Rasanya kita semua mahfum kalau nama kota kita yang tercinta Mamuju sering diplesetkan dengan singkatan “Maju Mundur Jurang”. Aduhai! Mungkin karena kelokan-kelokan bersudut 90 derajat di sisi jurang dalam tak terperi menuju daerah ini membuat serta merta orang berpikir bahwa tepatlah bahwa maju atau mundur di sebagian ruas jalan menuju daerah ini identik dengan ancaman jurang menganga.
Demikianlah selalu muncul berbagai kreatifitas di tengah-tengah masyarakat dalam berbagai bentuk dari yang bernada sinis atau beraroma kritis hingga nyeleneh. Dalam ilmu foklor ungkapan-ungkapan sedemikian memang diyakini sebagai gambaran yang jika dirajut secara lebih luas dengan berbagai keadaan masyarakat akan mampu memberi rangkaian utuh suasana bathin dan pemikiran insan-insan penghuni bumi manusia. Bayangkan jika ungkapan “Maju Mundur Jurang” diperdengarkan kepada seseorang yang belum pernah menginjakkan kaki di Bumi Manakarra yang indah ini, maka paling tidak ungkapan sedemikian dapat memberi gambaran yang agak kurang ramah seolah-olah daerah ini berada di ujung bumi yang enggan digapai. Ungkapan itu cukup jitu memberi anggapan kepada seseorang yang paham tentang Mamuju seolah Mamuju bukan pilihan tempat yang memadai untuk merajut kehidupan yang bermartabat. Aduh!
Tentulah daerah ini masih punya beribu soal yang memerlukan jawaban. Semua pihak sadar kalau Mamuju masih berhadapan dengan tembok-tembok masalah yang menantikan tangan-tangan perkasa dan rindu untuk menghancurkan penghalang seraya mendirikan tugu-tugu kejayaan bernama kesejahteraan rakyat. Namun, bagi mata yang jeli, cukup sekilas pandang maka ia akan menyadari bahwa provinsi yang baru mekar ini menyimpan berjuta potensi yang hebat tiada terkira. Laut Mamuju dihuni oleh ikan-ikan berbagai jenis dan rumah bagi rumput laut nan subur. Daratan masih bertabur daun-daun hijau hutan dan perkebunan. Udara di sini masih sejuk ditingkahi semilir angin laut. Dan yang paling menentukan adalah letak geografis yang cantik di antara pulau Kalimantan di sebelah barat, kota-kota penting di selatan dan utara, daerah-daerah eksotis ke arah timur. Berdirilah di ketinggian ikon “Mamuju City”, maka segera sebuah rasa takjub melingkupimu seolah alam berbisik bahwa Mamuju sedang berbenah mengejar asa yang bernas. Sungguh tidak cocok bertajuk maju mundur jurang.
Usul! “Maju! Mutu! Laju!” mengeliminasi “maju mundur jurang” untuk Mamuju. “Maju! Mutu! Laju!” lebih positif dan tentu saja sebagai gambaran yang sebenarnya tentang daerah ini. Ibarat menahbiskan nama kepada seorang anak, tentulah selalu disertai doa dan harapan agar nama yang dipilih bersesuaian dengan kenyataan yang kelak diraih oleh anak terkasih, demikianlah Mamuju semoga berjaya. Malaqbi!
“Maju!” adalah ungkapan bermakna secara meyakinkan tampil di depan menyajikan kinerja terbaik. Performed! Seluruh rangkaian pembangunan sesungguhnya harus dimaknai sebagai pembangunan manusia. Itu sebabnya PBB dan BPS merilis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) setiap tahun yang menggambarkan kemampuan ekonomi, tingkat kesehatan, dan peringkat pendidikan sumber daya manusia di suatu daerah atau negara. Pada tahun 2015 (rilis 2016) tercatat IPM Indonesia sebesar 68,90 atau berada pada peringkat 113 dari 118 negara di dunia. Angka rata-rata nasional adalah 69,55 alias termasuk kategori sedang. Tentang peringkat IPM Provinsi Sulawesi Barat ternyata berbanding lurus saja, masih berada di sebelah belakang atau mencapai 69,96 yang mengalami pertumbuhan cukup berarti sebesar 1,17 persen dari tahun 2014. Hal ini tentunya berkaitan langsung dengan angka kemiskinan sebesar 11,74 persen yang masih melampaui angka kemiskinan rata-rata nasional sebesar 10,86. Bandingkan dengan IPM DI Yogjakarta sebesar 77,59 dana DKI Jakarta sebersar 78,99 atau termasuk kategori tinggi menuju sangat tinggi. Jika dibandingkan lagi dengan beberapa provinsi muda pun daerah ini masih berada di peringkat ujung.
Maju! Tak perlu berbasa-basi dengan angka-angka IPM itu. Jangan lagi rakyat terlalu lama dibiarkan mencari arah kesejahteraan. Kinerja sesungguhnya yang dipertontonkan pemerintah dengan seluruh sektor ekonomi yang bekerja di masyarakat daerah ini belum sepenuhnya menunjukkan kinerja optimal. Namun tak pula dapat diingkari bahwa daerah ini sudah banyak mengukir prestasi menawan. Meski IPM masih rendah, tetapi jangan lupa kalau angka IPM itu sudah bergerak amat signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. Catatan IPM pada tahun 2010 sebesar 59,74 menjadi 62,24 pada tahun 2015. Pada tahun 2015 IPM Provinsi Sulbar meningkat sebesar 0,72 yang lebih tinggi dari peningkatan IPM nasional sebesar 0,65. Peningkatan tersebut berada dalam jajaran 10 besar peningkatan IPM dari seluruh provinsi di Indonesia. Pembangunan yang pesat dapat kita cermati bahkan jika hanya melihat di permukaan saja. Bekas-bekas jalan dan jembatan sederhana mudah kita temukan telah berubah menjadi jalan yang lebar dan mulus di antara jembatan-jembatan yang megah. Gedung-gedung milik pemerintah dan masyarakat telah kokoh berdiri di sana-sini. Itu sebabnya banyak orang mulai melirik Mamuju dan bahkan sudah jamak yang memutuskan untuk melanjutkan untuk menetap tinggal di daerah ini. Seorang rekan yang baru saja menginjakkan kaki di kota Mamuju berujar, “Saya tidak menyangka daerah ini sudah ramai dan maju.” Atau simaklah pengakuan orang –orang yang pernah ke daerah ini beberapa tahun yang lalu kemudian datang kembali, semua secara sungguh-sungguh mengakui kemajuan Mamuju.
Prestasi lain yang tak kalah pentingnya adalah bahwa Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi dan beberapa Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten telah mencapai kasta tertinggi yaitu opini berlabel Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Paling tidak hal ini menunjukkan daerah ini telah mampu memberi pertanggungjawaban yang baik secara administratif. Namun, laporan tetaplah laporan. Perkara yang lebih utama adalah memberi bukti bahwa pelaksanaan anggaran negara dan daerah sudah berlangsung tertib. Segala catatan ini membuktikan bahwa daerah ini telah dan sedang menampilkan suatu kinerja yang baik. Maju!
“Mutu!” adalah ungkapan bernada pada sikap berbuat yang terbaik. Mutu, sesungguhnya tak usah ditawar, sebab ditawar pun harga akan selalu tetap. Jika mutu diturunkan, maka akan berdampak pada keseluruhan aspek kehidupan kita. Mari berhitung saja. Dana APBD seluruh kabupaten dan provinsi di daerah ini ditambah dana APBN yang dikucurkan dari pusat mencapai puluhan triliun. Sudahkah semua berada di jalur yang tepat atau tersesat di kesunyian yang tidak paham arah? Dana desa yang mencatat angka miliaran adakah bergaung membangunkan ekonomi perdesaaan atau menjadi senyap ditelan angkasa tak berbatas?
Mutu, harus kita rawat bersama. Masyarakat tidak bisa serta merta menyerahkan soal ini ke pemerintah semata. Dalam era keterbukaan sekarang, pintu-pintu yang menerima peran serta masyarakat senantiasa sudah dapat dimasuki oleh seluruh lapisan masyarakat. Dalam berbagai kesempatan Gubernur dan para Bupati kita mendengungkan agar seluruh pihak memberi keperdulian terhadap kemajuan bersama. Oleh karena itu tindakan-tindakan nyata dari hal sesederhana seperti tidak membuang sampah sembarangan hingga memberi usul pembangunan kepada kepada perangkat desa dan aparat pemerintah yang lebih tinggi hendaknya dapat berlangsung secara baik. Harap diingat, menemukan sumber penerimaan negara dan daerah untuk digunakan sebagai dana pembangunan bukanlah perkara sederhana. Rupiah demi rupiah dikumpulkan setiap hari dari sektor pajak dan bukan pajak, bahkan dalam banyak kasus kita harus mencari pinjaman ke luar negeri atau menjual surat utang negara. Itu sebabnya tanpa menyandingkan mutu pekerjaan dengan dengan jumlah kucuran uang negara sesungguhnya adalah penghianatan kepada rakyat sebagai pemilik republik ini. Mutu selalu menyangkut ketepatan sasaran program pembangunan dan keakuratan pelaksanaan suatu kegiatan pembangunan itu sendiri. Daripada mereklamasi pantai untuk pembanguan pusat perbelanjaan, bukankah lebih jika dana daerah dan pusat dipakai untuk pembenahan sektor kelautan atau pertanian berkelas ekspor? Daripada membangun kantor-kantor yang megah, bukankah efisiensi ruangan bisa diterapkan sehingga porsi dana pemberdayaan masyarakat bisa menjadi lebih besar? Daripada mengangkat tenaga honorer yang bermimpi jadi ASN, bukankah lebih pas jika mendorong kewirausahaan bagi generasi pemuda?
Mutu! Kita bukan saja membutuhkan program yang tepat, tetapi mestilah memastikan bahwa program pembangunan tersebut terlaksana secara utuh. Benar, kita butuh jembatan. Tetapi masih terjadi gorong-gorong rubuh persis ketika digunakan pertama sekali. Masih ada gedung pemerintah yang retak di sana-sini padahal masih dalam jangka waktu yang singkat. Mutu pembangunan tak akan pernah berkhianat jika proses pembangunan berlangsung dengan baik dari sejak perencanaan, pelaksanaan hingga pertanggungjawaban. Dari tahun 2006 sampai dengan 2015 daerah ini mencatat keajaiban pertumbuhan ekonomi di kisaran 6,42 sampai dengan 11,91 yang selalu di atas rata-rata nasional di kisaran 4,5 sampai dengan 6,32. Demikian juga dengan harapan hidup penduduk daerah ini bergerak dari 66,53 (2010) menjadi 68,90 (2014) bertengger di atas angka nasional. Angka kemiskinan juga menurun signifikan dari 19,03 (2007) menjadi 11,90 (2015). Bukankah semua ini menunjukkan daerah ini sudah menjaga mutu pembangunan secara baik?
“Laju!” adalah segala upaya untuk menjaga kecepatan pembangunan menggapai cita bersama bernama kesejahteraan. Setiap kecepatan membutuhkan tenaga yang sepadan. Jika kecepatan pembangunan daerah ini hendak ditingkatkan, maka segala jenis mesin pembangunan harus harus dikerahkan pada tingkat efisiensi yang maksimum. Justru di titik inilah soal sebenarnya, karena pembangunan yang sudah on the track pada tahun-tahun yang sudah berlalu menghadapi tantangan yang amat berbeda dengan keadaan mutakhir, demikian pula tantangan masa depan berbeda dengan hambatan masa kini. Saatnya menanggalkan segala hal yang membuat perangkat pembangunan tidak bisa bergerak normal. Wujud penghambat kelajuan pembangunan bisa terlihat dalam berbagai bentuk misalnya kompetensi aparat yang kurang memadai, perilaku korup yang masih masif, kemacetan koordinasi antar lembaga, dan sebagainya. Tentu ada saja alasan yang mengatakan bahwa daerah yang baru pemekaran wajar masih tertinggal. Tidak! Kita hidup di zaman yang memungkinkan segalanya mungkin hanya jika ada kemauan yang prima. Pembalap yang mahir tidak terlalu pusing memikirkan urutan titik start, tetapi lebih mendorong keteguhan semangat dan strategi untuk memenangkan perlombaan. Zaman ini telah memberi kita keleluasaan yang lebih dari cukup untuk mengejar ketertinggalan. Laut strategis ada di sini menantikan sentuhan tangan-tangan yang rajin dan tidak enggan basah kuyup, daratan luas menunggu otot-otot tangguh untuk membalikkan bongkahan tanah agar menjadi gembur menumbuhkan tunas harapan, jumlah penduduk jutaan amat cukup mengerjakan semua ini.
Ujian utama bagi suatu laju pembangunan bukan saja tentang pertumbuhan ekonomi saja, tetapi mari cermat melihat pemerataan pembangunan yang dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk yang diukur atau Gini Ratio di Provinsi Sulbar yang ternyata relatif stagnan sebesar 0,37 (2011) hanya menjadi sebesar 0,36 (2015),sebesar 0,37 (2015), dan sebesar 0,36 (2017). Meski angka ini masih di bawah angka nasional sebesar 0,41 (2013), tetapi stagnansi selalu bermakna kemunduran. Pemerataan pembangunan membutuhkan suatu road map jangka panjang. Benarlah pepatah Afrika, “Jika ingin berjalan cepat pergilah sendiri, jika ingin pergi jauh berjalanlah bersama-sama.” Ya, pembnagunan adalah sebuah perjalanan panjang bukan jalur yang pendek. Sinergi antar lembaga pemerintah dan seluruh unsur masyarakat memerlukan penguatan secara terus-menerus. Ego kedaerahan yang menyesakkan mesti pupus. Sudah bukan rahasia lagi jika kepala daerah berasal dari suatu daerah maka kebanyakan aparat di sekelilingnya menjadi rombongan sekampung halaman bahkan pembangunan kerap menunjukkan kiblat ke kampung Sang Bos! Pemerataan yang macet menunjukkan bahwa sektor perekonomian hanya bertumbuh pada kalangan tertentu yang sukar disentuh oleh kalangan kebanyakan masyarakat. Pembangunan sedemikan hanya akan berhasil mengumpulkan sumber daya berpusaran pada segelintir kalangan pemilik faktor produksi yang semakin bertumpuk seraya akan terbangunlah tembok penghalang bagi kalangan lemah untuk masuk ke area itu bahkan jika hanya ingin mencicip percikan pun menjadi mustahil. Pembangunan sedemikian membuat yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Goncangan gempa ekonomi berskala kecil saja, dengan struktur yang tidak merata seperti ini ekonomi kita sudah pasti ambruk sebab hanya ditopang oleh sedikit kaki-kaki gemuk yang rentan terluka. Akan berbeda jika kaki-kaki penopang itu berjumlah banyak meski tidak berukuran terlalu besar, namun resultante kekuatan sedemikian mampu menopang perekonomian menjadi kokoh tegak. Harap diingat ketimpangan ekonomi selalu berdampak luas secara sosial dan politik. Terlalu banyak contoh suatu negara gagal kerap disebabkan oleh krisis ekonomi sebagai buah pemerataan yang kurang diperdulikan. Para kepala daerah akan mendapat legitimasi sejati yang kuat dari rakyatnya jika seluruh rakyat terlayani secara baik, bukan legitimasi keropos karena akal-akalan bagi-bagi uang ketika pilkada atau legitimasi tipu-tipu akal bulus yang menggunakan isu-isu murahan untuk menjatuhkan lawan politik.
Tidak bisa tidak, dana desa untuk daerah ini sebesar 363 miliar rupiah pada tahun 2016 dan sebesar 461 miliar rupiah pada tahun 2017 adalah sebagai upaya menjaga stamina dalam perjalanan panjang ini yaitu mendorong pemerataan pembangunan dan ekonomi. Jika ekonomi perdesaan berhasil bangkit secara meyakinkan, maka ekonomi nasional sebagai suatu bangsa akan menjadi kokoh pula. Kebutuhan dasar, sarana dan prasarana desa, ekonomi lokal desa, dan sumber daya alam desa adalah bidang-bidang yang menjadi sasaran pemberdayaan dana desa. Ini sebuah kesempatan yang hanya akan dibuang oleh orang pandir. Desa yang kerap menjadi tertuduh sebagai dalang angka-angka tinggi Gini Ratio kini diberi kesempatan menggeliat untuk mengefektifkan segala potensi seraya melepaskan diri dari dakwaan ketertinggalan. Itu dapat terjadi dan harus terjadi! Jika tidak demikian, kita semua akan terhenti kelelahan dan terancam binasa dalam perjalanan panjang ini. Saatnya semua pihak bahu membahu mendukung pemerataan pembangunan, bukan malah saling menjegal. Malaqbi, kata yang penuh makna ini terus bergaung sebagai pernyataan cita-cita bersama meraih kesejahteraan rakyat. Mamuju! Maju! Mutu! Laju! (oleh : Saor Silitonga, Kepala KPPN Mamuju)