Di atas kapal dalam perjalanan laut dari Pelabuhan Bungus menuju Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai, saya termenung di keheningan malam Samudera Hindia. Perjalanan untuk menuju (yang katanya) “surga dunia”, destinasi wisata paling terkenal kedua oleh para bule setelah Jam Gadang di Sumatera Barat, yaitu Pulau Mentawai, ternyata untuk mencapainya sungguh suatu tantangan yang membutuhkan nyali besar. Dengan menggunakan salah satu kapal Ferry bernama “Ambu-Ambu”, yang sebetulnya adalah kapal untuk mengangkut barang namun dioperasikan sebagai kapal angkut penumpang, saya hanya bisa duduk bersila beralaskan matras (karena bangku-bangku yang tersedia telah penuh, baik yang duduk maupun tidur) akhirnya berusaha tidur juga di atas dek anjungan, walaupun ada rasa penasaran di hidung ini terhadap aroma yang demikian menyengat dari arah bawah dan terbawa kencangnya angin, membuat saya tidak bisa tidur. Rasa penasaran mendorong saya untuk mencari tahu sumber datangnya aroma tak sedap itu. Ternyata, aroma tersebut berasal dari kawanan ternak babi yang merupakan bantuan dari Pemerintah Daerah Mentawai dan akan dikirimkan ke masyarakat Kepulauan Mentawai. Cukup melelahkan dan penuh tantangan, namun semoga semua rasa lelah ini dapat terbayarkan dengan melihat keindahan “surga dunia” tersebut, setelah menempuh perjalanan yang diperkirakan memakan waktu 10 jam. Ditengah lelapnya tidur, tiba-tiba saya terbangun karena guyuran air yang membasahi badan. Saya mengira turun hujan, namun ternyata itu adalah deburan ombak yang mencapai ketinggian dek anjungan kapal kurang lebih 6 meter, terlihat waktu menunjukkan pukul 01.30. Dengan basah kuyup saya pun akhirnya pindah ke ruang penumpang yang ditutupi terpal di kedua sisinya, dan akhirnya bajupun kering dengan sendirinya oleh hembusan angin malam.
Tak terasa fajarpun telah menyingsing. Kawasan Kepulauan Mentawai terlihat cantik saat bersanding dengannya. Sesaat setelah menikmati pemandangan yang memanjakan mata tersebut, sampailah saya di Pelabuhan Tua Pejat, Pulau Sipora. Sedikit bercerita tentang letak geografisnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai terdiri dari 3 pulau yaitu Pulau Siberut, Pulau Sipora, dan Pulau Sikakap. Pulau Sikakap terbagi menjadi dua wilayah, Pagai Utara dan Pagai Selatan yang terpisahkan oleh selat yang terhubung dengan lautan lepas di barat dan timur pulau. Pulau Sipora merupakan pulau paling kecil diantara ketiga pulau tersebut, tetapi menjadi pusat pemerintahan dan ibu kota dari Kabupaten Kepulauan Mentawai namanya Tua Pejat. Pulau lainnya, yaitu Pulau Siberut memiliki hutan yang dikategorikan sebagai salah satu Taman Nasional di Indonesia. Perjalanan menuju Pulau Sikakap ditempuh selama 10 jam dari Tua Pejat, sedangkan untuk menuju Hutan Taman Nasional Siberut membutuhkan waktu 8 jam perjalanan laut.
Saat merapat di pelabuhan, hal pertama yang terasa di benak saya; inikah bagian terdepan Indonesia setelah 72 tahun merdeka?. Terlihat minim sekali sarana, prasarana serta infrastrukturnya. Kondisinya tidak menggambarkan pelabuhan yang ada di ibukota kabupaten padahal merupakan salah satu pelabuhan yang melayani pelayaran yang beresiko tinggi, dengan gelombang besar dan angin yang kencang setiap harinya. Peristiwa naas pun telah beberapa kali terjadi diantaranya menimpa kapal dinas milik pemerintah daerah setempat, kapal penumpang antar pulau dan salah satu kapal patroli KPP Bea Cukai Padang, musibah terjadi akibat pecahnya badan kapal karena hantaman ombak besar Samudera Hindia. Selain minimnya sarana dan prasarana, Tua Pejat juga minim akan informasi dikarenakan pusat-pusat informasi untuk turis dan pusat bantuan tidak lebih dari bangunan tak berpenghuni.
Setelah chek in di salah satu penginapan yang konon terbaik di Tua Pejat, saya pun mulai menyusuri satu-satunya jalan yang ada yaitu ruas jalan yang menghubungkan Pelabuhan Tua Pejat di satu sisi dan Pelabuhan Udara Rokot di sisi lain P. Sipora. Jalan inilah yang menyambungkan seluruh aktivitas sosial warga dan menggerakkan roda perekonomian masyarakat Kabupaten Kepulauan Mentawai. Penerangan jalan hanya sampai pada kilometer 3, terlihat jalan kurang terpelihara dan hanya beraspal sampai desa Goiso Oinan, serta belum dibuat sarana drainase jalan yang memadai, sehingga apabila hujan, air mengalir di jalanan bak sungai. Selebihnya hanya jalan tanah yang baru dikeraskan dengan batu atau dipenetrasi. Setali tiga uang, akses dari Bandara Udara Rokot pun belum memadai. Apabila laut dalam keadaan surut, maka akses masuk ke bandara akan ditempuh dengan menyusuri pantai. Apabila laut dalam keadaan pasang, akses satu-satunya langsung ke ujung landasan pacu udara (coba bayangkan apa yang terjadi apabila ada pesawat yang akan mendarat). Untuk ruang tunggu penumpang sudah dibangun dan tersedia, namun belum dilengkapi dengan perlengkapan yang seharusnya ada pada ruang tunggu sebagaimana ruang tunggu bandara pada umumnya. Pemandangan ini mengingatkan saya akan bandara udara di Kolombia pada tahun 1960’an (yang saya saksikan ditayangan televisi). Menurut pengakuan warga sekitar bandara, apabila cuaca sedang hujan maka jika akan bepergian ke Tua Pejat dan sekitarnya, warga akan lebih memilih jalur laut untuk menuju Tua Pejat karena jika melalui jalur darat bisa menempuh 10 jam perjalanan, sedangkan jalur laut hanya memerlukan waktu tempuh 5-6 jam saja, walaupun risiko ombak besar.
Perjalanan pun saya lanjutkan menyusuri Pulau Sipora untuk mengetahaui keseharian dari masyarakat Tua Pejat. Ternyata, para penduduk asli Mentawai masih terdapat yang menggunakan pakaian tradisional dalam keseharian mereka dan masih menggunakan peralatan seadanya. Ini berbanding terbalik dengan resort-resort super mewah yang saya temukan di sisi lain Pulau Sipora dan beberapa di Pulau Siberut yang dimiliki pihak asing. Kursi untuk bersantai dengan bantal yang empuk, para pelayan yang melayani tamu dengan senyum ramah, minuman dengan gelas-gelas kaca yang sudah disediakan pada meja-meja bartender. Apakah benar ini yang disebut salah satu “surga dunia” itu? Menurut saya tidak. Disatu sisi, pengunjung pulau dapat bersenang-senang dan berbahagia, sedangkan di sisi lain masyarakat sulit untuk pergi ke bandara atau ke palabuhan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Serasa terkoyak merah putih di dada saya, seolah-olah kehadiran NKRI tidak terasa di tengah rakyat Kepulauan Mentawai. Saya pun teringat akan sebuah tulisan dari Bapak Direktur Jendral Perbendaharaan, Marwanto Harjowiryono pada Majalah Treasury, “...bahwa di samping menjalankan misi treasury yang ‘konvensional’ seperti pencairan anggaran, pengelolaan kas negara, serta akuntansi dan pelaporan, Ditjen Perbendaharaan juga mengemban ‘misi khusus’ yang secara esensi sebetulnya sangat berkaitan, langsung maupun tidak langsung dengan kepentingan masyarakat dan akselerasi pembangunan dan perekonomian”, yang berarti kehadiran KPPN sebagai perpanjangan tangan Ditjen Perbendaharaan merupakan sebuah ‘misi khusus’ untuk mewujudkan kehadiran NKRI di tengah-tengah rakyatnya. Dengan hadirnya KPPN disana, setidaknya kantor fillial, diharapkan dapat meningkatkan perputaran ekonomi di Kepulauan Mentawai, kantor-kantor pemerintah dapat lebih aktif bekerja membantu dan melayani masyarakat Kepulauan Mentawai setiap harinya, dan fasilitas serta infrastruktur pasti akan berkembang dengan pesat. Sebagai contoh Gunung Sitoli dan Nunukan, yang semenjak hadirnya KPPN disana, perputaran roda ekonomi semakin baik yang otomatis mengakselerasi pembangunan dan perekenomian baik langsung maupun tidak langsung di wilayah Gunung Sitoli dan Nunukan.
Tak gentar hadapi rintangan, tak mundur jalani keterbatasan, itulah dedikasi para pegawai Direktorat Jenderal Perbendaharaan terhadap profesi dan institusi. Saatnya kita berkawan dengan tantangan untuk mewujudkan kehadiran negara di tengah-tengah rakyatnya. (hf & bng)