
Oleh : Sugiarso, KPPN Surakarta, 28 Desember 2018
Sulit untuk melupakan jerit pilu dan ketakutan warga Palu saat gempa, tsunami dan likuifaksi berlangsung. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, gedung bangunan, pepohonan bahkan bukit berpindah dari satu tempat ke tempat lain seperti berlayar di atas air. Gempa bumi, tsunami dan bencana besar lainnya seperti dipergilirkan terus menerus di Bumi Indonesia.
Posisi Indonesia yang berada di wilayah cincin api pasifik (ring of fire) dan di Sabuk Alpide, menjadi penyebab atas terjadinya gempa di sepanjang masa. Menurut data Wikipedia, sekitar 90% dari gempa bumi yang terjadi dan 81% dari gempa bumi terbesar terjadi di sepanjang cincin api pasifik; kemudian gempa berikutnya (5-6% dari seluruh gempa dan 17% dari gempa terbesar) adalah terjadi di Sabuk Alpide yang membentang dari Jawa ke Sumatera. Memikirkan gempa bumi, pastinya yang pertama terbayang adalah hilangnya kehidupan, kemudian rusaknya harta benda dan rumitnya penanganan pasca gempa.
Meskipun wilayah cincin api pasifik selalu dikaitkan dengan kejadian gempa atau bencana lainnya, namun di sisi lain terdapat banyak keuntungan dari posisi tersebut. Keuntungan itu antara lain: Keindahan alam, baik di darat maupun dasar laut, yang biasanya menjadi obyek wisata terkenal sedunia; banyaknya sumber-sumber mineral / bahan tambang yang terkandung di dalamnya, yang tentu saja menjadi komoditas yang sangat diminati oleh negara lain di seluruh dunia.
Dampak pada Kerugian Negara
Kita, sebagai pegawai Kementerian Keuangan, sudah terbiasa disibukkan dengan angka-angka proyeksi pertumbuhan ekonomi, inflasi, suku bunga dan sebagainya dalam mendukung pengelolaan keuangan negara yang kredibel. Data-data kejadian ekonomi global tersaji dari hari ke hari di masa yang lalu untuk menghitung kemungkinan kejadian di masa-masa yang akan datang dan biasanya disertai asumsi dasar ‘tidak ada kejadian luar biasa’. Kejadian luar biasa dalam hal ini adalah bencana besar, kerusuhan massal, peperangan, dan lain-lain; hal ini dilakukan karena memang tidak mungkin memperkirakan kejadian luar biasa tersebut seperti memperkirakan terjadinya perubahan inflasi, suku bunga, dan sebagainya. Kondisi seperti inilah, sepertinya, yang membuat kita semua lupa untuk melakukan mitigasi kerugian yang timbul akibat gempa bumi, meskipun hampir setiap saat negeri kita diguncang gempa. Sepertinya kita hanya bisa berpasrah atas diri dan kekayaan, kapanpun gempa akan merengutnya.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan bahwa kerugian negara akibat bencana alam bisa mencapai Rp22triliun dalam setahun (Tempo, 2018). Ini adalah jumlah yang tidak sedikit; bahkan pertumbuhan yang susah payah kita usahakan dari tahun ke tahun akan tergerus, hilang seketika dengan kejadian gempa yang besar. Flash back kejadian gempa Aceh 2004, Jogja 2006, Tasik Malaya 2009, Padang 2010, Lombok dan Palu 2018, kita akan dapat membayangkan, betapa besar kerugian negara yang hilang seketika terbawa gempa dan tsunami. Hal ini belum termasuk sumber daya manusia yang hilang pada saat kejadian maupun pasca kejadian.
Apa yang dapat kita lakukan?
Gempa dan tsunami hampir tidak mungkin diperkirakan saat kejadiannya, meskipun kita semua tahu bahwa gempa pasti mengguncang bumi Indonesia. Keadaan seperti ini, tidak mungkin kita sikapi dengan menunggu dan pasrah. Kita harus merencanakan suatu tindakan yang dapat mengurangi kerugian akibat kejadian gempa tersebut. Beberapa tindakan yang kiranya dapat dijadikan upaya mengurangi kerugian bencana, antara lain:
Pooling Fund; dana penanggulangan bencana alam untuk kegiatan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana alam. Untuk pertama kalinya, dana ini dialokasikan di APBN 2019 dengan jumlah Rp1triliun. Sumber utama pooling fund adalah rupiah murni dengan perhitungan terdapat kelebihan likuiditas (ekses) dalam periode APBN. Dengan cara ini, meskipun memberi solusi peanganan kerugian, namun dana yang dapat terkumpul sangat kecil bahkan tidak seimbang dengan kerugian yang akan terjadi, karena sifatnya hanya menampung kelebihan likuiditas.
Asuransi Bencana; Skema ini sempat menjadi wacana yang akan segera diterapkan; bahkan dalam pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Bali pada Oktober 2018 yang lalu, salah satu tema yang menjadi fokus delegasi Indonesia adalah asuransi bencana alam. Dalam skema asuransi bencana alam, sama seperti prinsip asuransi pada umumnya, pemerintah membayar premi untuk memperoleh perlindungan atas terjadinya kerusakan asset yang disepakati. Dalam hal terjadi gempa bumi dengan kriteria kekuatan gempa dan/atau kerusakan tertentu yang diperjanjikan, pemerintah akan menerima ganti rugi finansial (tidak termasuk penggantian nyawa yang hilang atau anggota tubuh yang rusak atau cacat). Skema ini tentu saja merupakan solusi yang tepat untuk memberikan perlidungan atas kerugian infrastruktur akibat gempa dan tsunami. Dengan membayar premi yang relatif kecil, akan diperoleh nilai ganti rugi yang berlipat besarnya. Namun, penting untuk diketahui, bahwa asuransi menganut prinsip, antara lain sebagai berikut:
Law of large number; artinya, semakin banyak peserta yang menjaminkan risiko kerugiannya, akan semakin murah biaya premi; sebaliknya semakin sedikit peserta menjaminkan risiko kerugiannya, maka akan semakin mahal harga premi asuransi tersebut.
Premi untuk membayar klaim; seluruh perusahaan asuransi membiayai operasional usahanya, membayar klaim dan memperoleh keuntungan dari premi asuransi yang diterimanya. Dengan demikian perusahaan asuransi tidak akan mungkin membayar klaim melebihi jumlah premi yang diterimanya.
Memperhatikan prinsip utama asuransi di atas, maka sepertinya tidak akan ada perusahaan yang berani menjamin kerugian atas terjadinya bencana alam di Indonesia; kalaupun ada yang bersedia, semisal sindikasi perusahaan asuransi dunia, namun dapat dipastikan bahwa secara keseluruhan, pemerintah akan membayar premi asuransi minimal sebesar kerugian yang akan diganti rugi. Hal ini berarti pemerintah membayar sendiri jumlah kerugiannya.
Apa yang terbaik dilakukan?
Secara prinsip, dana untuk kegiatan tanggap darurat bencana alam harus selalu tersedia di APBN. Tahun 2019 merupakan tonggak awal dimulainya pengumpulan dana, meskipun jumlahnya belum memadai. Untuk dapat mengatasi pendanaan atas kerugian yang timbul dari bencana alam, perlu dilakukan kajian-kajian untuk menemukan sumber pendanaan yang lebih realistis dari sekedar pendapatan pajak.
Alternatif yang penting untuk kaji lebih mendalam, menurut penulis, adalah menghubungkan antara manfaat atau kelebihan dengan potensi kerugian yang dapat timbul dari letak geografis suatu negara di wilayah cincin api pasifik. Keuntungan-keuntungan dimaksud telah disebutkan di bagian atas tulisan ini, antara lain berkaitan dengan keindahan alam yang umumnya menjadi obyek wisata dan hasil tambang yang terkandung. Ke depan, harus diperhitungkan secara riil bahwa nilai jual produk wisata dan bahan tambang harus memperhatikan potensi kerugian di masa yang akan datang yang diakibatkan oleh kejadian gempa, tsunami maupun erupsi gunung berapi. Wisatawan, baik domestik maupun manca negara, harus membayar suatu jumlah tertentu karena telah menikmati indahnya obyek wisata yang memiliki ke-khas-an wilayah cincin api pasifik; demikian juga dengan harga-harga bahan tambang yang merupakan ke-khas-an daerah cincin api pasifik, maka harga jual bahan tambang tersebut harus memasukkan komponen untuk penanggulangan bencana karena pergerakan di wilayah cincin api pasifik.
Demikian pandangan penulis yang merupakan pendapat pribadi berdasarkan pengalaman teknis sebagai insan perbendaharaan, semoga pembiayaan atas penanngulangan bencana alam ke depan dapat memiliki sumber pendanaan yang jelas dan tersedia setiap saat.
Referensi:
Nassim Nicholas Taleb, 2008. The Black Swan diakses di http://2.bp.blogspot.com/-6BFL-Sd6bU8/VqcMS8UkxMI/AAAAAAAAA3s/i-Ny2qVIOCU/s1600/Black+Swan.jpg
Wikipedia Bahasa Indonesia https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_gempa_bumi_di_Indonesia
Tempo diakses melalui https://bisnis.tempo.co/read/1132097/sri-mulyani-kerugian-akibat-bencana-alam-rp-22-triliun-per-tahun