Oleh: Abd. Gafur, Kasi PPA IIA Kanwil DJPb Provinsi Maluku Utara
Krisis kerap menjadi titik balik lahirnya kebijakan yang progresif. Dalam situasi sulit, kita dipaksa untuk jujur menilai kembali arah kebijakan, termasuk bagaimana uang negara dikelola. Bad time makes a good policy rasanya kembali relevan di tengah tantangan ekonomi dan fiskal ke depan. Pandemi Covid-19, ketegangan geopolitik, perlambatan ekonomi global akibat perang dagang yang tak berkesudahan, hingga konflik militer di banyak kawasan, membuat banyak negara termasuk Indonesia harus mengelola fiskal dengan lebih disiplin dan terukur.
Kini, ketika pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mulai bekerja, tekanan ekonomi global kian nyata. Ruang fiskal makin sempit, sementara tekanan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi justru meningkat. Dalam kondisi ini, belanja pemerintah menjadi instrumen penting, penopang 54 persen PDB dari konsumsi masyarakat. Kita tidak bisa hanya bertumpu pada investasi sektor swasta atau ekspor untuk menggerakkan ekonomi. Pemerintah harus hadir.
Maka adagium lama orang tua kita dahulu “menabung pangkal kaya” rasanya tak lagi relevan. Dalam konteks hari ini, justru “belanja adalah pangkal pulih”. Tapi pulih yang seperti apa? Tentu bukan sekadar jor-joran belanja, melainkan belanja yang terarah, produktif, mampu membuka banyak lapangan kerja, sekaligus membawa manfaat jangka panjang.
Dalam semangat efisiensi yang digaungkan pemerintahan saat ini, pertanyaan kunci yang muncul adalah, siapa yang bisa secara objektif dan sistemastis menilai apakah suatu belanja efisien atau tidak?
Momentum Penguatan Spending Review
DJPb sesungguhnya telah memiliki instrumen mengukur efisiensi belanja yang dikenal sebagai spending review. Dikenalkan pertama kali pada tahun 2013 melalui Surat Edaran Dirjen Perbendaharaan Nomor SE-54/PB/2013, spending review adalah mekanisme evaluasi sistematis untuk menilai efektivitas, efisiensi, serta identifikasi ruang fiskal pemerintah.
Spending review yang dilakukan DJPb tak sekadar melihat seberapa besar realisasi, tetapi mencoba menjawab pertanyaan mendasar, apakah kegiatan ini perlu diteruskan, disederhanakan, atau justru dihentikan? Namun, sependek pengetahuan penulis, hingga saat ini hasil spending review belum sepenuhnya digunakan secara optimal dalam siklus anggaran. Bahkan setelah lebih dari satu dekade berlalu, hasil review masih lebih sering digunakan sebagai early warning system ketimbang decision-making tool. Belum terlihat bukti konkret yang membuktikan bahwa spending review telah mampu meningkatkan kualitas belanja pemerintah.
Padahal jika spending review ditempatkan dalam posisi strategis, maka seharusnya efisiensi belanja negara tidak perlu dicari-cari setiap kali ada kebijakan pengetatan anggaran. Presiden atau Menteri Keuangan cukup meminta laporan spending review DJPb untuk melihat potensi penghematan, serta rekomendasi realokasi anggaran yang lebih berdampak.
Di banyak negara, spending review bahkan telah menjadi alat pengambilan keputusan. Di Belanda misalnya. Sejak 1981, mereka telah melaksanakan lebih dari 300 spending review. Proses ini tidak hanya memberikan analisis efisiensi, tetapi juga menghadirkan alternatif kebijakan kepada pimpinan untuk memperbaiki arah belanja negara. Dalam konteks ini, DJPb bisa saja memainkan peran penting dalam merapikan lanskap fiskal nasional. Tidak hanya dari sisi evaluasi serapan semata, tetapi juga dari sisi manfaat.
Memang, sebagian besar spending review saat ini masih menyasar efisiensi teknis, seperti belanja operasional, perjalanan dinas, atau pengadaan alat tulis kantor (ATK). Namun, justru proses ini menjadi fondasi penting untuk mendorong spending review “naik kelas” menjadi strategic spending review. Spending review tidak lagi hanya sekadar review efisiensi teknis. Lebih dari itu, spending review dapat juga menilai apakah suatu program atau kegiatan memang relevan dan layak dipertahankan. Karena potensi inefisiensi terbesar sesungguhnya tersembunyi dalam struktur pembentuk Rincian Output (RO) itu sendiri.
DJPb sebagai Navigator Efisiensi Anggaran
Salah satu tantangan utama mengapa spending review belum berdampak sistemik, antara lain keterpisahan antara yang melakukan review dengan yang membuat keputusan penganggaran. Di sinilah DJPb sebetulnya memiliki posisi yang unik. Sebagai budget executor, DJPb berada tepat di jantung pelaksanaan fiskal. DJPb bukan auditor, bukan pula perancang anggaran di hulu, melainkan justru pihak yang paling paham denyut realisasi belanja secara faktual, detik per detik. Maka DJPb sangat mungkin mengisi kekosongan sebagai evaluator efisiensi belanja yang otoritatif dan berorientasi perbaikan.
Apalagi DJPb memiliki kanwil yang tersebar di seluruh Indonesia, yang berhadapan langsung dengan satuan kerja di daerah. Potensi ini membuka ruang besar untuk penguatan tidak hanya peran sebagai Regional Chief Economist (RCE), tetapi juga peran Kanwil DJPb sebagai Treasurer yang membawa suara ketidakefisienan dari bawah. Peran ini adalah bagian dari core business DJPb sebagai budget executor yang tak dimiliki lembaga lain.
Saat ini adalah momentum yang tepat untuk memperkuat posisi DJPb. Pertama, spending review perlu menjadi bagian resmi siklus anggaran ke depan. Hasilnya dibahas di forum lintas K/L, bahkan di level sidang kabinet. Kedua, penguatan metodologi berbasis data, evaluasi dampak, bukan hanya serapan. Dan terakhir, kemitraan yang lebih luas dengan civitas academica dan lembaga riset, agar ada ruang dialog, kritik dan perbaikan dari eksternal agar review menjadi makin tajam dan kontekstual. Tentu saja akan ada resistensi, terutama dari kementerian negara/lembaga (K/L) sebagaimana terjadi pada awal implementasi di Belanda. Namun, dengan pendekatan kolaboratif dan tujuan bersama, tantangan tersebut dapat mengubah review menjadi alat strategis, bukan ancaman birokratis.
Pada akhirnya, dalam kondisi fiskal kita yang penuh keterbatasan, kita harus terus-menerus beradaptasi dan menata ulang. Seperti yang kerap diingatkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, bahwa setiap satu rupiah anggaran yang dibelanjakan secara tidak efisien akan menghilangkan kesempatan untuk membangun republik ini. Karena uang negara bukan untuk dibelanjakan sebanyak-banyaknya, melainkan sebijak-bijaknya.
Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi.