Jl. Jenderal Sudirman 55, Kel.Tengah, Kec. Delta Pawan, Kab. Ketapang, Kalimantan Barat 78812, https://wa.me/+6285186860094

Korupsi di lingkungan birokrasi pemerintah tidak hanya berdampak bagi pemerintahan saja, tetapi juga berdampak bagi perekonomian Indonesia. “Penyebab dari kehancuran perekonomian negara bukan resource curse, tetapi sistem politiknya, sistem politik yang korup” (Rhenald Kasali, Indonesia Lawyers Club, Selasa, 17 Juli 2018).  Pemerintahan yang rawan tindak pidana korupsi membuat masyarakat mengalami krisis kepercayaan kepada pemerintah. Masyarakat menjadi sulit untuk meletakkan harapan mereka terhadap kesejahteraan masyarakat kepada pemerintah. Secara masif, hal ini akan berdampak pada kondisi masyarakat yang semakin tak acuh dengan menganggap peyelewengan dan tindak pidana yang termasuk korupsi merupakan hal yang lumrah terjadi dalam sistem pemerintahan. Masyarakat yang kaya akan semakin kaya dan masyarakat miskin semakin miskin.

Pernahkah terpikir apa perbedaan krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 1998 dan tahun 2008? Pemerintahan Indonesia pada tahun 1998 mengalami kolaps. Pertama kali dalam sejarah, seorang presiden diturunkan oleh rakyatnya sendiri. Sistem pemerintahan saat itu, yang dikenal sebagai orde baru, memiliki banyak celah terhadap kemungkinan melakukan tindakan penyelewengan yang dilakukan oleh para birokrat. Salah satu kebijakan yang memiliki celah terhadap tindak pidana korupsi adalah peran dwifungsi ABRI, yaitu anggota TNI (saat itu ABRI) diperbolehkan menjadi kepala daerah. Selain itu, keterbatasan terhadap kebebasan pers menjadi batu sandungan bagi masyarakat untuk mengawasi kinerja pemerintah.

PEMBAHASAN

Peristiwa yang terjadi pada tahun 1998 memberikan banyak pelajaran bagi Indonesia. Pentingnya reformasi birokrasi mulai disadari oleh bangsa Indonesia. “Perjalanan evolusi model birokrasi merupakan respon terhadap perkembangan ekonomi dan sosial masyarakat dan dipacu oleh peristiwa yang mengubah tatanan ekonomi masyarakat secara fundamental, seperti revolusi industri, krisis ekonomi serta perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi” (Sigit Setiawan, 2014). Reformasi Birokrasi di Indonesia ditandai dengan adanya lembaga penanganan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2002. Sebelumnya memang telah ada tim penanganan kasus korupsi pada era orde lama dan orde baru, tetapi kinerja tim tersebut kurang maksimal. Penanganan tindak pidana korupsi pada era reformasi memiliki payung hukum yang kuat. KPK dibentuk atas dasar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, sedangkan lembaga penanganan korupsi sebelumnya dibentuk atas dasar Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden.

Setelah mendirikan lembaga yang mampu menangani tindak pidana korupsi, pemerintah Indonesia merombak sistem birokrasi internal. Hal ini ditandai dengan keluarnya UU ASN Nomor 5 Tahun 2014. Prinsip-prinsip birokrasi yang dipakai dalam UU ASN berubah. Sebelumnya, Indonesia menerapkan model birokrasi Webberian. Model birokrasi yang dikemukakan oleh Max Webber ini identik dengan penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan terpusat oleh elit birokrasi, struktur dan jabatan dalam organisasi masih berbentuk hierarki. Kemudian, Indonesia beralih ke model birokrasi baru yang disebut sebagai New Public Management (NPM). Model birokrasi ini masih memiliki struktur hierarki, tetapi lebih bersifat manajerial. Dalam model NPM, terdapat pelaksanaan merit system, yakni mengukur kinerja berdasarkan target kinerja dan capaian kinerja yang diperoleh. Hal ini mengurangi potensi pegawai mengulur waktu dalam menyelesaikan pekerjaan dan memberikan layanan kepada masyarakat.

Setelah memiliki lembaga independen dan mereformasi sistem birokrasi, Indonesia dan dunia menyadari bahwa anti korupsi tidak hanya dalam wujud kelembagaan maupun sistem, tetapi juga harus melekat pada budaya masyarakatnya. Kementerian Keuangan sendiri melalui nilai-nilai menempatkan nilai integritas sebagai nilai pertama yang menjadikan ciri khas Kementerian Keuangan.  Budaya anti korupsi juga didukung oleh program Transformasi Kelembagaan. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, sebagai instansi eselon I di bawah Kementerian Keuangan memiliki Quickwin Transformasi Kelembagaan yang sejalan dengan budaya anti korupsi, antara lain transaksi cashless dalam pengelolaan pengeluaran keuangan negara. Melalui implementasi SPAN, internet banking, dan kartu kredit pemerintah, pegawai Kemeterian Keuangan tidak lagi berinteraksi langsung dengan sejumlah uang tertentu.

Salah satu prinsip anti korupsi adalah transparansi. Transparansi identik dengan keterbukaan dan kejujuran. Kejujuran dan keterbukaan menciptakan pribadi yang berintegritas, yang dapat dipercaya. Transparansi diperlukan bahkan dalam hal pelayanan kepada masyarakat. Pepatah mengatakan sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga. Pegawai yang tidak memiliki integritas dan tidak bisa bersikap transparan akan memperoleh akibat dari perbuatannya. “Jika seorang karyawan berpusat pada diri sendiri, hasilnya adalah gaya pengambilan keputusan murahan, dimana semua keputusan berpusat di sekitar usaha untuk bertahan hidup” (Herb Baum, 2007).

Penerapan transparansi dalam lingkungan kantor bisa dimulai dari hal-hal sederhana, seperti:

  1. Selalu mengomunikasikan permasalahan yang dihadapi kepada pimpinan sambil mencari solusi atas permasalahan tersebut.
  2. Melibatkan para bawahan dalam pengambilan keputusan. Para pegawai bisa memberikan masukan ataupun saran terkait permasalahan yang dihadapi, tetapi keputusan tetap dipertanggungjawabkan oleh pimpinan. Masukan dan saran dari pegawai menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
  3. Mengembangkan komunikasi yang baik dengan para pemangku kepentingan atas permasalahan yang terjadi dalam hal pelayanan. Para pemangku kepentingan terkadang tidak merasa nyaman apabila mendapatkan informasi yang tidak jelas atas permasalahan yang terjadi.
  4. Menghapus politik internal dalam instansi. Tidak ada pendapat yang disampaikan secara rahasia dari pimpinan kepada bawahan maupun dari bawahan kepada pimpinan. Semuanya dikemukakan saat berada di forum rapat internal, seperti GKM (Gugus Kendali Mutu), RTM (Rapat Tinjauan Manajemen), DKO (Dialog Kinerja Organisasi), dan sejenisnya. Bahkan untuk hal-hal pribadi sekalipun, pimpinan mempertemukan pihak-pihak yang terlibat untuk mencari solusi terbaik.
  5. Mengomunikasikan tujuan organisasi kepada pihak-pihak yang terlibat. Banyak pegawai yang belum memahami tujuan organisasi akan berdampak pada cara pegawai tersebut bekerja. Penting bagi pimpinan untuk mengingatkan kepada para bawahannya untuk mengingat dan memahami tujuan organisasi. Selain kepada para pegawai, tujuan organisasi hendaknya diketahui oleh para pemangku kepentingan. KPPN wajib menyampaikan visi misi instansinya kepada para satker. Pengetahuan satker mengenai visi misi KPPN diharapkan dapat menciptakan sinergi dan kerja sama yang baik antara KPPN dan Satker.

PENUTUP

Tujuan yang baik akan berhasil dan bertahan apabila memiliki sistem yang baik dan juga didukung oleh kebudayaan yang baik. Kebudayaan transparansi merupakan budaya yang mendukung gerakan anti korupsi. “Pemimpin yang baik bekerja keras untuk memberi contoh, yang menunjukkan bahwa mereka melakukan apa yang mereka katakan dan mengatakan apa yang mereka lakukan” (Herb Baum, 2007). Transparansi tidak hanya dipraktekkan, tetapi juga harus dikomunikasikan.

Penerapan transparansi yang melibatkan pegawai dalam mengambil keputusan dapat mengubah pola pikir pegawai. Para pegawai yang dulunya berpusat pada diri sendiri, sekarang lebih mementingkan perkembangan kemajuan instansi. Para pemangku kepentingan yang dulunya hanya mengelola keuangan negara untuk menggugurkan kewajiban, sekarang memikirkan dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat.

Referensi:

  1. Setiawan, Sigit. 2014. Evolusi Model Birokrasi Dalam Perspektif Ekonomi dan Perkembangan Reformasi Birokrasi di Indonesia.
  2. Sofia, Asriana Issa, dkk. 2011. Pendidikan Anti-Korupsi untuk Perguruan Tinggi.
  3. Baum, Herb. terj.Christiany Lo. 2007. Transparent Leadership.
  4. Transparency International. Corruption Perception Index 2017. Diambil pada 01 Desember 2018 dari https://www.transparency.org/news/feature/corruption_perceptions_index_2017
  5. Indonesia Lawyers Club. (2018, 18 Juli). [FULL] ILC "Divestasi Freeport: Untung atau Rugi?" - Indonesia Lawyers Club (file video). Diambil dari https://www.youtube.com/watch?v=XWwW8mgvgi8.

Oleh : Indria Kristiani, Pegawai KPPN Ketapang

Peta Situs   |  Email Kemenkeu   |   FAQ   |   Prasyarat   |   Hubungi Kami

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Djuanda I Lt. 9
Gedung Prijadi Praptosuhardo II Lt. 1 Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat 10710
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

IKUTI KAMI

PENGADUAN

 

    

Search