Kota ini membentang seluas tiga belas ribu mil dan dibelah oleh segaris teluk cantik bernama teluk Ambon. Teluk yang memisahkan kota menjadi dua semenanjung: semenanjung Tenggara yang kecil yang disebut Leitimur, dan semenanjung Utara yang besar bernama Leihitu atau Hitoe. Di kaki semenanjung Leihitu itulah saat ini Aku berada.
Aku tiba di sini baru sepekan yang lalu. Setelah menyeberang samudera dan melintasi pulau-pulau kecil di perairan Kalimantan. Pesawat yang kutumpangi mengajak transit sejenak di bandara Makasar sebelum kembali bertolak menuju pulau tujuan.
Ketika dari kejauhan tampak sebuah pulau yang masih samar dengan barisan pegunungan, darahku berdesir oleh gejolak yang tak bisa kulukiskan. Rasa-rasanya Aku ingin meloncat saja dari pesawat dan terbang dengan sepasang tanganku. Tiba-tiba pesawat yang bergerak dengan kecepatan satu mil per jam ini menjadi terlalu lambat untukku.
Menurut literatur yang pernah kubaca, kepulauan Maluku telah terbentuk sekitar 150 juta tahun yang lalu. Penduduk aslinya telah berdagang rempah-rempah dengan para pedagang Asia dari luar sejak 1300 tahun yang lalu. Ketika Islam masuk, sistem kesultanan pun terbentuk. Kerajaan demi kerajaan Islam pun bermunculan dan mengganti sistem politik menjadi lebih terstruktur serta mempermudah penduduknya dalam melakukan hubungan luar negeri. Bangunan-bangunan yang tersisa dari masa-masa itu hingga kini masih dapat dikunjungi. Mungkin inilah yang membuat Maluku dijuluki “Negeri Para Raja”. Kerajaan-kerajaan itu bahkan tetap bertahan beberapa periode setelah Portugis dan Spanyol datang.
Begitu banyaknya suku bangsa yang merapatkan bahteranya di bibir pantai pulau ini, maka tak heran memengaruhi ke-heterogenan penduduk Maluku. Semua itu terpahat jelas pada wajah-wajah yang menyambutku setiba di bandara Pattimura. Alis tebal, mata lebar berkelopak dan hidung mancung yang khas. Sekilas mirip dengan bangsa Timur Tengah daerah Sudan atau Gujarat.
Aku dan kawan senasibku, Evelyn, dijemput secara ‘terhormat’ oleh dua orang pegawai PPNPN yang kami panggil Bang Sammuel dan Bang Manches. Untuk pertamakalinya Aku merasa begitu disambut karena diantar dari bandara sampai kos (yang sudah ku-booking beberapa pekan sebelum berangkat). Padahal jarak antara bandara ke kosku di dekat kampus STAIN, Kebun Cengkeh, memakan waktu lebih dari satu jam. Jarak itu menjadi tak terasa karena pemandangan yang tersuguh sungguh memanjakan mata.
Kupikir Kota Ambon sebelas dua belas dengan kota-kota besar di Jawa seperti Jogja, Solo, Malang atau Semarang, dengan kereta api dan bis lintas provinsi yang hilir-mudik setiap hari. Ternyata Aku salah. Kota Ambon justru lebih mirip dengan kota masa kecilku, Pacitan, yang dikelilingi lautan dan pegunungan. Tidak ada kereta api, bahkan bis pun, hingga detik ini Aku belum menemukan. Jalur daratnya melingkar-lingkar seperti tebing-tebing dalam cerita pencak-silat S.H. Mitardja. Jalanan dipenuhi angkot warna hijau dan merah yang bergerak ke sana ke mari bagai tiada henti. Besoknya, Aku akan tahu bahwa angkot-angkot itu mampu mencapai semua tempat. Dan pada hari-hari selanjutnya Aku mulai bisa menghafal tiga jenis angkot yang akan mengantar-jemput Aku ke kantor.
Aku masuk kantor untuk benar-benar bekerja dan belajar pada hari Rabu, tanggal 30 September 2020. Hari Senin, kami cuma rapid test lalu pulang. Hari Selasa, kami diberi brefing khusus oleh Bapak Kepala Kanwil dan Bapak Kepala Bidang SKKI. Seharusnya ada Bapak Kepala Bagian Umum, namun karena sepulang dari perjadin ke Tual beberapa waktu yang lalu beliau dinyatakan reaktif, maka sementara, beliau digantikan oleh Kepala Bidang SKKI. Mungkin ini juga yang menyebabkan kami harus tes rapid lagi meski dari bandara kami membawa hasil rapid test yang belum genap seminggu dikeluarkan. Di lengan kananku pun sudah terpampang nyata dua bekas tusukan yang masih lebam sebelum bekas itu bertambah jadi tiga. Untunglah sepekan kemudian tiga-tiganya menghilang seperti jurus.
Didorong oleh gairah dan semangat yang meluap-luap, pada hari Rabu Aku tiba di kantor pukul tujuh pagi, yang ternyata setara dengan pukul lima bakda Shubuh di pulau Jawa. Memang langitnya masih agak gelap, dan baru ada tiga pegawai PPNPN yang datang, salah satunya security. Aku berdebar-debar karena ini adalah hari pertamaku mengabdi.
Sepeminuman teh kemudian, Bapak Kepala Bidang SKKI, Pak Tukima, yang sekaligus akan menjadi atasan langsungku hingga waktu yang tidak bisa ditentukan (ehe), datang dengan jaket warna hijau-abu. Jaket yang ternyata menjadi personality-branding beliau di kemudian hari. Karena tidak kutemukan lagi orang di kantor ini yang warna dan bentuk jaketnya seperti itu.
Pagi ini, beliau menjadi orang kelima yang datang paling awal setelah bapak-bapak PPNPN tadi dan saya (ehe). Setidaknya Aku jadi tahu, bahwa Pak Tukima tidak main-main dengan kedisiplinan. Bahkan beliau telah ‘turun langsung’ menjadi teladan, meski tidak dilihat siapapun. Ketika Aku menghadap beliau di hari pertama masuk, Aku mendapat tambahan informasi bahwa ternyata beliau pulang-pergi kantor memakai motor. Itupun motor warisan dari penghuni rumah dinas sebelumnya di Kebun Cengkeh. Meskipun Pak Tukima bisa saja menuntut hak beliau untuk mendapatkan mobil dinas, namun beliau memilih untuk trimo ing pandum dan mengambil life-style yang lebih bersahaja.
Di bawah cendawan pandemi yang cukup merepotkan, beliau harus menggantikan sebagian tugas Kepala Bagian Umum yang tidak bisa di-remote dari rumah. Struktur SDM di kantor pun banyak yang bergeser. Yang paling tampak di mataku adalah tugas Pak Jimmy Pattar, Kepala Seksi KI yang merupakan atasan langsung (yang paling langsung dari siapapun, hehe). Pak Jimmy meng-handle tugas tiga kepala seksi sekaligus di bidang SKKI, karena dua kasi lainnya reaktif dan harus isolasi mandiri. Sungguh keren, Pak Jimmy dapat membawa organisasinya tetap berjalan dan menyelesaikan tugas demi tugas tanpa keluhan. Bahkan, dalam situasi hectic semacam itu, beliau masih sempat mengembangkan inovasi yang mempermudah distribusi pelaksanaan tugas, yakni dengan menggunakan google-spreadsheet. Yang menarik bukan objek g-spreadsheet itu sendiri, melainkan penempatannya dan kampanye beliau kepada ibu-ibu pegawai yang usianya jauh di atas beliau (angkatan 1964). Jelas hal ini memerlukan kesabaran yang tidak mudah.
Dari seluruh pegawai yang ditempatkan di seksi KI, hanya Aku dan Kak Fitri yang lahir di era 80-an ke atas, atau bahasa Pak Jimmy: ‘millenial’. Yang lainnya adalah angkatan ‘kolonial’ yang akan pensiun dua atau tiga tahun lagi.
Ketika Aku melihat semua ini, perlahan tanda tanya besar yang melingkar-lingkar di langit pikiranku terjawab. Apa yang menungguku di sini? Pertanyaan yang tidak perlu dijawab dengan kata-kata, tapi cukup dengan kerja.
Bismillahi tawakaltu ‘alallah..! Maluku, aku siaappp..!
PENULIS:
Nama Lengkap : Amalia
Unit Kerja : Kantor Wilayah DJPb Provinsi Maluku
“Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi dan tidak mewakili pandangan organisasi”.