WFH dan WFO

Ruangan itu berukuran 10x12 meter, dipenuhi oleh kursi-kursi kuning beroda yang takkan pernah kulupa, serta empat meja kayu panjang yang ditata melingkar. Sisi utara ruangan adalah podium, yang di sebelah kanannya terdapat space khusus untuk operator zoom dan sebuah layar proyektor yang cukup besar. Di meja operator zoom itu, terdapat sebuah mikrofon kecil dan jenjang dengan tinggi dua inci, yang sedari tadi digerak-gerakkan oleh seorang pemuda bermata sipit. Pemuda bermata sipit itu adalah Ketua Magangku. Kami biasa menyebut magang sebagai OJT atau On The Job Training.

Aku masih menjalani peranku sebagai salah satu siswa magang ketika cerita ini terjadi. Tepatnya, ini adalah magang terakhir dan terlama sebelum penempatan definitif. Terlama dibandingkan seluruh sejarah magangku, dan terlama dibandingkan durasi magang angkatan sebelumku, ya, harus diakui semua itu adalah karena adanya pandemi yang sejak 2019 kemarin melanda dunia.

Sepeminuman teh kemudian, kursi-kursi kuning yang berserakan mengelilingi empat meja kayu melingkar tadi satu per satu mulai terisi. Di sudut yang absurd, beberapa orang anak muda duduk berdekatan dan saling bercanda sebari menanti semua orang lengkap. Wajah mereka menyiratkan kegembiraan yang alami meski lingkaran hitam di mata tak bisa bersembunyi. Senyum mereka pun tak malu-malu walau gurat-gurat lelah bertengger di wajah. Aku tahu siapa mereka. Mereka berada di kubu pertama, kubu orang-orang yang seminggu full masuk kantor atau WFO (Work From Office).

Di sudut yang lain, Aku dan beberapa orang teman yang berada di kubu #dirumahaja atau WFH (Work From Home) bagai sepakat memutuskan untuk membisu. Namanya saja WFH, tapi sebenarnya sebagian besar dari kami tidak membantu pekerjaan kantor sama sekali. Penugasan memang ada, tapi itu lebih kepada pengembangan diri mandiri. Kutundukkan kepalaku agar wajahku tak terlalu tampak ngilu.

Setelah menghitung jumlah kami yang lengkap dua puluh sembilan orang, ketua OJT-ku membuka pertemuan hari itu. Anak-anak yang tadi berbincang dengan girangnya, kini mengalihkan perhatian sempurna ke depan.

“Terima kasih, teman-teman telah meluangkan waktu untuk datang di tengah kesibukan dan mungkin juga ada yang rumahnya jauh. Dan terkhusus untuk teman-teman yang selama beberapa bulan ini sudah bersedia WFO, aku ucapkan terimakasih sekali. Aku minta maaf karena tidak bisa turun langsung mendampingi kalian.”

Jeda sejenak. Raut bersalah menyelinap di wajah ketuaku selama beberapa saat. Kemudian dia mengalihkan pandangan pada kami, kubu WFH.

“Teman-teman yang dapat jadwal WFH, kalian merasa bersalah, nggak? Kalau pernah dengar seminarnya Bapak Ippho Santosa tentang konsep gaji, kalian pasti bakal bertanya-tanya, gajiku ini sebenarnya halal apa nggak? Ingat, pada saat kita lagi santai-santai di kosan dan gabut, teman-teman kita ini ada yang full seminggu WFO ke kantor, berangkat dari jam tujuh pagi dan baru pulang di atas jam enam hanya karena tempat tinggal mereka dekat kantor. Bayangkan betapa capeknya, betapa sibuknya mereka karena jumlah pegawai yang masuk kantor juga tidak sebanyak sebelum PSBB. Pegawai juga ada jadwal WFH-WFO yang digilir. Hanya lima puluh persen pegawai yang boleh masuk setiap harinya. Bayangkan teman-teman kita ini harus meng-handle banyak pekerjaan sekaligus, padahal gaji mereka sama dengan kita.”

Aku dan tim WFH tak kuasa mengangkat kepala. Ketua OJT-ku melanjutkan kata-katanya.

“Insyaallah mulai tanggal lima nanti, kita semua akan full masuk kantor secara bergilir. Jadi akan dibuatkan jadwal WFH-WFO juga seperti pegawai. Untuk teman-teman yang rumah atau kosnya masih di luar Bekasi, tolong, tolong banget untuk mencari tempat tinggal yang dekat kantor. Jangan karena Jakarta PSBB dan zona merah jadi alasan buat teman-teman nggak masuk. Malu sama gaji!” tegas Ketua OJT-ku.

Aku menggigit bibir. Benar sekali, kata batinku. Selama ini Aku memang merasa agak enggan pindah kos karena harus mengangkut barang-barang yang cukup banyak dari kosan lama. Aku adalah tipe orang yang tidak terlalu suka pindah-pindah tempat tinggal. Kosku dari sejak magang pertama di Jakarta VI tidak pernah berpindah sampai sekarang. Sebelum PSBB, Aku memang harus berjuang pagi-pagi sekali mengejar KRL Jakarta-Bekasi untuk sampai di kantor. Tapi sekarang tidak bisa begitu. Pegawai di KPPN Bekasi kebanyakan sudah lima puluh tahun ke atas. Selama di KRL, meskipun semua orang mematuhi physical-distancing, tetap saja risiko naik kendaraan umum itu besar untuk terpapar.   

Setelah pertemuan itu ditutup, dari sudut yang absurd, Aku mendengar namaku dipanggil.

“Oey, Li, yukk, kos bareng kita ajaa..!” suara Imam—tim WFO.

Aku tersipu. “Eh, ada yang kosong emang, di tempat kalian?”

“Ada, laahh.. BKT emang pernah penuh?”

“Eum, Aku juga pengen cepat-cepat pindahan gitu. Tapi barangku banyak banget. Masih mikirin cara boyongannya gimana.”

“Alaa, gampang. Masukin kardus aja. Ntar kita bantu angkut sampai kosan.”

“Ehh, seriuss?”

“Serius, lahh. Masa dua rius sih? Haha.”

Aku tertawa. Mereka baik sekali. Ada rasa haru yang menyesak dalam dada. Aku sampai tidak tahu harus berterimakasih dengan cara apa. Yang jelas, mulai tanggal lima nanti, Aku mau menebus rasa bersalahku dengan mempersembahkan dedikasi terbaik. Kalau memang harus pulang pukul tujuh malam, oke, asal target kantor terpenuhi. Bukan workaholic, tapi seperti kata Ketua OJT-ku: ”Malu sama gaji!” .

Sebulan setelahnya, kami kembali dikumpulkan. Di ruangan yang sama. 10 x 12 meter luasnya. Lengkap dengan kursi-kursi kuning beroda yang mengelilingi empat meja kayu melingkar; serta sebuah podium pada sisi utara. Hari itu adalah pelepasan siswa-siswi OJT untuk menuju penempatan definitif. Sepasang mataku merekam dengan jeli, Pak Pri, Kepala Seksi Pencairan Dana dan Ibu-ibu pegawai di sana berkaca-kaca.

“Ini adalah pertama kalinya saya mempunyai anggota tim yang etos kerjanya luar biasa. Tidak pernah menolak ketika diperintah atau dimintai tolong. Saya hanya berpesan, Adik-adik OJT ini tolong pertahankan etos kerja kalian, karena kalian sudah luar biasa. Terlebih kalian yang mendapat penempatan di KPPN A2 yang jumlah pegawainya mungkin tidak banyak, kalian pasti akan banyak diminta maju ke depan. Sekali lagi pesan Saya, pertahankan kerja keras kalian selama ini,” kata Pak Pri.

Kami, dua puluh sembilan anak-anak OJT, di penghujung waktu akhirnya bersalaman, berpelukan, bertangisan dengan para pegawai di KPPN Bekasi. Berat sekali rasanya harus meninggalkan Bekasi dengan orang-orangnya yang sudah seperti keluarga, bahkan terkadang lebih lagi. Bekasi bagi kami adalah ruang untuk belajar dan bersaudara sekaligus.

Sekarang, saatnya kami untuk terbang dan mengangkasa. Saatnya untuk mengarungi nusantara dengan sepasang sayap yang lebih nyata. Tentu saja, kata-kata Pak Pri akan selalu kami tancapkan dalam hati: “Pertahankan etos kerja kalian …!”

Siaapp, Paakk…!

 

PENULIS:

Nama Lengkap                        : Amalia

Unit Kerja                               : Kantor Wilayah DJPb Provinsi Maluku

“Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi dan tidak mewakili pandangan organisasi”.

 

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Prijadi Praptosuhardjo II Lt. 1
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat 10710
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

   

 

IKUTI KAMI

 

PENGADUAN

 

Search

Kantor Wilayah Provinsi, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) 

(Daftar Kantor Vertikal DJPb Selengkapnya ..)