oleh: Wisnhu Chrisnur Cahya, Direktorat Pengelolaan Kas Negara
Fenomena Perubahan Iklim
Bumi kita berusia kurang lebih 4,54 miliar tahun. Selama kurang lebih dua belas ribu tahun yang lalu Sapien terus menerus berjuang dari ancaman iklim dan kiamat yang seringkali dibawa oleh organisme lain, bahkan organisme kecil seperti bakteri, jamur dan virus. Misalnya Black Death pada tahun 1347-1351 dan cacar pada abad ke-15 s.d. 17. Pada bulan Desember 2019 muncul virus korona penyebab sindrom pernapasan akut berat 2 (severe acute respiratory syndrome coronavirus-2 atau SARS-CoV-2) yang menyebabkan penyakit virus korona 2019 (coronavirus disease 2019 atau Covid-19) di Kota Wuhan, China dan dideklarasikan oleh World Health Organization sebagai pandemi global pada tanggal 11 Maret 2020.
Pandemi Covid-19 timbul secara mendadak atau akut. Kasus positif Covid-19 di Indonesia pertama kali dideteksi pada tanggal 2 Maret 2020 dan dengan cepat mengalami penyebaran. Pandemi Covid-19 di Indonesia berdampak multidimensional, tidak hanya pada kesehatan masyarakat, tetapi juga memengaruhi perekonomian dan kehidupan sosial bermasyarakat. Pemerintah merespons dengan menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Optimalisasi Program dan Anggaran Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN), serta vaksinasi untuk mencapai kekebalan kelompok. Saat ini, dengan parameter penilaian COVID-19 yang terus melandai. Indonesia bersiap memasuki endemi. Salah satu “penyakit akut” global sudah mereda, kini dunia harus mewaspadai ancaman bagai “penyakit kronis” yang berlangsung lama dan tidak disadari sampai kondisinya sudah terlanjur parah yaitu Perubahan Iklim.
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
(Hujan Bulan Juni – Sapardi Djoko Damono)
Penggalan sajak penyair kebanggaan Indonesia Sapardi Joko Damono berjudul Hujan Bulan Juni ini selalu berhasil membuat orang yang membaca tersentuh hatinya. Jika dicermati, secara harfiah ada yang menarik dari puisi tersebut, yaitu hujan turun pada bulan Juni. Sebuah pesan yang dikiaskan penyair sebagai kasih yang tak tersampaikan dan disimpan dalam keheningan, karena penyair mengetahui bahwa musim hujan di Indonesia biasanya terjadi pada bulan Oktober hingga Maret, bukan bulan Juni.
Namun, sekarang puisi di atas menjadi sebuah fenomena karena hujan benar-benar turun pada bulan Juni, seperti keluar dari “pakem” periode musim. Berlainan dengan apa yang ada di dalam buku Colloquial Indonesia: The Complete Course for Beginners (1994), menurut Sutanto Atmosumarto, pembagian musim di Indonesia ada dua, yaitu musim hujan dan kemarau, dan masing-masing berlangsung kurang lebih selama enam bulan. Sinyal perubahan iklim sudah makin nyata, yang dapat menyebabkan bencana ekologis dan mampu mengganggu keselarasan alam.
Perubahan iklim terjadi akibat penumpukan gas rumah kaca di atmosfer melebihi kapasitas yang dapat diserap kembali oleh biosfer yaitu ekosistem hutan dan laut. Awalnya adalah revolusi industri yang mendorong produksi berbasis bahan bakar fosil. Jadi adanya perubahan iklim dapat dihubungkan kepada perilaku manusia. Manusia jugalah yang harus bertanggung jawab.
Secara khusus planet kita mengalami banyak siklus pendinginan dan penghangatan. Dalam beberapa juta tahun terakhir, ada zaman es setiap 100.000 tahun, yang terakhir berlangsung sekitar 75.000 sampai 15.000 tahun yang lalu. Perubahan iklim yang signifikan selalu diikuti dengan kepunahan massal. Kita menyadari bahwa intensitas bencana hidro-metereologi seperti banjir, angin kencang, gelombang tinggi, dan kenaikan muka air laut semakin meningkat akhir-akhir ini. Dampaknya pun makin kentara dirasakan.
Dampak Perubahan Iklim di Indonesia
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di antara samudera besar, Pasifik dan Hindia, tentu memiliki potensi kerentanan dampak perubahan iklim yang sangat besar. Data menunjukkan bahwa sekitar 80 persen dari total bencana yang ada di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi. Merujuk pada dokumen roadmap Nationally Determined Contribution (NDC) Adaptasi Perubahan Iklim pada tahun 2020 juga menyatakan potensi kerugian dapat mencapai 0,66 persen sampai dengan 3,45 persen PDB pada tahun 2030.
Apabila kita melihat secara sektoral, maka ada lima risiko perubahan iklim yang langsung dapat dirasakan. Pertama adalah kelangkaan air bersih, akibat dari kekeringan maupun intensitas curah hujan yang sangat tinggi yang menyebabkan banjir. Kemudian kerusakan ekosistem lahan, di mana perubahan iklim akan mempercepat fenomena el-nino yang berdampak pada kekeringan ekstrem sehingga menyebabkan peluang kebakaran hutan meningkat. Efek dari adanya kebakaran hutan tentunya malah akan menambah emisi gas rumah kaca ke atmosfer serta juga merusak kawasan ekosistem dan keanekaragaman hayati
Berikutnya adalah kerusakan ekosistem lautan. Meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer tentu akan menyebabkan kapasitas karbondioksida di lautan meningkat yang akan menyebabkan kadar keasaman laut meningkat pula. Hal ini akan mempercepat terjadinya proses pemutihan karang dan merusak ekosistem terumbu karang itu sendiri. Selain itu, naiknya suhu global akan menyebabkan naiknya muka air laut yang akan merusak ekosistem kawasan pesisir.
Selanjutnya ada pula penurunan kualitas kesehatan manusia, baik secara langsung karena banjir atau kekeringan maupun melalui vektor penyakit seperti demam berdarah dan ataupun malaria. Yang terakhir, makin meningkatnya intensitas bencana tentu akan menghambat produktivitas pangan sehingga akan menyebabkan kelangkaan pangan.
Kesepakatan dan Respons Indonesia
Dalam merespons dampak perubahan iklim ini, Indonesia telah mengesahkan Paris Agreement ke dalam UU Nomor 16 Tahun 2016. Pada saat yang hampir bersamaan dokumen NDC yang merupakan komitmen setiap negara terhadap Persetujuan Paris ke Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC), Indonesia sepakat untuk menurunkan laju emisi sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dari level Business as Usual pada 2030 dan 41 persen dengan bantuan internasional dari level BaU pada 2030. Kemudian pada tahun 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyampaikan dokumen enhanced NDC, dokumen yang disusun untuk lebih memutakhirkan kebijakan-kebijakan nasional terkait perubahan iklim, yang berisi penguatan target NDC menjadi 31,89 persen secara mandiri dan 43,2 persen dengan bantuan luar negeri.
Selain itu, dalam jangka panjang Indonesia telah menyusun Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LSTLCCR) 2050 sebagai bentuk komitmen Indonesia mendukung transisi keberlanjutan menuju ekonomi rendah karbon, pemulihan pasca pandemi Covid-19, serta keadilan global. Pemerintah percaya bahwa langkah ini merupakan kesempatan untuk memulai fase transisi yang mengarah pada transformasi pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan secara keseluruhan. Namun, untuk mencapai target-target tersebut diperlukan biaya yang sangat besar, terutama sektor energi dan transportasi, serta kehutanan (Third Biennial Update Report KLHK, 2021). Estimasi biaya berdasarkan Laporan Third Biennial Update Report yang dikeluarkan oleh KLHK pada tahun 2021 mencapai Rp4.000 triliun rupiah hingga tahun 2030.
Upaya Pemerintah Tangani Isu Perubahan Iklim
Uraian transisi Indonesia menuju masa depan yang rendah emisi dan berketahanan iklim tertuang dalam NDC Indonesia dengan mendasarkan pada 9 aksi prioritas pembangunan nasional (Nawacita) yang secara eksplisit memberi penekanan pada pentingnya pengendalian perubahan iklim yaitu (A) Berdaulat dalam Bidang Politik, pada butir Nawacita 1 “Membangun wibawa politik luar negeri dan merespons peran Indonesia dalam isu-isu global” huruf b. 5) “Mengintensifkan kerja sama internasional dalam mengatasi masalah-masalah global yang mengancam umat manusia seperti ..., perubahan iklim ..., dan (B) Berdikari dalam Bidang Ekonomi, pada butir Nawacita 3 “Membangun daulat energi berbasis kepentingan nasional” huruf 3. h) “Merancang isu perubahan iklim bukan hanya untuk isu lingkungan semata melainkan juga untuk perekonomian nasional”.
Sisi perencanaan isu perubahan iklim terpatri pada RPJMN 2020-2024 khususnya prioritas nasional 6 yaitu Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim merupakan acuan kementerian negara/lembaga dalam menyusun kegiatan dan proyek prioritas terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang akan tercermin pada rencana kerja pemerintah.
Hal ini akan dirincikan lagi pada rencana kerja kementerian negara/lembaga dan rencana kerja anggaran kementerian negara/lembaga. Menjadi penting untuk menelusuri output dan anggaran mitigasi dan adaptasi perubahan iklim perubahan iklim di Indonesia. Maka dari itu perlu mekanisme penandaan anggaran perubahan iklim di level Renja K/L. Penandaan tersebut dapat dilakukan melalui aplikasi yang mendukung proses perencanaan, penganggaran, serta pelaporan informasi kinerja yaitu KRISNA (Kolaborasi Perencanaan dan Informasi Kinerja Anggaran). Kementerian negara dan Lembaga menyusun Renja K/L dan diejawantahkan dalam RKA-K/L, pada tahap ini hasil penandaan pada KRISNA dimutakhirkan pada ke SATU DJA (Sistem Aplikasi Terpadu Direktorat Jenderal Anggaran) dan SAKTI pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk kemudian diakses dan dapat diketahui oleh Badan Kebijakan Fiskal.
Selanjutnya Laporan Penandaan Anggaran Perubahan Iklim dilaporkan tiap tahun. Laporan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk menerbitkan instrumen pembiayaan inovatif salah satunya Green Sukuk yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah dan membutuhkan objek yang bernilai ekonomis sebagai dasar untuk diterbitkan (underlying asset). Skema Green Sukuk digunakan sebagai upaya untuk pembiayaan (financing) dan pembiayaan ulang (refinancing) underlying asset tersebut.
Upaya pemerintah dalam mendukung penurunan emisi atau peningkatan ketahanan iklim yaitu dengan menerbitkan Green Sukuk Global sejak tahun 2018 dan Green Sukuk Ritel sejak tahun 2019 dengan menggunakan underlying aset dari hasil penandaan anggaran perubahan iklim di level nasional. Nilai terakhir yang diterbitkan pada tahun 2022 berkisar USD 5 miliar dan Rp5 triliun untuk Green Sukuk Ritel pada tahun 2021. Pendanaan yang diperoleh dari Green Sukuk ini telah membiayai proyek hijau yang terdapat pada sektor energi terbarukan, energi efisiensi, pengelolaan sampah, ketahanan terhadap perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana serta transportasi yang berkelanjutan.
Selain Green Sukuk, pada tahun 2021 pemerintah juga telah menerbitkan Sustainable Development Goals (SDGs) Bonds senilai 500 juta Euro. SDGs Bonds merupakan salah satu bentuk skema pembiayaan inovatif yang digunakan untuk membiayai proyek pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan sesuai standar internasional. Penerbitan Green Sukuk (Global & Retail) dan SDGs Bonds diperhitungkan turut berkontribusi dalam penurunan emisi sekitar 10,6 juta ton CO2 sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 2018.
Komitmen Indonesia dalam menanggapi perubahan iklim memerlukan sinergi seluruh komponen bangsa, mulai dari Kementerian/Lembaga, Sektor Bisnis, Akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat dan paling penting adalah masyarakat umum. Upaya untuk menurunkan laju emisi sebesar 29 sampai dengan 41 persen dari BaU memerlukan komitmen, peran, dan kontribusi untuk berproses bersama mengubah perilaku agar sejalan dengan cita-cita dan tujuan nasional.
Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili tempat penulis bekerja.