Jl. Slamet Riyadi No.467, Surakarta, Jawa Tengah 57146

 

Oleh: Tri DiatmokoPTPN Penyelia KPPN Surakarta

Sampai pertengahan abad ke-19, kolonialisme belanda (dunia barat) baru mulai melakukan intervensi terhadap hukum pribumi yang dijadikan pedoman hidup (a way of life) sebagian besar masyarakat Indonesia saat itu, sebagaimana yang dikatakan Wael Hallaq dalam bukunya “Intro to Islamic Law” bahwa Indonesia “The Dutch did not significantly interfere in native legal affairs until about the middle of the nineteenth century”, sehingga peradaban kaum muslimin khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya mengalami kemunduran dengan mengikuti peradaban ala barat yang mulai ditanamkan oleh kolonialisme belanda. Kemunduran peradaban hukum Islam semakin diperkeruh dengan banyaknya para akademisi yang mendapatkan pendidikan beasiswa dari dunia barat dengan membawa pemikiran-pemikiran dan peradaban yang tidak/kurang sesuai dengan fitrah manusia yang sudah menjadi peradaban di dunia timur sebelumnya. Kemunduran ini merambah di berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang hukum muamalah antar manusia yang sudah cenderung mengedepankan konsep kapitalisme ala barat (Ribawi).

Riba, hal yang sudah tidak asing lagi bagi telinga masyarakat Indonesia, khususnya umat muslim yang berpedoman terhadap kitab Allah Al-Qur’an dan Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hal ini menjadikan seseorang yang masih memiliki iman di dalam hatinya untuk selalu meminta hidayah dan perlindungan dari perkara-perkara yang diharamkan Allah subhanahu wata’ala. Adapun konsekuensi dosa yang dapat ditimpakan kepada pelaku riba amatlah berat, yakni dosa yang paling ringan saja ternyata seperti dosa seorang anak yang telah tega menzinai Ibu kandungnya sendiri. Bukan hanya dunia muslim yang mengharamkan riba, namun ternyata riba juga diharamkan pada umat-umat nonmuslim lainnya, sehingga riba telah nyata menjadi musuh bagi seluruh manusia yang ada di muka bumi ini.

Badai riba bukan hanya menerpa para pebisnis Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) kelas kakap, namun justru kebanyakan para pebisnis kelas teri lah yang menjadi korbannya. Para pebisnis kelas teri, yakni para pelaku usaha ultra mikro inilah yang secara umum masih hidup di bawah garis kemiskinan, yang seharusnya banyak uluran tangan iba dan tulus dalam memberikan pertolongan kepadanya. Walaupun dari segi aset dan omset usaha ultra mikro ini memang kecil, namun usaha Ultra Mikro sesungguhnya mendominasi struktur perekonomian Indonesia. Kemajuan usaha ultra mikro secara keseluruhan dapat diyakinkan mampu berdampak pula pada perkembangan perekonomian Indonesia. Di sisi lain, UMKM di Indonesia, khususnya usaha ultra mikro memang harus diakui masih menghadapi berbagai kendala khususnya dalam permasalahan permodalan.

Dalam laman salah satu institusi Kementerian Keuangan RI disebutkan bahwa menurut data Kementerian Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah (KUKM) tahun 2018, jumlah pelaku UMKM Indonesia adalah sebanyak 64,2 juta atau 99,99% dari jumlah pelaku usaha di Indonesia. Bahkan sampai dengan tahun 2023, data tersebut masih dinilai sangat relevan sebagaimana yang dirilis secara resmi oleh Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia terkait Indikator UMKM (Gambaran UMKM Indonesia).

Adapun terkait realisasi penyaluran KUR (Kredit Usaha Rakyat) dari pemerintah tahun 2023 sampai dengan 20 November 2023, berdasarkan data SIKP (Sistem Informasi Kredit Program) sebesar Rp218,40 triliun atau sebesar 73,54 persen dari target sebesar Rp297 triliun kepada 3,93 juta debitur. Sehingga dari jumlah pelaku UMKM sebanyak 64,2 juta, baru 6,12% pengusaha UMKM yang merasakan manfaat dari pembiayaan KUR. Dari jumlah pelaku usaha di Indonesia tersebut, mayoritas terdiri dari para pengusaha mikro, yaitu sebanyak 63.955.369 pengusaha atau 99,62% usaha mikro. Hal ini menggambarkan begitu pentingnya pemerintah Indonesia untuk lebih besar lagi perhatiannya dalam membantu para pengusaha mikro tersebut, khususnya lagi pengusaha Ultra Mikro melalui jalur pembiayaan sebagai modal usaha yang sangat dibutuhkan oleh mereka di dalam perputaran perekonomiannya.

Patut diajungi jempol, pemerintah Indonesia selama ini telah berulang kali berusaha membantu para pengusaha UMKM Indonesia khususnya pebisnis Ultra Mikro melalui berbagai program kebijakan, dari kebijakan perkreditan yang termanivestasikan dalam institusi finansial formal seperti Bank Rakyat Indonesia, Badan Kredit Kecamatan, dan Badan Kredit Desa, namun belum menuai kata berhasil dan masih kalah atraktif jika dibanding dengan gerak sigap para rentenir ribawi. Kredit dapat dikatakan sebagai alat yang penting bagi petani-petani kecil, pedagang, dan pengrajin untuk membantu pertambahan pendapatan mereka sebagai pelaku usaha mikro. Di sisi lain, dalam perkembangannya saat ini, skema yang disediakan pemerintah seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan pemberian bantuan berupa subsidi bunga, juga belum mampu menjangkau pelaku usaha mikro apalagi para pelaku usaha Ultra Mikro yang tersebar di seluruh pelosok negeri dari sabang sampai Merauke, yang mana mereka masih terhimpit pada kurangnya modal dalam usaha. Yang terkini, pemerintah Indonesia melalui Badan Layanan Umum Pusat Investasi Pemerintah (BLU PIP), instansi vertikal di bawah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan RI dari tahun 2017 sampai dengan saat ini telah meluncurkan program kebijakan pemerintah melalui pembiayaan Ultra Mikro atau yang dikenal dengan sebutan pembiayaan UMi, yakni dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.05/2017 tentang Pembiayaan Ultra Mikro yang disusul dengan perubahannya melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.05/2020. Dalam PMK ini disebutkan bahwa pembiayaan Ultra Mikro adalah program fasilitas pembiayaan kepada Usaha Ultra Mikro baik dalam bentuk pembiayaan konvensional maupun pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Usaha Ultra Mikro adalah usaha mikro yang dimiliki oleh orang perorangan. Adapun tujuan dari pembiayaan Ultra Mikro ini adalah untuk menyediakan fasilitas pembiayaan yang mudah dan cepat bagi Usaha Ultra Mikro serta menambah jumlah wirausaha yang difasilitasi oleh Pemerintah.

Banyak kalangan yang memandang bahwa kebijakan pemerintah khususnya kebijakan pembiayaan UMi tersebut di atas telah menuai kata berhasil, namun menurut Penulis hal tersebut perlu diteliti dan dikaji ulang, karena tidak sedikit para pengusaha ultra mikro yang mengeluh telah gulung tikar dalam usahanya dan terhimpit dalam kubangan hutang yang berkepanjangan. Bisa jadi hal tersebut terjadi dan akan terus terjadi karena kebijakan dalam pembiayaan yang diluncurkan saat ini masih bernafaskan ribawi, meskipun ada kata syariah dalam kebijakan dan akad pembiayaannya.

Melalui penelitian yang telah penulis lakukan, dengan metode penelitian kualitatif berbentuk penelitian hukum empiris/sosiologis (empirical/socio legal research) berupa analisis terhadap akad pembiayaan Ultra Mikro dan hasil wawancara dengan para pelaku usaha Ultra Mikro di Kota Surakarta dengan landasan teori maqashid syariah termasuk kaidah riba dalam kitab-kitab turast, terutama yang berkaitan dengan akad muamalah dalam jual beli dan permodalan usaha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan hukum pembiayaan usaha Ultra Mikro syariah dan implementasinya di Kota Surakarta sejatinya masih berbasiskan ribawi. Hal ini dapat terlihat pada pokok-pokok klausul berikut ini: pertama, konsep dasar pembiayaan Ultra Mikro syariah yang dijalankan pemerintah saat ini, masih menggunakan konsep piutang yang mendatangkan manfaat berupa pendapatan (bagi hasil/margin) dengan tarif tertentu; kedua, tarif pendapatan dari pembiayan Ultra Mikro syariah berupa margin atau bagi hasil telah ditentukan/dipersyaratkan diawal akad/perjanjian; ketiga, terdapat klausul sanksi denda keterlambatan; keempat, konsep bagi hasil dalam akad mudharabah yang dijalankan bukan konsep bagi hasil netto (siap untung/rugi), namun dihitung berdasarkan pokok pinjaman awal; dan kelima, implementasi kebijakan hukum pembiayaan Ultra Mikro syariah melalui akad pembiayaan murabahah dilakukan tanpa adanya kehadiran/perwujudan barang/jasa yang diperjualbelikan atau barang/jasa yang menjadi obyek pembiayaan tersebut secara prinsip belum menjadi hak miliknya penjual (kreditur).

Selanjutnya, melalui kerangka konseptual maqashid syariah, penulis tawarkan konsep kebijakan hukum pembiayaan usaha Ultra Mikro syariah yang bebas dari riba, yang selaras dengan perspektif maqashid Syariah, yakni pertama, menghilangkan mekanisme pembiayaan Ultra Mikro syariah secara tidak langsung melalui PT. BAV dan LKBB (Lembaga Keuangan Bukan Bank) linkage, karena disamping dapat menutup pintu-pintu terjadinya transaksi riba, hal ini juga memperingan beban nisbah/margin LKBB penyalur dan para nasabah/debitur; kedua, untuk sementara meniadakan transaksi murabahah bil wakalah, karena transaksi wakalah menjadi sumber terjadinya riba dan ketidakjujuran; ketiga, apabila BLU PIP Kementerian Keuangan dan LKBB penyalur akan menerapkan pembiayaan Ultra Mikro syariah dengan menggunakan model transaksi mudharabah (akad pembiayaan mudharabah muqayyadah), maka wajib taat pada prinsip-prinsip syariah, yakni: nisbah dihitung dari pendapatan netto atau shahibul maal (pemilik dana) siap untuk menanggung kerugian atas modal yang diberikan. BLU PIP Kementerian Keuangan dan LKBB penyalur harus patuh dan taat terhadap prinsip-prinsip syariah yang diatur dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI sesuai dengan jenis transaksi pembiayaan yang dipilih. Adapun khusus LKBB penyalur, ia harus patuh dan taat terhadap prinsip-prinsip syariah yang diatur dalam peraturan OJK (No. 31/PJOK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah); keempat, apabila BLU PIP Kementerian Keuangan dan LKBB penyalur belum berani menanggung risiko atas transaksi mudharabah sesuai prinsip-prinsip syariah, maka dapat menerapkan transaksi murabahah sesuai prinsip-prinsip syariah atau menyalurkan pembiayaan Ultra Mikro syariah dengan cara kredit (pinjaman) tanpa bunga; kelima, pemerintah dapat mengembangkan/membentuk Koperasi Desa Syariah atau Lembaga Keuangan Masyarakat Syariah di setiap Kelurahan/Desa dengan dikolaborasikan kebijakan penyaluran Dana Desa/Dana Alokasi Khusus non Fisik; keenam, untuk klausul tujuan pembiayaan Ultra Mikro syariah, Kementerian Keuangan perlu merubah apa yang menjadi tujuan dari pembiayaan Ultra Mikro, yakni: dari “untuk menyediakan fasilitas pembiayaan yang mudah dan cepat bagi usaha Ultra Mikro serta menambah jumlah wirausaha yang difasilitasi oleh Pemerintah” menjadi “untuk menyediakan fasilitas pembiayaan yang mudah dan cepat bagi usaha Ultra Mikro serta menambah jumlah wirausaha yang difasilitasi oleh Pemerintah sesuai prinsip-prinsip syariah”. Juga perlu dirubah/disusun Peraturan Menteri Keuangan terkait Tarif Layanan Badan Layanan Umum Pusat Investasi Pemerintah pada Kementerian Keuangan sesuai prinsip-prinsip syariah; ketujuh, BLU PIP Kementerian Keuangan perlu membentuk Dewan Pengawas Syariah yang dapat memastikan semua transaksi pembiayaan Ultra Mikro syariah yang dijalankan sudah benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah; dan kedelapan, Dewan Pengawas Syariah pada setiap LKBB syariah agar memastikan semua transaksi pembiayaan Ultra Mikro syariah yang dijalankan sudah benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Melalui konsep kebijakan hukum pembiayaan usaha Ultra Mikro syariah yang bebas dari riba, yang selaras dengan perspektif maqashid syariah tersebut diharapkan para pebisnis ultra mikro akan betul-betul berhasil dalam bisnisnya dan perekonomian Indonesia akan meningkat tajam.

Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi.

Tulisan ini juga telah dimuat pada Media Massa:

https://koran.solopos.com/edition/halaman-02?date=2025-06-21

https://www.suaramerdeka.com/opini/0415344943/saatnya-pemerintah-indonesia-selamatkan-pebisnis-ultra-mikro-di-tengah-terpaan-badai-riba#google_vignette

Peta Situs   |  Email Kemenkeu   |   FAQ   |   Prasyarat   |   Hubungi Kami

 

 

 

 

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Djuanda I Lt. 9
Gedung Prijadi Praptosuhardo II Lt. 1 Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat 10710
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

IKUTI KAMI

 MEDIA SOSIAL KPPN SURAKARTA

 LAYANAN PENGADUAN

 HUBUNGI KAMI:

sippn

 

Search