O P I N I

Disclaimer: “Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan instansi/organisasi manapun.

Mindset dan Mental Health Pegawai, Penyeimbang Gerak Transformasi Organisasi Ditjen Perbendaharaan

Oleh: Nurhidayati, Kepala Seksi Verifikasi, Akuntansi, dan Kepatuhan Internal KPPN Kotamobagu

 

Salah satu tantangan menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) Ditjen Perbendaharaan adalah bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia yang tersebar hingga level kabupaten/kota untuk mendukung tugas dan fungsi organisasi. Di sisi lain, dalam menjalankan fungsi strategisnya, Ditjen Perbendaharaan telah menetapkan sasaran dan indikator kinerja secara berjenjang untuk menjadi petunjuk arah dalam menyelesaikan tugas-tugas hingga instansi vertikalnya yang mencakup 34 Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan dan 182 Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Dengan demikian, fungsi strategis Ditjen Perbendaharaan perlu disokong oleh sumber daya manusia yang andal dan dapat menanggung beban.

Mindset para ASN lingkup Ditjen Perbendaharaan menjadi sesuatu yang penting dalam tata kelola sumber daya manusia yang merupakan aset berharga organisasi. Mindset yang bertumbuh diperlukan untuk menuju nilai kesempurnaan sebagai salah satu dari nilai-nilai Kementerian Keuangan. Namun juga, diperlukan mental health yang prima dalam merespons tantangan nyata dalam pelaksanaan tugas sebagai ASN Ditjen Perbendaharaan.

Pola Pikir Bertumbuh dalam Transformasi Ditjen Perbendaharaan 

Nilai kesempurnaan bisa diraih dengan growth mindset atau pola pikir bertumbuh. Seseorang dengan pola pikir ini akan mencoba mencari cara kerja baru untuk efisiensi, memikirkan solusi atas permasalahan yang hadir, atau mengasah kepekaan terhadap kebutuhan organisasi. Perlahan, langkah-langkah sederhana dalam rutinitas pekerjaan akhirnya akan dapat menghasilkan penyempurnaan dan inovasi yang mendukung pencapaian sasaran kinerja sekaligus tetap sesuai dengan ketentuan.

Ada personifikasi dalam sebuah kisah fabel tentang perlombaan lari kelinci dan kura-kura yang mengarahkan pemahaman tentang pola pikir bertumbuh. Dalam cerita klasik tersebut, kelinci menantang kura-kura untuk berlomba lari. Kelinci lincah dalam berlari, sementara kura-kura begitu lamban. Kelinci mengajak kura-kura berlomba lari meskipun tahu bahwa ia jauh lebih cepat. Ia seperti ingin membuktikan dengan mudah bahwa dialah sang juara. Kelinci tidak fokus pada apa yang bisa dilakukannya dengan lebih baik dan justru lengah menunggu kura-kura sampai tertidur. Hal yang tidak dipikirkan sebelumnya terjadi. Kura-kura meski lamban perlahan menyusulnya hingga mencapai garis finish lebih dulu; menyadarkan kelinci akan kelalaiannya. Kelinci kehilangan momentum pembuktian diri yang dia inginkan.

Berangkat dari pikiran yang berbeda dengan kelinci, kura-kura menyambut tantangan tanpa merasa kalah di awal. Kura-kura tidak merasa rendah diri dengan tantangan kelinci. Ia tetap memfokuskan pikiran pada satu hal yakni terus berlari sesuai dengan kemampuannya. Kenyataan bahwa kelinci lebih unggul tidak menggerogotinya. Yang ia pikirkan adalah mencoba hal bermanfaat untuknya yang layak dicoba.

Senada dengan cerita di atas, Carol S. Dweck memaparkan konsep cara berpikir bertumbuh (growth mindset) melalui bukunya yang berjudul Mindset. Carol membuka pembahasan dengan menjabarkan jawaban atas pertanyaan: “When Do You Feel Smart?” (kapan Anda merasa pintar?). Pertanyaan ini Carol ajukan kepada beberapa kalangan yang terdiri atas pelajar hingga usia 40-an. Jawaban beragam diberikan seperti: ketika aku tidak memiliki kesalahan, ketika aku menyelesaikan sesuatu dengan cepat dan sempurna, ketika bagiku terasa mudah, tapi orang lain tidak dapat melakukannya, dan tentang menjadi sempurna seketika.

Jawaban-jawaban di atas dapat dikategorikan dalam satu kelompok yang memiliki kesamaan. Menjadi tanpa cacat, tanpa kesalahan, terlihat atau terbukti hebat dibandingkan dengan yang lain, seketika, tanpa perlu proses panjang, cepat, dengan instan, dengan sekejap, dengan ajaib. Di sisi lain, ada kelompok jawaban kedua pada tema yang berbeda seperti: “ketika sangat berat, tetapi saya mengupayakan dengan sangat keras, lalu saya dapat melakukan sesuatu yang saya sebelumnya tidak dapat melakukannya” atau jawaban “saya telah menekuni suatu hal setelah sekian lama dan saya akhirnya mulai dapat memahaminya”.

Kelompok jawaban kedua menuju pada pendapat bahwa mereka merasa menjadi cerdas ketika pada akhirnya berhasil setelah berusaha keras yang memakan waktu cukup lama. Usaha ini biasanya berkaitan dengan melakukan hal-hal yang sebelumnya dirasa sulit, atau berani memulai kebiasaan baru yang bermanfaat untuk pertama kalinya, di luar kebiasaan sebelumnya. Apa yang mereka lakukan tidak secara mendadak menjadi sempurna, melainkan ada proses belajar yang ditekuni sepanjang waktu dan menghasilkan pribadi yang bertumbuh, menuju perbaikan terus-menerus dalam mencapai kesempurnaan. Kedua kelompok jawaban itu mengarahkan pada bagaimana mengubah pola pikir untuk menuju perbaikan, dari pola pikir laten menjadi pola pikir bertumbuh.

Growth mindset dan fixed mindset dalam diri seseorang adakalanya secara bersamaan ada, hanya saja salah satu mendominasi yang lain. Pola pikir baru dapat menghasilkan mood positif yang dapat menghindarkan dari kebosanan rutinitas. Kebosanan ini bisa muncul misalnya karena mengerjakan sesuatu yang sudah dilakukan terus-menerus dalam jangka waktu lebih dari dua tahun dan terasa sudah cukup mahir untuk dilakukan. Selain itu, pola pikir bertumbuh menjadikan kita tidak terbebani atau tertekan berkelanjutan jika berada pada posisi baru yang diharuskan memahami proses bisnis baru. Mengambil pandangan dari sudut yang berbeda dengan tepat bisa membantu pegawai untuk merasa tertantang dan berdaya. 

Ditjen Perbendaharaan terus melakukan reformasi, transformasi, dan digitalisasi pengelolaan perbendaharaan. Hal tersebut menjadi makin jelas bagi instansi vertikalnya di daerah dengan terbitnya Keputusan Dirjen Perbendaharaan Nomor KEP-32/PB/2024 tentang Program Penguatan Peran KPPN selaku Financial Advisor. Dengan digitalisasi yang telah berjalan di sektor pelayanan publik yang telah dilakukan oleh Ditjen Perbendaharaan, pekerjaan klerikal telah diselesaikan oleh teknologi. Minus growth yang diterapkan pada pengelolaan sumber daya manusia pada akhirnya mengarahkan ASN Ditjen Perbendaharaan menjadi pribadi yang harus bertumbuh secara bertahap tetapi pasti menuju kesempurnaan dalam pencapaian sasaran kinerja.

Menjaga Mental Health bagi Insan Perbendaharaan

Performa ASN tak lepas dari adanya evaluasi dan penilaian kinerja. Kompetisi dan apresiasi memang diperlukan sebagai tantangan untuk tetap menjaga semangat dalam bekerja. Namun, di ranah individu, kita sering dihadapkan pada tantangan yang seringkali tidak sejalan dengan keinginan. Untuk itu, diperlukan mindfulness dalam menghargai diri sendiri. Fokus pada pertumbuhan diri sendiri pada akhirnya menjadikan kita seorang pemelajar yang  berkelanjutan. Proses menghargai diri sendiri dalam proses berhasil dan gagal merupakan upaya bertumbuh yang memerlukan kesabaran. Namun, menurut penulis hal itu membuat kita menjadi nyaman dalam menjalani dinamika peran sebagai ASN. Pada akhirnya mindful action yang diupayakan menjadi kelezatan tersendiri untuk tidak selalu berpikir tentang validasi dan pencapaian.

Perkembangan teknologi memengaruhi bagaimana kita merespons kondisi. Disrupsi dan distraksi kini lebih masif muncul pada keseharian kita dan sering memunculkan bias pemahaman yang memengaruhi pola pikir untuk menyimpulkan sesuatu. Selain itu, menurut penulis manusia adalah kumpulan memori yang membentuk pemikiran sadar maupun bawah sadar. Dengan kumpulan memori yang tersimpan dan terbentuk atas pengalamannya, manusia dapat mempertimbangkan untuk merespons, memilih, atau  memutuskan sesuatu. Membentuk memori yang benar adalah modal utama agar dapat tepat bertumbuh. Kecerdasan memilah informasi dengan tepat menjadi faktor penting dalam menumbuhkan diri kita.

Adakalanya, distraksi di sekitar kita bisa memengaruhi kondisi mental yaitu ketika memori-memori atas pengalaman pribadi itu menuntun pada arah destruktif dan membentuk persepsi negatif yang merusak daya tahan mental. Kondisi ini menurut penulis tidak jauh berbeda dengan jasmani kita yang mungkin tidak fit atau terserang virus penyakit. Permasalahan kesehatan mental yang tidak segera ditangani dapat menimbulkan permasalahan yang lebih serius.

World Health Organization (WHO) (2022) mendefinisikan kesehatan mental sebagai “a state of mental well-being that enables people to cope with the stresses of life, realize their abilities, learn well and work well, and contribute to their community”

Di Indonesia, Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa mendefinisikan kesehatan mental sebagai “kondisi di mana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya”

Dalam kajian berjudul “Menilik Isu dan Urgensi Kesehatan Mental Pekerja Indonesia” pada laman https://microdashboard.feb.ugm.ac.id, Naufal Mohamad Firdausyan, dkk, menjelaskan bahwa perhatian terhadap masalah gangguan kesehatan mental di tempat kerja, seperti depresi dan kecemasan (anxiety), adalah hal yang penting. Buruknya kesehatan mental pegawai dapat memberikan dampak pada jumlah jam kerja yang dihasilkan, meningkatnya absensi, dan pada akhirnya menurunkan produktivitas (de Oliveira, dkk., 2022). 

Hamberg-van Reenen, dkk. (2012) juga menemukan bahwa tempat kerja yang mampu mempromosikan kesehatan mental dengan baik dan memberikan bantuan atau dukungan kepada pekerjanya yang memiliki riwayat kesehatan mental, memiliki probabilitas dalam mengurangi jumlah penurunan hari kerja (absensi) dan penurunan produktivitas saat bekerja (presenteeism), sehingga meningkatkan produktivitas pekerja itu sendiri. 

Dengan demikian, menumbuhkan growth mindset, menjaga kesehatan mental, segera menangani masalah kesehatan mental jika diperlukan, serta terbuka untuk mempromosikan kesehatan mental di tempat kerja menjadi bagian penting dalam pengelolaan sumber daya manusia. Hal tersebut berbanding lurus dengan pencapaian sasaran kinerja organisasi. 

Beruntungnya, perhatian terhadap kesehatan mental dan antisipasi terhadap masalah-masalahnya telah dilaksanakan pada Ditjen Perbendaharaan. Saat ini telah dilakukan upaya-upaya untuk menjaga kesehatan mental pegawai melalui program pembinaan mental nasional (bintalnas) yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 467 Tahun 2023. Dalam KMK tersebut terdapat empat bidang pembinaan mental yang terdiri atas bidang ideologi, bidang rohani, bidang kompetensi, dan bidang kejiwaan. Kesehatan mental pegawai menjadi fokus dari bidang kejiwaan pada bintalnas Ditjen Perbendaharaan.

Berdasarkan data dari Bagian Sumber Daya Manusia Ditjen Perbendaharaan, per 7 Oktober 2024 terdapat 6470 pegawai Ditjen Perbendaharaan, sebagian berusia di bawah 30 tahun yaitu 2234 pegawai (872 orang laki-laki dan 1362 perempuan). Hampir seluruh pegawai di usia ini adalah Gen Z. Banyak di antaranya kini tersebar di seluruh wilayah Indonesia di luar homebase pegawai. Wilayah penempatannya bervariasi dari ibu kota provinsi hingga KPPN tipe A2 pada remote area.

Dengan adanya kebijakan minus growth, pengembangan kompetensi pegawai melalui pelaksanaan tugas menjadi masif. Potensi Gen Z sangat vital bagi organisasi. Di sisi lain, organisasi perlu menjaga pegawai yang tergolong Gen Z agar potensinya tersalurkan dengan baik dan tidak terbuang. Untuk itu, filosofi program bintalnas sebagai upaya penjagaan atas aspek mental pegawai perlu diwujudkan dengan langkah nyata.

Kantor vertikal Ditjen Perbendaharaan telah diminta untuk membuat laporan bintalnas setiap semester untuk memastikan bahwa pelaksanaan bintalnas dijalankan dengan saksama. Menurut penulis, manajemen hingga level unit kantor pelayanan utamanya yang berada di remote area perlu menimbang pelaksanaan yang sesuai dengan kondisi, tepat sasaran, dan dilaksanakan berkelanjutan sesuai dengan karakteristik generasi. 

Komunikasi yang efektif sangat diperlukan agar tidak terjadi ketimpangan yang menimbulkan salah persepsi. Dalam hal ini, manajemen harus bijak memetakan tantangan yang mungkin timbul dalam pelaksanaannya, utamanya bagi pegawai pada remote area dan daerah konflik yang menurut penulis memiliki tantangan yang lebih tinggi untuk menjaga kesehatan mental.

Akhir kata, penulis menyimpulkan bahwa pemberdayaan pegawai dengan menumbuhkan pola pikir bertumbuh atau tidak berputar pada pola pikir laten yang kemudian diselaraskan dengan penjagaan terhadap kesehatan mental pegawai merupakan keseimbangan gerak dalam bertransformasi pada Ditjen Perbendaharaan. Peran pimpinan unit menjadi begitu penting dalam melaksanakan tugas tersebut.



Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi.

 

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Prijadi Praptosuhardjo II Lt. 1
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat 10710
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

   

 

IKUTI KAMI

 

PENGADUAN

 

Search

Kantor Wilayah Provinsi, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) 

(Daftar Kantor Vertikal DJPb Selengkapnya ..)