Oleh: Kunto Aribowo, Kepala Seksi Pencairan Dana KPPN Bekasi
Tulisan ini bukan tentang olahraga, melainkan suatu tanggapan atas implementasi peran Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) sebagai Financial Advisor di daerah. Apakah kita sudah siap bergeser (shifting) jenis pekerjaan, yang sebelumnya banyak bersifat administratif menjadi pekerjaan dengan porsi yang lebih banyak berupa kajian/analisis?
Sebagai tindak lanjut arahan Direktur Jenderal Perbendaharaan dan Pimpinan Kementerian Keuangan dalam rangka transformasi dan reformasi kelembagaan pada DJPb, para pimpinan mengharapkan agar DJPb tidak hanya menjadi pengelola perbendaharaan yang tradisional, tetapi juga dapat menganalisis keuangan negara dan mampu berperan sebagai intellectual fiscal leader, Regional Chief Economist, sekaligus Financial Advisor (FA).
Peran DJPb dimaksud telah dilembagakan pada instansi vertikal DJPb melalui implementasi shadow organization sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor KEP-2/PB/2023 tentang Pembentukan Shadow Organization pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan Nomor KEP-3/PB/2023 tentang Pembentukan Shadow Organization pada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), sejak Januari 2023. Kemudian secara khusus untuk peran KPPN telah diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor KEP-32/PB/2024 tentang Program Penguatan Peran Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Selaku Financial Advisor.
Pada KEP-32/PB/2024 disebutkan tiga peran KPPN selaku Financial Advisor, yaitu sebagai Central Government Advisor (CGA), Special Mission, dan Local Government Advisor (LGA). Mitra kerja sekaligus objek kerja KPPN sebagai CGA adalah satker Kementerian Negara/Lembaga (K/L) lingkup wilayah kerja, mitra kerja utama KPPN sebagai pelaksana Special Mission adalah Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) sedangkan objeknya adalah UMKM, dan mitra kerja sekaligus objek FA sebagai LGA adalah Pemerintah Daerah lingkup wilayah kerja KPPN.
Atas peran baru tersebut, KPPN dituntut untuk lebih banyak menyumbangkan hasil analisis atas data yang tersedia baik dari internal DJPb melalui aplikasi OMSPAN, SAKTI, MONSAKTI, dan lainnya maupun data serta informasi dari eksternal, yaitu stakeholder KPPN antara lain satuan kerja (satker) K/L dan pemerintah daerah (Pemda) di wilayah kerjanya.
Untuk peran sebagai CGA, selama ini KPPN sudah sering berinteraksi dengan satker K/L pada pekerjaan sehari-hari. Maka peran tambahan KPPN sebagai CGA sepertinya hanya memerlukan sedikit peningkatan kompetensi dan informasi tambahan terkait pengelolaan keuangan satker K/L.
Sedangkan peran dalam Special Mission dan LGA, interaksi KPPN dengan mitra kerja maupun objek FA baru dilakukan beberapa tahun belakangan. Itu pun kewenangan KPPN hanya melakukan monitoring dan evaluasi atas penyaluran dana kepada mereka. Maka tulisan ini agar lebih fokus, dipersempit bahasannya kepada peran KPPN sebagai LGA saja.
Kompetensi Yang Dibutuhkan
Peran KPPN sebagai LGA tentu membutuhkan SDM yang berkompeten dalam mengolah dan menganalisis data. Meskipun data yang tersedia sudah dianggap memadai untuk membuat rekomendasi kebijakan, tetapi apabila SDM yang ditugaskan untuk mengolah data menjadi sebuah informasi belum mampu menganalisis dengan baik, maka informasi yang dihasilkan pun dapat menjadi tidak sesuai dengan kebutuhan. Kendala ini mungkin masih dihadapi oleh beberapa KPPN, karena secara umum pelatihan mengolah dan menganalisis data belum banyak diberikan kepada para pegawai KPPN. Hal ini menjadi tantangan bagi masing-masing KPPN untuk berlari mengejar ketertinggalan kompetensi dalam mengolah dan menganalisis data, sehingga nantinya peran sebagai Financial Advisor dapat terlaksana dengan lebih baik.
Sebenarnya masih ada kompetensi lainnya yang diperlukan dalam pelaksanaan peran Financial Advisor, yaitu kompetensi komunikasi. Para pegawai KPPN juga dituntut untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan. Hasil analisis data yang telah menjadi informasi sebagai bahan rekomendasi kebijakan perlu dikomunikasikan dengan baik, secara lisan misalnya melalui forum diskusi, sedangkan dalam bentuk tulisan misalnya laporan hasil analisis dan rekomendasi kebijakan pengelolaan keuangan. Sehingga mitra kerja KPPN dalam hal ini Pemda dapat memahami informasi yang disampaikan oleh KPPN sesuai maksud dan tujuannya.
Apakah setelah selesai mengatasi kedua kendala tersebut, yaitu kompetensi analisis data dan kompetensi komunikasi pelaksanaan Financial Advisor dapat berjalan efektif? Belum tentu, masih ada faktor lainnya yang perlu diperhatikan untuk terlaksananya peran ini secara efektif. Dua faktor dari beberapa faktor lainnya yang perlu diperhatikan untuk efektivitas pelaksanaan peran KPPN sebagai LGA yaitu sinergi antar-Eselon I Kementerian Keuangan dan dukungan payung hukum.
Sinergi antar Eselon I Kementerian Keuangan
Sebenarnya pelaksanaan peran LGA juga berkaitan dengan kompetensi yang dimiliki oleh para pegawai unit Eselon I Kementerian Keuangan selain DJPb yang diperlukan dalam hal pengelolaan keuangan Pemda. Misalnya dalam hal formulasi perhitungan dana transfer ke daerah, kompetensi ini lebih banyak dimiliki oleh para pegawai Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK). Kompetensi lainnya antara lain tentang administrasi pengelolaan hibah dalam negeri, banyak dimiliki oleh para pegawai Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR). Kompetensi terkait administrasi perpajakan lebih banyak dimiliki oleh para pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP), serta administrasi pengelolaan barang lebih banyak dimiliki oleh para pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).
Mungkin beberapa unit Eselon I Kementerian Keuangan lainnya juga ada yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan Pemda. Maka sinergi antarunit Eselon I Kementerian Keuangan, sebagai implementasi dari jargon “Kemenkeu Satu” mutlak diperlukan dalam pelaksanaan peran KPPN sebagai LGA.
Bagaimana bentuk sinergi antar Eselon I Kemenkeu dalam hal ini? Antara lain seperti yang selama ini sudah berjalan, yaitu penyediaan materi-materi tentang tugas dan fungsi masing-masing Eselon I Kemenkeu yang terkait dengan kompetensi Financial Advisor secara umum oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) dapat diakses dan dipelajari oleh seluruh pegawai Kemenkeu tanpa dibatasi dari eselon I mana pegawai tersebut berasal. Kemudian mungkin perlu dibuatkan materi yang fokus pada pembahasan kegiatan Financial Advisor, dengan narasumber lintas Eselon I Kemenkeu secara interaktif, sehingga ada umpan balik apabila ditemukan kendala di lapangan.
Sinergi lainnya yang dapat diimplementasikan dalam kegiatan Financial Advisor yaitu mengikutsertakan pegawai lintas Eselon I Kemenkeu dalam tim. Meskipun yang terjun langsung ke lapangan (Pemda) adalah para pegawai KPPN, tetapi setidaknya ada peluang partisipasi dan kontribusi dari pegawai unit Eselon I Kemenkeu selain DJPb yang dapat memberikan masukan apabila ditemukan kendala pengelolaan keuangan Pemda terkait kompetensi, tugas dan fungsi Eselon I Kemenkeu non DJPb.
Dukungan Payung Hukum
Efektivitas pelaksanaan peran Financial Advisor tidak dapat dilihat dari satu sisi. Kegiatan dalam rangka peran Financial Advisor minimal melibatkan dua pihak, yaitu KPPN dan mitra kerjanya sekaligus objek yang menjadi tujuan advisory-nya, yaitu Pemda. Apabila permasalahan di KPPN selesai, belum tentu pelaksanaan peran Financial Advisor oleh KPPN otomatis akan efektif. Kita juga perlu mempertimbangkan kendala yang muncul pada Pemda dalam pelaksanaan Financial Advisory.
Dalam Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor KEP-32/PB/2024 telah disebutkan dasar hukum pelaksanaan peran KPPN sebagai Financial Advisor antara lain Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah. Dua peraturan ini mengikat Pemda sebagai penerima dana transfer ke daerah, dan KPPN sebagai penyalur dana transfer ke daerah.
Kendala yang muncul saat ini, antara lain belum adanya payung hukum yang menjabarkan mekanisme peran KPPN sebagai Financial Advisor yang mengikat khususnya kepada Pemda. Dua peraturan yang disebut di atas yaitu UU Nomor 1 Tahun 2022 dan PP Nomor 37 Tahun 2023 masih mengatur secara umum hubungan antara Pemda dan Kementerian Keuangan. Akibatnya, kelancaran pelaksanaan kegiatan Financial Advisory lebih banyak tergantung pada kualitas komunikasi dan hubungan baik antara KPPN dan Pemda. Dari sisi Pemda belum ada ikatan hukum untuk menyampaikan data dan informasi kepada KPPN, serta tanggung jawab untuk menerima maupun menanggapi advis keuangan dari KPPN.
Pelaksanaan LGA yang efektif perlu didukung dengan peraturan yang mengikat kedua belah pihak yaitu KPPN dan Pemda. Apabila hierarki birokratis antara KPPN dan Pemda ditarik ke atas, akan bertemu birokrasi yang selevel yaitu Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri. Maka peraturan yang akan mengikat kedua belah pihak dalam pelaksanaan LGA sebaiknya merupakan hasil kolaborasi dari dua kementerian tersebut. Peraturan yang mengikat ini dapat berupa Peraturan Bersama dua kementerian, maupun peraturan yang lebih tinggi yang dapat mengikat kedua kementerian seperti halnya Peraturan Presiden.
Berlari Bersama
Implementasi penguatan peran KPPN sebagai LGA tidak hanya berfokus pada peningkatan kualitas kompetensi para pegawai KPPN saja. Perlu diperhatikan juga kendala yang muncul dari sisi stakeholder atau pihak-pihak yang berkaitan dengan peran KPPN sebagai LGA. Diharapkan dengan mengantisipasi kendala-kendala tersebut sejak dini, peran KPPN sebagai Financial Advisor sebagaimana diamanatkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor KEP-32/PB/2024 dapat terlaksana lebih efektif.
Jadi bukan hanya KPPN yang dituntut untuk berlari meningkatkan kompetensi dalam penguatan peran sebagai Financial Advisor, tetapi semua pihak yang seharusnya terlibat dalam peran ini juga perlu ikut berlari bersama untuk pengelolaan keuangan negara yang lebih baik.
“Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi”.