Oleh: Nafira Dara Ardhanie (KPPN Manna)
Mempersiapkan sesuatu sebelum hal yang tidak diinginkan datang adalah makna dari salah satu peribahasa yang populer di kalangan masyarakat Indonesia, “sedia payung sebelum hujan.” Prinsip ini nampaknya relevan dengan Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) agar selalu siap sedia dalam menghadapi tantangan yang akan datang. Termasuk salah satu tantangan di bidang teknologi yaitu hadirnya Artificial Intelligence (AI). Menurut John McCarthy (1956), AI atau Kecerdasan Buatan berguna ;untuk mengetahui dan memodelkan proses-proses berpikir manusia dan mendesain mesin agar dapat menirukan perilaku manusia. Untuk mengikuti proses berpikir manusia, AI melalui beberapa tahap untuk menghasilkan produknya yaitu learning, reasoning, dan self-correction.
Berdasarkan data dari OECD.AI, per April 2023 terdapat 1422 model AI terbaru. Apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pada April 2022, hanya terdapat 272 model AI. Data tersebut menunjukkan bahwa perkembangan AI di dunia modern sangat cepat dan pesat. Kecepatan perkembangan AI merupakan salah satu alasan bagi Uni Eropa mengeluarkan Europe Union Artificial Intelligence Act yang di dalamnya mengatur terkait penggunaan AI di Uni Eropa. Tak mau kalah, Amerika Serikat baru-baru ini mengadakan rapat tertutup pada 13 September 2023 yang menghadirkan para anggota Senat, beberapa pemimpin perusahaan teknologi terbesar di Amerika Serikat seperti CEO Tesla dan SpaceX Elon Musk, CEO Meta Mark Zuckerberg, CEO Google Sundar Pichai, dan CEO OpenAI Sam Altman. Berdasarkan hasil diskusi dari rapat tersebut, Amerika Serikat diperkirakan akan fokus membuat suatu klausul terkait AI dalam waktu satu tahun ke depan.
Terdapat beberapa alasan mengapa negara-negara maju tersebut seakan berlomba-lomba untuk mengatur penggunaan AI di masyarakat. Bagaimana tidak, kini, AI menjadi layaknya sebuah pedang bermata dua. Dalam sektor keuangan, metafora tersebut nyata adanya. Pada satu sisi, AI berperan sebagai sebuat alat untuk mendeteksi fraud, di sisi lainnya AI menjadi alat yang mendukung serta memperlancar oknum untuk melakukan fraud. Peluang fraud yang memiliki persentase paling besar pada sektor keuangan adalah automated hacking. Automated hacking merupakan upaya otomatisasi dalam percobaan peretasan. AI dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerentanan dalam sebuah sistem sehingga dapat dieksploitasi. Sistem yang sudah dieksploitasi kemudian akan mencoba setiap kombinasi yang mungkin untuk memecahkan kata sandi. Berdasarkan riset Katadata, terdapat 1,04 juta akun yang mengalami eksploitasi di Indonesia selama kuartal II tahun 2022. Hal ini menunjukan masih lemahnya sistem keamanan data di Indonesia. Kebocoran terkait data, apalagi terkait data finansial suatu individu, berpotensi mengakibatkan kerugian finansial pada individu tersebut. Maka dari itu penggunaan AI atau Kecerdasan Buatan haruslah dibuat ketentuan penggunaannya dengan harapan dapat mengurangi potensi terjadinya fraud, terkhusus pada sektor keuangan.
DJPb sebagai salah satu institusi di bawah Kementerian Keuangan yang berperan dalam mengelola, menyalurkan, serta menatausahakan pengeluaran dan penerimaan fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat disebut ‘institusi dengan segudang data.’ Gudang data yang dimiliki DJPb merupakan sumber risiko yang berpotensi besar untuk terkena eksploitasi data oleh perkembangan AI yang ada. Sebagai contoh, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) memiliki informasi terkait supplier (individu/institusi pemerintah) yang berisikan data kependudukan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), data rekening bank, dan data sensitif lainnya. Data breach pada sektor keuangan pemerintah dapat mengakibatkan kerugian finansial yang besar dari sisi APBN. Meskipun government financial data breach belum pernah terjadi pada DJPb, kasus serupa pernah terjadi di Bangladesh pada tahun 2016 di mana para oknum mengeksploitasi sistem finansial elektronik Bank Nasional Bangladesh dan mengakibatkan kerugian fiskal sebesar $101 miliar. Tentunya kita tidak mengharapkan hal itu terjadi.
Lantas, apa yang bisa dilakukan DJPb untuk mengurangi peluang terkena fraud oleh AI? Sebagai institusi yang adaptif terhadap perubahan, untuk menghindari hal tersebut, DJPb selaku perumus kebijakan di bidang perbendaharaan dapat membuat sebuah instrumen peraturan yang dapat meregulasi etika, pemanfaatan, dan penggunaan dari AI dalam bidang perbendaharaan. Selain berisikan batasan, peraturan hendaknya juga memfasilitasi infrastruktur data di DJPb, sehingga data dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan riset, pengembangan, dan inovasi oleh publik. DJPb juga dapat membentuk sebuah tim yang berperan sebagai pengawas untuk mengendalikan perkembangan dan pemanfaatan AI. DJPb juga dapat bekerja sama dengan pihak lain seperti perguruan tinggi, lembaga riset, unit eselon I Kementerian Keuangan lainnya, dan kerja sama riset antarnegara, sehingga dapat menghasilkan dampak yang maksimal.
Seorang karyawan Uber pada September 2022 pernah menjadi korban cyber attack. Karyawan tersebut secara tidak sengaja memberi akses ke pihak eksternal dengan mengklik ‘ya’ pada notifikasi yang muncul. Untuk menghindari hal serupa terjadi, DJPb perlu membekali SDM terkait AI, sehingga setiap pegawai memiliki kapasitas yang mumpuni terkait AI dan mengurangi peluang data breach yang diakibatkan oleh ketidaksengajaan pihak internal seperti yang terjadi pada Uber.
Potensi pemanfaatan AI untuk hal yang negatif merupakan kekhawatiran yang terus bertumbuh seiring dengan perkembangan teknologi. Mari berharap, DJPb sebagai institusi yang produktif dan kompetitif dapat melakukan upaya-upaya preventif dengan harapan hal tersebut dapat mencegah dan mengurangi peluang terjadinya fraud yang dilakukan oleh AI pada sektor perbendaharaan sehingga pelayanan yang diberikan kepada stakeholders menjadi makin kredibel dan akuntabel.
Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi