat terdiri dari UP Tunai dan UP Kartu Kredit Pemerintah (UP KKP). UP KKP digunakan sebagai dasar penentuan limit KKP, sehingga satker yang dapat menggunakan KKP adalah satker yang memiliki UP KKP. Sesuai PMK Nomor 196/PMK.05/2018 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah sebagaimana diubah dengan PMK Nomor 97/PMK.05/2021, proporsi UP Tunai adalah sebesar 60%, dan UP KKP sebesar 40% dari besaran UP yang dapat dikelola oleh satker. Menurut Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-12/PB/2022, disebutkan bahwa satker K/L dengan UP maksimal Rp20.000.000,-, atau tidak memiliki UP dengan sumber dana RM, tidak diwajibkan untuk memiliki UP KKP. Satker yang tidak diwajibkan atau tidak memiliki UP KKP, maka tidak dapat menggunakan KKP dalam pembayaran APBN. UP KKP digunakan sebagai dasar penentuan limit KKP, sehingga satker yang dapat menggunakan KKP adalah satker yang memiliki UP KKP.
Ketentuan penggunaan UP KKP dimulai sejak 01 Juli 2019, dengan pengajuan ulang persetujuan UP satker kepada KPPN. Walaupun UP KKP telah disetujui KPPN, tetapi penggunaan KKP belum tentu dapat dilakukan. Satker wajib mengadakan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan perbankan dalam rangka penggunaan KKP, dan setelah PKS ditandatangani, kemudian mengajukan penerbitan KKP. Penerbitan KKP merupakan wewenang perbankan sehingga jangka waktu penerbitan KKP dapat berbeda-beda. Pada tahun anggaran 2019, belum terdapat transaksi penggunaan KKP karena satker masih dalam proses penyelesaian PKS dengan perbankan serta pengajuan penerbitan KKP, walaupun belum seluruh perbankan siap dalam penerbitan KKP.
Dari data pagu satker wajib KKP mulai tahun anggaran 2020 s.d. 2024, pagu satker wajib KKP selalu meningkat, walaupun terdapat penurunan pada tahun anggaran 2023, tetapi meningkat tajam di tahun anggaran 2024 dikarenakan terdapat beberapa satker wajib KKP yang mendapatkan hibah uang dalam rangka pemilihan umum. Dikarenakan pagu meningkat, maka pagu UP KKP juga akan meningkat dikarenakan pagu UP KKP ditentukan berdasarkan jumlah pagu dengan tidak melihat sumber dana, sedangkan UP KKP hanya dapat digunakan untuk pembayaran APBN dengan sumber dana Rupiah Murni (RM).
Setelah berlakunya proporsi UP KKP dalam persetujuan UP satker, mulai tahun anggaran 2020 s.d. 2025, nominal UP KKP cenderung meningkat. Hal tersebut juga sejalan dengan cenderung meningkatnya nominal UP yang diajukan dan disetujui oleh KPPN. Proporsi UP KKP semakin meningkat setiap tahun, dan pada tahun anggaran 2024, proporsi UP KPP menjadi sebesar 40%, dikarenakan untuk mendorong penggunaan KKP, Kanwil DJPb tidak memberikan persetujuan perubahan proporsi UP KKP. Dengan tidak diberikannya persetujuan perubahan proporsi UP KKP, maka untuk meningkatkan UP Tunai, satker menambah jumlah nominal UP Satker, yang sejalan dengan meningkatnya nominal UP KKP.
Penggunaan KKP meningkat setiap tahun walaupun masih dibawah UP KKP yang disetujui oleh KPPN. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak seluruh satker wajib KKP menggunakan KKP minimal sebesar UP KKP yang dimiliki oleh satker.
UP KKP memberikan dampak yang besar terhadap besaran UP satker yang diajukan ke KPPN. Untuk mengurangi UP KKP, satker mengajukan perubahan proporsi UP KKP kepada Kanwil DJPb, sehingga proporsi UP KKP lebih kecil, dan UP Tunai lebih besar. Tetapi apabila proporsi UP KKP tidak dapat diubah, maka satker akan mengajukan besaran UP yang lebih besar, sehingga UP Tunai yang diterima sama dengan pengajuan UP tahun anggaran yang lalu. Penggunaan UP Tunai yang masih diutamakan dibandingkan dengan UP KKP, dan proporsi UP KKP sebesar 40%, memaksa satker untuk menaikkan jumlah besaran UP. Sehingga semakin besar proporsi UP KKP dalam besaran UP, semakin besar nominal UP yang diajukan oleh satker K/L, dan begitu juga sebaliknya, serta semakin besar UP yang diajukan, semakin besar pula UP KKP yang akan dimiliki oleh satker.
Hal tersebut tentunya menjadi perhatian, karena besaran UP KKP tidak selalu mencerminkan penggunaan KKP di masa depan. Pemisahan UP KKP dari besaran UP satker seharusnya dapat dipertimbangkan. Ketentuan besaran UP Tunai dan KKP juga dibedakan sesuai dengan kebutuhan satker. Untuk membatasi penggunaan UP Tunai dan meningkatkan penggunaan KKP, maka besaran UP dapat dikurangi minimal 50% dari besaran saat ini dan diperuntukkan untuk UP Tunai saja. Sedangkan untuk limit KKP, satker dapat mengajukan permintaan limit KKP sesuai dengan kebutuhan satker setiap bulannya, serta proyeksi penggunaan KKP pada tahun anggaran berjalan. Penggunaan KKP yang sesuai dengan proyeksi yang ditetapkan pada tahun anggaran yang lalu, maka satker dapat diberikan reward berupa permintaan UP Tunai lebih besar dari ketentuan besaran UP saat ini. Hal tersebut perlu dipertimbangkan sehingga besaran UP KKP tidak hanya sebagai simbol akibat keinginan satker dalam menggunakan UP Tunai, tetapi UP/limit KKP adalah penggunaan KKP yang diharapkan setiap bulannya.
Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi.