O P I N I

Disclaimer: “Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan instansi/organisasi manapun.

Otonomi dan Kemerdekaan Finansial Daerah

Oleh Havez Annamir (Kanwil DJPb Provinsi Bengkulu)

 

Desentralisasi adalah konsep yang mengacu pada pemberian kewenangan kepada daerah atau wilayah dalam mengatur urusan pemerintahannya sendiri. Dalam buku yang berjudul “Economist” Prof. Paul Smoke melihat otonomi daerah sebagai mekanisme yang dapat merangsang pertumbuhan ekonomi dan pengembangan daerah. Menurutnya, dengan memberikan kekuasaan dan tanggung jawab kepada pemerintah daerah, otonomi menyediakan peluang pemanfaatan sumber daya lokal secara lebih efisien dan mendorong investasi di tingkat regional. Dengan memiliki kendali atas sumber daya dan potensi wilayahnya, pemerintah daerah dapat merancang kebijakan yang lebih sesuai dengan karakteristik ekonomi dan peluang yang ada. 

Penulis meyakini Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai titik awal daerah mendapat kewenangan lebih besar untuk mengelola urusan pemerintahan dan pembangunan sesuai dengan karakteristik lokal. Dalam perkembangannya, penulis ingin menyampaikan pendapat tentang bagaimana regulasi telah mendorong otonomi ke arah yang makin baik, dan lebih lanjut akan berfokus dalam hal pengelolaan fiskal. 

Kemerdekaan Fiskal Daerah

Semangat kemerdekaan adalah semangat merdeka secara finansial. Sebagai bagian integral dari otonomi daerah, pengelolaan fiskal memainkan peran sentral dalam mendorong pembangunan berkelanjutan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sumber pendapatan daerah dalam APBD terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, serta Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Dari keempat jenis pendapatan daerah tersebut, hanya PAD yang berada di dalam kendali Pemerintah Daerah. Peran tersebut telah didukung oleh pemerintah ketika mengesahkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah untuk meningkatkan kapasitas PAD.

Namun, pada praktiknya, kemerdekaan fiskal masih menjadi tujuan yang belum terpenuhi oleh sebagian besar provinsi di Indonesia. Menurut data yang disampaikan oleh Kementerian Dalam Negeri pada 16 Desember 2022, hanya ada 14 provinsi yang masuk dalam kategori mandiri atau dengan kemerdekaan finansial dengan nilai PAD lebih besar dari nilai Transfer ke Daerah.

Provinsi Bengkulu sendiri menjadi salah satu provinsi dengan ketergantungan terhadap APBN yang sangat besar, yaitu lebih dari 65% dengan potensi PAD tahun 2023 hanya sebesar Rp967.957.037.971 dibandingkan dengan potensi belanja total Provinsi Bengkulu sebesar Rp2.977.388.138.599 pada tahun 2023.  

Dalam praktik pengelolaan fiskal, menurut penulis setidaknya ada 4 aktivitas yang sangat mempengaruhi kondisi fiskal daerah, yaitu: 

  1. Perencanaan Anggaran: Pengelolaan fiskal di daerah dimulai dengan perencanaan anggaran yang cermat. Pemerintah Daerah perlu mengidentifikasi prioritas pembangunan lokal dan mengalokasikan dana secara efisien untuk mencapai tujuan tersebut. Proses ini melibatkan konsultasi dengan masyarakat dan pemangku kepentingan agar anggaran mencerminkan kebutuhan nyata daerah.
  2. Pengelolaan Pendapatan Asli Daerah (PAD): Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan elemen penting dalam pengelolaan fiskal. Pemerintah Daerah harus berupaya untuk meningkatkan sumber-sumber pendapatan, seperti pajak, retribusi, dan hasil usaha milik daerah. Hal ini dapat dicapai melalui perbaikan administrasi pajak, pemantauan ketat terhadap penerimaan, dan upaya untuk mengurangi praktik korupsi.
  3. Pengeluaran Publik yang Efektif: Pengelolaan fiskal yang baik mengharuskan pemerintah daerah untuk mengelola pengeluaran publik dengan efektif. Ini mencakup alokasi dana untuk sektor-sektor kunci seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan layanan masyarakat lainnya. Pengeluaran harus didasarkan pada perencanaan yang matang dan pertimbangan matang terhadap dampak pembangunan jangka panjang.
  4. Transparansi dan Akuntabilitas: Prinsip transparansi dan akuntabilitas sangat penting dalam pengelolaan fiskal. Pemerintah Daerah harus memberikan informasi yang jelas dan mudah diakses kepada publik mengenai anggaran, pengeluaran, dan pelaksanaan program. Ini memungkinkan partisipasi masyarakat dalam pemantauan dan evaluasi penggunaan dana publik.

Sejalan dengan itu, Pemerintah Daerah juga menghadapi tantangan dalam memperbaiki kinerja, yaitu masalah keterbatasan sumber daya, baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini dapat memengaruhi kemampuan mereka dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan berkelanjutan. Pemerintah Daerah harus terus melakukan upaya untuk meningkatkan kapasitas sumber daya dengan cara berinvestasi dalam pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia sehingga kompetensi yang dimiliki akan menunjang praktik pengelolaan fiskal yang lebih baik.

Optimalisasi Undang-Undang HKPD

Terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) menandai perubahan yang signifikan, dengan tujuan untuk memperkuat desentralisasi fiskal Indonesia dan memperbaiki keuangan negara, terutama dalam hal belanja. Inti dari kebijakan baru ini mencakup empat prinsip utama yang diusung dalam UU HKPD. Tujuan pertama adalah untuk mempersempit ketidakseimbangan fiskal, baik secara vertikal (antara pemerintah pusat dan daerah) maupun horizontal (antardaerah). Kedua, menekankan harmonisasi pengeluaran pemerintah pusat dan daerah. Ketiga, meningkatkan kualitas pengeluaran daerah. Terakhir, menandai pentingnya penguatan sistem perpajakan daerah.

Secara historis, peraturan yang mengatur transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah diatur oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Namun, regulasi ini cenderung menciptakan ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat. Hal ini terjadi karena alokasi transfer lebih banyak didasarkan pada aspek pengeluaran, tetapi kurang memperhitungkan kinerja daerah dalam hal pengumpulan pajak lokal. Akibatnya, setiap tahun Pemerintah Daerah selalu menuntut transfer yang lebih besar dari pemerintah pusat untuk membiayai pengeluaran mereka.

Pada teori, sistem terdesentralisasi seharusnya memudahkan Pemerintah Daerah untuk mengeksplorasi sumber-sumber pendapatan dari warganya. Namun, pada kenyataannya, elastisitas pengeluaran sebagai respons terhadap transfer cenderung lebih dominan daripada elastisitas pengeluaran terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Data keuangan publik yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) selama satu dekade terakhir menunjukkan bahwa proporsi PAD terhadap total pendapatan daerah meningkat sebesar 7,4 poin persentase (dari 8,6% menjadi 15,9%). Tren positif ini juga tecermin dalam proporsi pendapatan pajak lokal terhadap total pendapatan daerah, yang meningkat sekitar 4,3 poin persentase (dari 3,9% menjadi 8,2%). Namun, kembali ke poin sebelumnya, rendahnya penyerapan pengeluaran dari PAD, seperti yang disebutkan sebelumnya, belum sepenuhnya menggambarkan tingkat kemandirian daerah dalam kerangka desentralisasi.

Secara langsung, desentralisasi tidak akan secara otomatis meningkatkan kedaulatan fiskal di daerah sebelum memenuhi dua hal. Pertama, transfer harus dirancang sedemikian rupa sehingga jumlah yang diterima tidak meningkat saat upaya fiskal daerah menurun, atau sebaliknya. Kedua, pemerintah daerah harus memiliki kebebasan dan tanggung jawab yang signifikan untuk memobilisasi pajak mereka sendiri.

Pada akhirnya harapan menuju kemerdekaan fiskal itu nyata, terlebih 30% lebih provinsi yang sudah masuk ke dalam kategori mandiri finansial dengan pengelolaan fiskal yang terus membaik. Hal ini perlu didukung oleh berbagai unsur, baik pemerintah maupun swasta. Sebagai bagian dari unsur negara yang memiliki tanggung jawab dalam menjaga perekonomian bangsa, DJPb melalui fungsi financial advisor juga turut mendukung segala upaya peningkatan pengelolaan ekonomi daerah menuju kemerdekaan fiskal dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance).


Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi

 

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Prijadi Praptosuhardo II Lt. 1
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat 10710
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

 

 

IKUTI KAMI

 

PENGADUAN

 

 

Search

Kantor Wilayah Provinsi, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) 

(Daftar Kantor Vertikal DJPb Selengkapnya ..)