Oleh Muhammad Naufal Fadhlurahman, KPPN Kotamobagu
Di tengah kemajuan teknologi finansial dan perbankan, edukasi dan literasi terkait keuangan sangatlah penting dan menjadi aspek yang sangat krusial bagi masyarakat agar tidak tertinggal dengan perkembangan zaman. Literasi keuangan merupakan jendela menuju keuangan yang inklusif. Berdasarkan Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2022 yang diselenggarakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 49,68%. Persentase tersebut meningkat dibandingkan dengan tahun 2019 yang sebesar 38,03%. Peningkatan tersebut menjadi indikasi tingkat inklusi keuangan yang makin tinggi. Inklusivitas keuangan yang tinggi pada suatu negara dapat menciptakan efisiensi ekonomi serta dapat mendukung stabilitas sistem keuangan nasional.
Terdapat data yang menarik perhatian pada SNKI tahun 2022 yakni indeks literasi keuangan laki-laki lebih rendah dibandingkan dengan perempuan, tetapi indeks inklusi keuangan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Indeks literasi keuangan laki-laki sebesar 49,05% dengan indeks inklusi keuangan sebesar 86.28%. Indeks literasi keuangan perempuan sebesar 50,33% dengan indeks inklusi keuangan sebesar 83,88%.
Makin tinggi indeks literasi keuangan seharusnya selaras dengan inklusi keuangan yang makin tinggi pula. Lantas apa yang membuat inklusi keuangan perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki? Hal ini ternyata disebabkan fasilitas dan akses keuangan yang belum maksimal bagi perempuan. Misalnya, kepemilikan rekening bank oleh perempuan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki serta kepemilikan aset atas nama perempuan yang relatif lebih rendah dibandingkan laki-laki. Kepemilikan rekening yang lebih rendah disebabkan mayoritas keluarga di Indonesia menganut single income yang berasal dari suami yang bekerja sehingga dirasa perempuan tidak membutuhkan rekening karena sudah ada rekening suami. Kepemilikan aset atas nama perempuan yang
lebih rendah membuat sebagian dari perempuan tidak memiliki akses bagi pembiayaan tertentu.
Permasalahan utama yang menjadi tantangan adalah bagaimana cara meningkatkan literasi keuangan laki-laki serta meningkatkan inklusi keuangan bagi perempuan. Tentunya edukasi menjadi penting, perbaikan pola pikir masyarakat menjadi hal yang bersifat esensial dalam mewujudkan kondisi ideal tersebut. Laki-laki dan perempuan harus saling bersinergi dan berbagi peran dengan jelas dan setara dalam mewujudkan inklusi keuangan.
Perubahan besar dimulai dari langkah yang kecil, tetapi mendetail dan terukur. Hal tersebut dapat dimulai dari kelompok terkecil dan menjadi permulaan bagi tumbuh kembang manusia, yakni keluarga. Diharapkan meningkatnya jumlah keluarga dengan kondisi keuangan yang inklusif dapat memberikan dampak positif yang signifikan terhadap kondisi keuangan dan perekonomian negara.
Rendahnya tingkat inklusi keuangan wanita seperti kepemilikan aset serta rekening tentu menjadi problematika dalam hal keuangan pada kebanyakan keluarga di Indonesia. Suami maupun istri sekurang-kurangnya memiliki rekening masing-masing dan rekening bersama sehingga baik suami dan istri memiliki wewenang yang setara dalam pengelolaan keuangan keluarga serta pos-pos keuangan menjadi lebih akurat dan jelas peruntukannya. Kepemilikan aset bagi perempuan juga menjadi hal penting agar perempuan menjadi pribadi yang berdikari sehingga apabila terjadi hal-hal insidentil, perempuan dapat bertahan dan menyelesaikan permasalahan finansialnya sendiri.
Laki-laki sebagai suami juga harus lebih teredukasi dengan menyadari bahwa perempuan memiliki hak yang sama dan setara dalam hal keuangan. Pengekangan dan pembatasan akses keuangan bagi perempuan justru menjadi bentuk pengerdilan perempuan dan manifestasi egoisme laki-laki sebagai kepala keluarga.
Mewujudkan keuangan keluarga yang inklusif tidak berarti menjurus kepada mengunggulkan/merendahkan salah satu pihak seperti suami harus
mengizinkan istrinya bekerja di kantor atau laki-laki tidak boleh memiliki aset, tetapi lebih kepada kompromi dan saling memahami bahwa sebagai dua insan yang membentuk bahtera rumah tangga, seharusnya laki-laki dan perempuan saling bersinergi menuju tujuan yang sama, bukan saling mengunggulkan diri sendiri dan merasa lebih hebat daripada pasangan atau tidak membutuhkan bantuan pasangan.
Ada berbagai macam bentuk kerja sama antara suami dan istri yang dapat dilakukan dalam mewujudkan keuangan keluarga yang inklusif, di antaranya adalah perencanaan dan penganggaran keluarga serta kejelasan peran dan tugas dalam mengatur keuangan keluarga. Perencanaan dan penganggaran keluarga adalah skema keuangan dan porsi anggaran yang disepakati bersama oleh suami dan istri dalam berumah tangga.
Perencanaan dapat dilakukan dengan membuat milestones yang jelas dan terperinci terkait target apa saja yang ingin dicapai bersama. Target-target tersebut kemudian dirincikan besar kebutuhan anggarannya, dengan pemenuhan target yang disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga. Target-target yang bersifat mandatory dan mendesak harus diutamakan pemenuhan anggarannya. Kemudian kejelasan peran dan tugas dalam pengelolaan keuangan berumah tangga juga sangat penting guna merealisasikan perencanaan dan penganggaran yang telah dibuat dan disepakati.
Kejelasan peran juga dapat mencegah terjadinya cekcok yang disebabkan oleh egoisme masing-masing. Peran yang diemban sekurang-kurangnya ada dua, yakni pengguna anggaran dan bendahara umum keluarga. Layaknya pemerintahan, pengguna anggaran dan bendahara memiliki tugas yang berbeda, tetapi saling terkait. Pengguna anggaran pada keluarga yakni sebagai nakhoda dan pembuat keputusan dalam terealisasinya anggaran keluarga. Bendahara umum keluarga bertugas melakukan pembukuan dan pencatatan arus kas keluarga.
Tentunya siapa yang mengambil peran pengguna anggaran dan bendahara umum keluarga ini dikembalikan kepada keluarga masing-masing. Berbagai upaya yang dilakukan ini pada intinya adalah mengarahkan untuk saling berkomitmen menjaga agar keuangan keluarga tetap dalam kondisi sehat sehingga terhindar dari masalah-masalah seperti ancaman kemiskinan dan tidak memiliki dana darurat.
Bagaimana peran pemerintah dalam mewujudkan kondisi keuangan keluarga yang inklusif? Peran pemerintah dapat dilakukan pada tahap sebelum menikah dan setelah menikah, baik secara literasi maupun akses keuangan. Pemerintah dapat memasukkan materi terkait pengelolaan keuangan keluarga secara komprehensif dan terperinci pada bimbingan pranikah.
Pemerintah juga dapat memberikan pendanaan dengan berbagai skema pembiayaan bagi masyarakat untuk membangun usaha sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kemandirian masyarakat. Edukasi dan pendanaan harus berjalan seiringan karena pendanaan tanpa edukasi hanya membuat masyarakat menjadi makin bergantung pada bantuan pemerintah, sedangkan edukasi tanpa pendanaan hanya menjadi teori tanpa praktik. Menjawab tantangan perkembangan teknologi dan informasi, pemerintah juga dapat memberikan fasilitas konsultasi finansial keluarga secara daring bagi masyarakat sebagai bentuk upaya mewujudkan inklusivitas keuangan nasional.
Indonesia direncanakan akan memasuki masa kejayaannya pada usia 100 tahun, yakni pada tahun 2045. Namun, berbagai risiko menghantui. Salah satunya, kualitas SDM usia muda masih harus terus ditingkatkan. Bagai pisau bermata dua, ledakan pertumbuhan masyarakat usia muda di Indonesia dapat menjadi potensi menuju Indonesia emas, tetapi bisa menjadi ancaman yang dapat mengganggu stabilitas nasional.
Indonesia Emas 2045 dapat diwujudkan dengan menyukseskan keuangan level keluarga yang inklusif. Salah satu manfaat keuangan keluarga yang inklusif adalah menjauhkan keluarga dari kondisi kemiskinan. Keuangan keluarga yang sehat dan terhindar dari risiko kemiskinan tentunya dapat berdampak pada stabilitas keuangan nasional.
Kondisi keuangan keluarga yang sehat secara merata dalam skala nasional dapat menurunkan tingkat kemiskinan yang menjadi sumber dari banyak problematika masyarakat seperti tindak kejahatan dan pengangguran. Keuangan keluarga yang inklusif dapat membawa kepada kesejahteraan, yang dapat menjadi indikasi bahwa generasi-generasi selanjutnya dapat mengenyam kualitas pendidikan yang lebih baik. Kualitas pendidikan yang lebih baik menjadi salah satu indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang lebih baik pula.
IPM yang tinggi menjadi modal besar bagi Indonesia dalam mewujudkan Indonesia Emas di tahun 2045.
Surplus generasi muda yang tidak diiringi dengan kualitas SDM yang baik dapat menjadi buah simalakama bagi Indonesia. Maka dari itu, mewujudkan kondisi keuangan keluarga yang inklusif dapat menjadi langkah kecil yang berdampak besar. Ini merupakan cara yang ampuh dan berkelanjutan dalam menciptakan generasi muda Indonesia dengan kualitas yang unggul dan siap membawa Indonesia menuju masa kejayaannya di tahun 2045.
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi.