Oleh: Riedho Hizwar, Kanwil DJPb Provinsi Sumatera Selatan
Dalam pengelolaan anggaran negara, ada satu jenis dokumen yang tidak pernah viral. Ia tidak diperebutkan dalam debat politik, tidak dibahas di gelar wicara malam, bahkan nyaris tidak terdengar dalam pidato-pidato pemerintahan. Namun, diam-diam, dokumen ini memegang kendali atas jalannya miliaran hingga triliunan rupiah yang mengalir dari kas negara. Dokumen itu bernama Halaman III Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
Bagi sebagian orang, Halaman III DIPA mungkin hanya satu halaman yang harus disiapkan saat awal tahun. Satu lembar yang menyertai DIPA, yang penting ada agar proses pencairan dapat segera dilaksanakan. Tidak sedikit yang mengisinya dengan rumus rata per bulan, praktis dan aman alasannya. Namun, barangkali kita lupa, bahwa setiap baris di dalam Halaman III DIPA adalah janji. Janji tentang kapan program akan berjalan, janji tentang seberapa siap kita mengeksekusi anggaran, dan lebih penting lagi merupakan janji kepada publik bahwa uang mereka tidak akan sia-sia.
Efisiensi yang Disalahpahami
Belakangan ini kita kembali sering mendengar kata “efisiensi” menggema dalam dinamika pengelolaan anggaran negara. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 menegaskan pentingnya efisiensi, baik di tingkat pusat maupun daerah. Semangatnya tentu mulia, yaitu negara harus cermat dan bertanggung jawab dalam membelanjakan uang rakyat.
Namun, seperti banyak kebijakan lainnya, eksekusi instruksi tersebut tidak selalu berjalan sebagaimana mestinya. Beberapa institusi mulai mematikan lampu kantor lebih cepat, menunda pelatihan yang sebenarnya penting, bahkan memangkas kegiatan tanpa pertimbangan yang matang. Apakah itu efisiensi, atau hanya kosmetik penghematan?
Dalam konteks anggaran, efisiensi sejatinya bukan tentang memangkas sebanyak-banyaknya, melainkan tentang menentukan prioritas, tentang menggunakan sumber daya yang ada secara optimal untuk menghasilkan hasil yang maksimal. Dan jika memang serius menginginkan efisiensi berjalan nyata, maka kita sudah tidak bisa lagi mengabaikan Halaman III DIPA.
Ketika Ilusi Perencanaan Menjadi Tradisi
Masalahnya bukan terletak pada rumitnya regulasi atau terbatasnya sumber daya, melainkan pada kebiasaan yang keliru: terlalu banyak satuan kerja yang menyusun Halaman III DIPA sekadar sebagai formalitas, bukan sebagai instrumen strategis. Rencana Penarikan Dana (RPD) kerap dibagi rata per bulan tanpa mempertimbangkan kalender kegiatan, tahapan pengadaan, atau kapasitas riil pelaksanaan program.
Kebiasaan ini menimbulkan pola yang berulang setiap tahun. Realisasi anggaran cenderung rendah di awal tahun, lalu melonjak tajam menjelang akhir tahun anggaran. Akibatnya, belanja negara menjadi tidak terencana dengan baik dan berdampak pada rendahnya kualitas output. Kegiatan dilakukan secara tergesa-gesa, hanya untuk mengejar serapan, bukan untuk mencapai manfaat substantif. Uang negara pun berisiko dibelanjakan pada hal-hal yang tidak relevan, tidak mendesak, atau bahkan tidak berdampak sama sekali terhadap kinerja layanan publik maupun perekonomian.
Jika pola ini terus dibiarkan, maka perencanaan anggaran tak ubahnya menjadi ilusi: tampak lengkap di atas kertas, tetapi hampa dalam pelaksanaan. Padahal, menurut Rational Planning Theory, perencanaan seharusnya berangkat dari tujuan yang jelas, mempertimbangkan berbagai alternatif strategi, mengukur biaya dan manfaat, serta melandaskan keputusan pada bukti dan logika pelaksanaan. Halaman III DIPA yang disusun tanpa mempertimbangkan tahapan kegiatan, kalender pengadaan, maupun kapasitas pelaksanaan hanyalah angka tanpa makna, jauh dari prinsip perencanaan yang rasional dan bertanggung jawab.
Miniatur Komitmen Institusi
Ada sebuah kalimat menarik yang beredar di sudut salah satu gedung Kementerian Keuangan, “Kalau kamu mau tahu seberapa serius Satker menjalankan programnya, lihat Halaman III-nya.” Ungkapan ini tentunya tidak berlebihan karena Halaman III DIPA mencerminkan lebih dari sekadar angka-angka. ia adalah miniatur dari komitmen institusi terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan akuntabilitas program.
Paling tidak ada tiga hal penting yang dapat dibaca dari Halaman III DIPA. Pertama, apakah kegiatan telah direncanakan dengan matang, sesuai dengan kebutuhan, tahapan, dan jadwal pelaksanaan? Kedua, apakah penarikan dana disesuaikan dengan kesiapan program, bukan sekadar membagi rata atau mengejar serapan semata? Ketiga, apakah output yang direncanakan benar-benar ingin dicapai, atau hanya menjadi formalitas angka tanpa orientasi manfaat?
Dari sinilah efisiensi sejati dapat dibangun. Karena perencanaan yang baik bukan hanya tentang mencocokkan angka, melainkan tentang menciptakan ritme yang sinkron antara uang, waktu, dan tenaga, sebuah orkestrasi yang harmonis antara sumber daya dan tujuan.
Solusi Sderhana
Kabar baiknya, memperbaiki Halaman III DIPA tidak membutuhkan peraturan baru, tidak perlu revisi undang-undang, dan tidak memerlukan teknologi canggih. Yang dibutuhkan adalah perubahan cara pandang. Di antara langkah sederhana yang bisa dilakukan adalah libatkan semua pihak sejak awal. Jangan biarkan tim keuangan bekerja sendirian. Libatkan perencana program, pengadaan, hingga tim pelaksana. Kemudian, gunakan data tahun lalu sebagai cermin. Evaluasi bulan-bulan kritis, identifikasi kapan sering terjadi deviasi, dan perbaiki pola tersebut. Lalu lakukan sinkronisasi dengan kenyataan. Kalau pengadaan belum bisa berjalan sampai Maret, jangan pasang target output di Januari. Perbaharui jika perlu. Manfaatkan revisi RPD setiap triwulan, bukan sekadar untuk mengubah angka, melainkan untuk memperbaiki realisme perencanaan.
Kita Tidak Kekurangan Aturan, tetapi Kadang Lupa Bernalar
Di banyak ruang rapat, kita sering kali sibuk membahas soal kepatuhan terhadap regulasi. Apakah peraturan ini selaras dengan aturan lain? Apakah surat edaran terbaru dapat menjawab kendala teknis yang dihadapi? Namun, dalam konteks Halaman III DIPA, permasalahannya bukan terletak pada kekurangan aturan, melainkan kita hanya lupa bernalar.
Efisiensi bukan sekadar soal pemangkasan, tetapi soal menyusun dengan cerdas. Dan untuk menyusun butuh nalar. Halaman III DIPA mungkin hanya satu lembar, tetapi di dalamnya tersimpan seluruh logika pelaksanaan anggaran. Jika kita ingin membawa negara ini menuju pengelolaan anggaran yang lebih efisien, mari kita mulai dari yang paling sederhana: satu lembar yang disusun dengan kesungguhan. Karena seperti kata pepatah tua: “Jika ingin tahu ke mana arah perjalanan, lihat dulu peta yang dipakai.” Dan Halaman III DIPA adalah peta kecil itu. Sunyi, tetapi menentukan.
Yang Bisa Dilakukan oleh Treasurer
Untuk memastikan Halaman III DIPA benar-benar mencerminkan kesiapan pelaksanaan anggaran, DJPb dapat mengambil beberapa langkah nyata. Pertama, lakukan pemetaan satuan kerja dengan pola penyerapan yang tidak seimbang (misalnya serapan menumpuk di akhir tahun) berdasarkan data 2–3 tahun terakhir. Satker dengan deviasi tinggi dapat dijadikan prioritas untuk pendampingan teknis saat penyusunan RPD.
Kedua, buat template Halaman III yang mewajibkan pencantuman jadwal kegiatan, tahapan pengadaan, dan justifikasi penarikan dana per bulan, bukan hanya angka bulanan. Ketiga, manfaatkan revisi triwulanan sebagai titik evaluasi kualitas rencana. Bukan sekadar mengganti angka, tetapi menjadi forum koreksi berbasis data. Jika satker mengajukan revisi berulang tanpa dasar logis, DJPb dapat meminta penjelasan tertulis dan melakukan evaluasi langsung.
Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi.