I PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang mempunyai dampak yang luar biasa dalam merusak tatanan sosial pada masyarakat serta menghambat proses pembangunan yang berkeadilan. Pradiptyo (2014) menyatakan bahwa kerugian atau kerusakan yang ditimbulkan oleh korupsi adalah tidak hanya sebesar nilai yang dikorupsi tetapi juga dampak ikutan yang ditimbulkannya. Dengan demikian dapat dikatatakan bahwa tindakan korupsi akan menghambat Negara dalam mencapai tujuannya mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Salah satu pintu masuk terjadinya korupsi adalah gratifikasi atau pemberian yang kemungkinan ada kaitannya dengan kedinasan (Komisi Pemberantasan Korupsi, 2015). Memang tidak semua gratifikasi akan berujung pada tindakan koruptif seperti: 1) pemberian seminar kit dalam acara pendidikan atau pelatihan, 2) sumbangan dalam jumlah tertentu untuk undangan dari pejabat publik dan 3) goody bag dalam pameran yang diberikan kepada semua pengunjung. Gratifikasi yang mengarah pada tindakan koruptif adalah jika pemberian berdampak pada objektifitas atau mempengaruhi aparatur dalam membuat keputusan.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) adalah instansi vertikal pada Direktorat Jenderal Perbendaraan yang menjadi ujung tombak dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Secara garis besar ada 3 (tiga) fungsi layanan yang diberikan oleh KPPN yaitu penyaluran dana APBN, penerimaan negara khususnya terkait dengan konfirmasi penerimaan negara dan yang tak kalah penting adalah penyusunan pelaporan pertanggung jawaban keuangan pelaksanaan APBN. Adapun mitra kerja yang menikmati layanan KPPN antara lain adalah satuan kerja, penyedia barang dan jasa, perbankan, perusahaan asuransi/pembiayaan, perusahaan perminyakan/pertambangan seperti mitra kerja pada KPPN Jakarta IV, dan perorangan. Dengan melihat fungsi atau tugas layanan yang dimiliki oleh KPPN dan mitra kerja yang bervariasi dan strategis, dapat dikatakan bahwa fungsi yang dijalankan KPPN sangat penting dan mempunyai kekuatan tawar (bargaining power) yang tinggi. Lord Acton (1887) seorang sejarawan, politisi dan penulis Inggris pada abad ke 18 mengatakan bahwa “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.
- Tujuan
Dengan melihat peran strategis dan tingginya posisi tawar KPPN, maka KPPN sangat rentan terpapar risiko untuk terjerat dalam tindakan koruptif. Sebaliknya, pada saat yang bersamaan juga KPPN dapat menjadi garda terdepan dalam pencegahan korupsi. Tidak terbantahkan bahwa telah banyak aturan atau regulasi yang diterbitkan dan gerakan gerakan yang diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam pencegahan korupsi termasuk juga disain organisasi. Pada level KPPN, sebagai contoh, telah dibentuk unit yang salah tugasnya didedikasikan dalam rangka pencegahan korupsi dan pengendalian gratifikasi.
Gerakan pencegahan korupsi adalah sebuah pekerjaan yang tiada akhir (everlasting working) dan perlu untuk dibudayakan sehingga menjadi sikap yang melekat pada setiap komponen atau individu yang terlibat. Adapun tujuan penulisan ini adalah memberikan analisa yang menawarkan strategi kultural untuk diterapkan di KPPN sebagai garda terdepan dalam pencegahan korupsi dan pengendalian gratifikasi.
II Pembahasan
Regulasi yang mengatur tentang pencegahan korupsi, gerakan-gerakan untuk pencegahan korupsi seperti penerapan Wilayah Bebas Korupsi (WBK), Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM), pembentukan unit pencegahan dan penindakan untuk menekan terjadinya tindakan korupsi, perumusan nilai-nilai Kementerian Keuangan maupun perumusan budaya kerja adalah langkah-langkah besar yang telah diambil oleh Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam pencegahan korupsi dan telah berhasil menekan potensi terjadinya korupsi.
KPPN yang merupakan institusi vertikal pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan merupakan garda terdepan dalam memberikan pelayanan perbendaharaan juga harus dapat berfungsi sebagai garda terdepan dalam pencegahan korupsi dan pengendalian gratifikasi. Oleh karena itu, strategi lanjutan sangat dibutuhkan agar gerakan pencegahan korupsi itu membudaya dan meresap menjadi world view dari insan perbendaharaan yang bekerja di KPPN baik secara individu maupun sikap kolektif. Strategi lanjutan itu berupa strategi kultural yang diterapkan KPPN, dimana pendekatan ini sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusian (humanis), sesuai dengan kebudayaan atau kultur Indonesia dan lebih bersifat penyadaran daripada sekedar instruksi atau ancaman. Adapun strategi kultural tersebut sebagai berikut:
- Komitmen dan Keteladanan Pimpinan
Komitmen dan keteladanan pimpinan dalam pencegahan korupsi memegang peranan penting, dalam hal ini adalah komitmen Kepala KPPN yang merupakan nakhoda dari KPPN. Komitmen itu diejawantahkan baik dalam proram kerja, sikap pribadi maupun tindak nyata. Ki Hajar Dewantara (dalam Auliani, P. A. 2017) seorang tokoh pendidik dan pejuang Indonesia mengajarkan tiga prinsip yaitu Ing ngarsa sung tulada (di depan memberi keteladan), ing madya mangun karsa (di tengah memberi semangat), tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan). Perilaku keteladanan serta komitmen dari seorang pimpinan sudah barang tentu akan mempengaruhi sikap dan perilaku anggota nya dalam pencegahan korupsi maupun dalam pengendalian gratifikasi.
Seluruh Anggota KPPN Berperan Penting dan Terlibat.
Setiap unsur yang bekerja di KPPN berperan penting dan harus dilibatkan dalam pencegahan korupsi maupun pengendalian gratifikasi. Oleh karena itu, gerakan tersebut harus merupakan gerakan berjama’ah. Gerakan berjama’ah ini adalah dimana setiap orang harus terlibat dan memberikan kontribusi maupun masukan baik pada tataran ide, pelaksanaan, pengawasan serta evaluasi. Ada 3 (tiga) unsur yang sehari harinya terlibat dalam operasional KPPN yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pegawai Pemerintah Non PNS (PPNP) dan tenaga alih daya (outsourcing). Ketiga unsur tersebut harus dilibatkan, saling bahu membahu dan berperan penting dalam pencegahan dan pengendalian gratifikasi.
Suasana memiliki, kekeluargaan, dan saling mengingatkan harus dibangun. Sebagai contoh dalam acara doa pagi (morning briefing) setiap elemen harus terlibat dan diberi peran, serta yang lebih penting lagi dapat memberikan pendapat dan evaluasi dalam suasana kekeluargaan. Salah satu persoalan dalam pencegahan korupsi adalah sifat permisif dan tidak peduli dengan lingkungan. Dengan rasa memiliki, kekeluargaan, saling percaya dan saling mengingatkan maka rasa sungkan dan tidak enak (hard feeling) serta sifat permisif dapat diminimalkan.
- Melibatkan Seluruh Mitra Kerja
Keterlibatan mitra kerja dalam pencegahan korupsi maupun pengendalian gratifikasi adalah sangat penting. Tindakan korupsi atau gratifikasi timbul ketika melibatkan pihak yang berkepentingan dan fihak yang mempunyai otoritas dalam rangka memperoleh keuntungan dengan cara cara yang tidak adil (fair) dan merugikan kepentingan umum. Dalam operasionalnya, setiap hari KPPN akan berhubungan dengan mitra kerja nya baik yang bersifat insidental maupun bersifat terus menerus. Bahkan tidak dapat dipungkiri petugas mitra kerja KPPN sudah sangat lama berhubungan dengan KPPN. Untuk itu dalam pencegahan korupsi dan pengendalian gratifikasi perlu pendekatan kekeluargaan dan terus menerus dari KPPN untuk menyebarkan nilai nilai tersebut baik melalui proses dialogis maupun dengan memberi contoh yang nyata.
Tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada pengguna layanan yang beranggapan bahwa aparat pemerintah koruptif dan “bisa terbeli”. Tidak jarang ada yang menawarkan sesuatu yang sifatnya menggiurkan sepanjang kepentingannya bisa terfasilitasi. Disinilah tantangan terberat yang harus dihadapi KPPN, bagaimana merubah pandangan atau anggapan seperti itu. Tidak perlu harus marah atau ketus menghadapinya. KPPN harus merangkul yang bersangkutan dengan cara bekerja dengan cekatan, memberi penjelasan yang tuntas dan tetap melayani dengan standar kualitas yang sempurna tanpa harus ada iming-iming.
III Penutup
Ada 3 (tiga) strategi kultural yang diusulkan untuk diterapkan oleh KPPN dalam rangka pencegahan korupsi dan pengendalian gratifikasi yaitu komitmen dan keteladan pimpinan, seluruh anggota KPPN berperan penting dan terlibat, serta dilakukan bersama sama dengan seluruh mitra kerja. Ketiga strategi kultural tersebut dikombinasikan dengan kebijakan kebijakan yang telah ditetapkan dan diterapkan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Perjuangan melawan korupsi dan pengendalian gratifikasi adalah perjuangan yang panjang dan tiada akhir, mengingat sifat koruptif akan selalu ada sepanjang peradaban manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Acton, L (1887), Letter to Bishop Mandell Creighton, April 5, 1887 published in Historical Essays and Studies, edited by Figgis, J. N. and Laurence, R. V. (London: Macmillan, 1907), dalam http://oll.libertyfund.org/titles/acton-historical-essays-and-studies diakses tanggal 24 November 2017
Auliani, P. A. (2017),Siapa dan Apa Ajaran Ki Hadjar Dewantara?, dalam http://edukasi.kompas.com/read/2017/05/02/13433871/siapa.dan.apa.ajaran.ki.hadjar.dewantara diakses tanggal 21 November 2017.
Hardjapamekas, E. R. (2017) Tantangan Governansi dalam Menyelesaikan Masalah Korupsi di Sektor Publik & Sektor Swasta, dalam https://acch.kpk.go.id/id/ragam/makalah/tantangan-governansi-dalam-menyelesaikan-masalah-korupsi-di-sektor-publik-sektor-swasta diakses tanggal 21 November 2017.
Komisi Pemberantasan Korupsi (2015), Pedoman Pengendalian Gratifikasi
Nasher, H (2017) Memulai dari Idealisme dan Komitmen Pimpinan, Suara Muhammadiyah, dalam http://www.suaramuhammadiyah.id/2017/04/10/memulai-dari-idealisme-dan-komitmen-pimpinan/ diakses tanggal 21 November 207
Pradiptyo, R. (2014) A certain uncertainty; assessment of court decisions in tackling corruption in Indonesia, dalam https://www.researchgate.net/publication/316637308_A_certain_uncertainty_assessment_of_court_decisions_in_tackling_corruption_in_Indonesia diakses tanggal 21 November 2017
Sanapiah, A. A. (2014) Dimensi Kepemimpinan Aparatur dalam Perspektif Pelayanan Publik: Building the Trust, makalah Jurusan Administrasi Bisnis STIA LAN Jakarta dalam https://www.stialan.ac.id/artikel/artikel%20aziz.pdf diakses tanggal 21 November 2017