Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) merupakan sebuah unit eselon II di Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPBN) yang memiliki tugas untuk menyiapkan perumusan kebijakan, standardisasi, penetapan, bimbingan teknis, evaluasi dan monitoring pengelolaan keuangan BLU. Banyak hal yang sangat menarik untuk disoroti dalam pelaksanaan pekerjaan direktorat ini. Mulai dari filosofi pembentukan BLU, penetapan sebuah satker menjadi BLU, optimalisasi layanan setelah menjadi BLU sampai dengan permasalahan-permasalahan yang dihadapi Dit. PPK-BLU saat ini.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut bermula dari pelaksanaan PP No. 23/2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU dan UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 68 dan pasal 69 yang menyatakan bahwa instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar Direktorat PPK-BLU, perbendaharaan.go.id langsung meminta keterangan kepada Direktur PPK-BLU, Bapak Hari Utama di ruang kerjanya.
Apa yang menjadi filosofi penetapan satker pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan keuangan (PK) BLU?
Dua hal yang menjadi filosofi penetapan satker pemerintah dalam menerapkan PK BLU. Pertama, untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Banyak pihak beranggapan bahwa pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat belum berjalan dengan baik. Sebagai contoh adalah RS-RS pemerintah, meskipun tarifnya lebih murah, tetapi pelayanannya juga rendah, sehingga kalah bersaing dengan RS-RS swasta. Karena apa? Karena pelayanan yang diberikan oleh RS-RS pemerintah tersebut dianggap tidak sebaik RS-RS swasta. Akibatnya, RS-RS tersebut tidak dapat berkembang dengan optimal dan pelayanan yang diberikan hanya sekedarnya saja.
Filosofi yang kedua adalah dalam rangka membenahi pengelolaan PNBP. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak satker yang mengelola dana-dana secara off-budget, dimana seharusnya dana tersebut disetor ke Kas Negara. Sebenarnya pengelolaan dana oleh satker tersebut dimaksudkan untuk tidak menghambat proses pelayanan kepada masyarakat, tetapi dalam prakteknya, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara.
Keberadaan satker BLU dengan fleksibilitasnya, diharapkan, selain dapat meningkatkan kualitas layanan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat, sekaligus dapat membenahi pengelolaan PNBP dengan lebih baik, sehingga tidak ada lagi pengeluaran yang off budget. Selain itu, satker BLU dapat lebih cepat memberikan layanan terhadap masyarakat dengan penggunaan PNBP secara langsung.
Apakah semua satker pemerintah yang melaksanakan pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan PK BLU?
Banyak orang berpikir bahwa BLU itu adalah badan. Padahal itu (BLU-red) adalah sebuah pola pengelolaan keuangan yang akan diterapkan pada satker pemerintah. Satker pemerintah yang dimaksud juga bukan berarti semuanya, tetapi satker yang sudah melakukan pelayanan kepada masyarakat dan memiliki Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang timbul karena pelayanan tersebut.
Dari PNBP itulah kemudian diterapkan Pengelolaan Keuangan (PK) model BLU. Nah, pengelolaan keuangan atas PNBP tersebut sebetulnya merupakan kewenangan Menteri Keuangan. Artinya, melalui penetapan satker tersebut, Menteri Keuangan telah menyerahkan sebagian kewenangannya (dalam pengelolaan PNBP-red) kepada satker pemerintah yang ditetapkan sebagai satker BLU.
Kriteria pelayanan yang ada masih sering diperdebatkan, yang oleh beberapa kalangan masih dianggap sebagai "grey area". Dalam pasal 4 ayat 2 PP No.23/2005 disebutkan bahwa suatu satker pemerintah dapat ditetapkan untuk melaksanakan PK-BLU sepanjang satker tersebut telah/akan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan 3 (tiga) substansi sebagai berikut: (1) Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum, (2) Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum, dan (3) Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat.
Khusus yang berkaitan dengan kriteria penyediaan barang dan jasa layanan umum, pelayanan yang bagaimana yang dapat membuat satker dapat melaksanakan PK BLU?
Kalau kita merujuk pada lembar penjelasan PP No. 23/2005, khusus mengenai pasal 4 ayat (2) tadi. Di sana disebutkan bahwa bidang layanan umum yang diselenggarakan oleh instansi dengan PPK BLU meliputi kegiatan pemerintah yang bersifat operasional dalam menyelenggarakan pelayanan umum yang menghasilkan semi barang/jasa (quasi public goods). Dengan kata lain, hanya satker pemerintah yang menghasilkan quasi public goods saja yang dapat menerapkan PK BLU, sementara satker yang melayani pure public goods (pelayanan mandatori) seperti halnya pelayanan keamanan (ABRI dan POLRI-red), pelayanan rumah tahanan, pelayanan sertifikasi tanah tidak seharusnya dapat menerapkan Pengelolaan Keuangan (PK) BLU.
Yang krusial adalah belum adanya kejelasan batas-batas yang exact mengenai quasi public goods yang seringkali menjadi perdebatan. Selama hal ini belum terjawab, maka definisi satker pemerintah yang dapat melaksanakan PK BLU juga belum dapat diuraikan secara optimal.
Sampai dengan saat ini, ada berapa jumlah satker pemerintah yang sudah ditetapkan untuk melaksanakan PK BLU?
Cukup banyak. Sampai bulan Juni 2009, sudah ada 69 satker pemerintah yang ditetapkan untuk melaksanakan PK BLU. Sebagian besar adalah Rumah Sakit 28 satker terdiri dari 13 RS ex Perjan (terbentuk secara otomatis berdasarkan PP 23/2005), dan dan 15 RS Pemerintah kemudian ada 15 Perguruan Tinggi Negeri di bawah Depdiknas dan 8 Perguruan Tinggi Negeri di bawah Depag. Mayoritas satker yang menjadi BLU memang berasal dari sektor kesehatan dan sektor pendidikan.
Apakah perbedaan atau karakteristik yang paling signifikan pada saat suatu satker pemerintah ditetapkan untuk menerapkan PK BLU?
Satker pemerintah yang ditetapkan untuk dapat menerapkan status PK BLU penuh itu diberikan 11 macam fleksibilitas sesuai dengan yang tercantum dalam PP No. 23/2005, yaitu pengelolaan pendapatan, belanja, kas, piutang dan utang, kemudian investasi, pengadaan dan pengelolaan barang, pengembangan sistem dan prosedur pengelola keuangan dan akuntansi, remunerasi, status kepegawaian: PNS dan non PNS, serta nomenklatur kelembagaan dan pimpinan.
Diantara karakteristik yang sudah disebutkan tadi, karakteristik yang menjadi incaran oleh calon satker PK BLU, yaitu ketentuan yang menyatakan diperbolehkan bagi satker PK BLU untuk melanggar azas universalitas.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam pengelolaan keuangan negara melalui sistem APBN ada satu azas yang menyatakan bahwa semua pendapatan negara harus disetor ke kas negara dan semua pengeluaran harus melalui kas negara (azas universalitas-red). Nah, dengan ditetapkannya satker pemerintah untuk melaksanakan PK BLU, maka azas universalitas ini boleh dilanggar, artinya pendapatan BLU tidak perlu langsung disetor ke rekening kas negara, melainkan boleh digunakan langsung oleh satker BLU. Namun setiap akhir triwulan satker BLU mengajukan SPM Pengesahan ke KPPN. Di sinilah peran Direktorat Pembinaan PK BLU agar fleksibilitas yang diberikan dalam pengelolaan keuangan satker BLU tidak disalahgunakan oleh satker yang bersangkutan.
Apakah pelayanan satker kepada masyarakat menjadi lebih optimal setelah ditetapkan untuk melaksanakan PK BLU?
Inilah memang yang banyak mendapat sorotan dari berbagai pihak, tetapi saya berpendapat bahwa dibutuhkan sebuah kajian lebih mendalam lagi untuk menilai apakah kinerja dan kualitas pelayanan satker masyarakat itu sudah optimal atau belum.
Mengapa demikian?
Ya, hal ini disebabkan karena sampai sekarang, Departemen Keuangan (c.q. Ditjen Perbendaharaan-red) hanya berfungsi sebagai pembina keuangan BLU. Sedangkan kewenangan pembinaan teknis pelayanan BLU merupakan tupoksi dari K/L terkait. Hal ini telah diatur dalam PP 23/2005. Tetapi, dari segi pengelolaan PNBP, keberadaan satker BLU paling tidak telah meminimalisir adanya dana-dana yang dikelola secara off budget.
Ke depan perlu ada kerjasama dengan K/L untuk mengukur optimalisasi pelayanan kepada masyarakat sehingga penerapan PK BLU telah sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Apakah ada permasalahan-permasalahan yang ditemui setelah menjadi satker BLU?
Permasalahan mendasar yang ditemui setelah suatu satker pemerintah ditetapkan menjadi satker BLU adalah peraturan-peraturan terkait PK BLU sesuai amanat PP No.23/2005 yang belum semuanya dapat terealisir. Ada beberapa fleksibilitas yang diamanatkan oleh PP tersebut yang belum dibuatkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nya. Fleksibilitas tersebut mengenai penghapusan piutang, serta kerjasama operasional. Menurut pandangan kami, tanpa ketentuan mengenai fleksibilitas tersebut, maka kegiatan operasional satker BLU belum dapat optimal.
Selain permasalahan tersebut, kendala utama dalam implementasi PK BLU adalah perubahan mindset lama ke mindset baru. Kita akui bahwa mengingat pengelolaan keuangan BLU ini merupakan konsep baru dalam konteks keuangan negara, maka pemahaman terhadap konsep tersebut perlu secara terus menerus dilakukan terhadap para stakeholders, demikian pula kepada internal Direktorat Pembinaan PK BLU sendiri.
Apakah permasalahan tersebut menganggu proses peningkatan pelayanan kepada masyarakat?
Seharusnya tidak, karena fleksibilitas dalam melanggar asas universalitas, yang diberikan kepada satker yang menerapkan PK BLU dapat dijadikan modal utama untuk meningkatkan kualitas pelayanannya. Bahkan untuk PTN-PTN (perguruan tinggi negeri -red) telah kita berikan kemudahan untuk dapat menarik langsung seluruh dana yang telah disetor ke Kas Negara, segera setelah ditetapkan menjadi BLU. Dengan kondisi seperti ini, paling tidak, satker-satker BLU telah memiliki keleluasaan untuk dapat melaksanakan kegiatannya tanpa menunggu proses pencairan dana dari KPPN, karena mereka telah mengelola sendiri PNBP-nya. Tentu saja, keleluasaan tersebut seharusnya dapat berimbas pada peningkatan layanan kepada masyarakat.
Kemudian, permasalahan yang ditemukan biasanya berada pada tataran administratif, yang salah satunya, kemungkinan besar, timbul karena kurangnya pemahaman yang gamblang terhadap peraturan-peraturan yang telah diterbitkan.
Lalu upaya apa saja yang telah dilakukan oleh Dit. PPK BLU untuk menangani permasalahan-permasalahan tersebut?
Terhadap permasalahan pengelolaan keuangan BLU yang disebabkan hal bersifat administratif karena belum adanya atau belum jelasnya peraturan, maka penyelesaiannya dilakukan dengan cara menerbitkan surat Dirjen Perbendaharaan atau surat Direktur PPK BLU. Salah satu contoh adalah surat Dirjen PBN yang diterbitkan untuk mengatasi permasalahan cut off antara sebelum dan sesudah ditetapkan menjadi BLU, yaitu S-5845/PB/2007 mengenai Pisah Batas Penggunaan PNBP yang Telah Disetor ke Rekening Kas Negara bagi Satker yang Menerapkan PK BLU.
Selain itu, melalui acara-acara pembinaan seperti, sosialisasi, bimtek atau bahkan kunjungan lapangan, telah coba kita jelaskan seluruh peraturan-peraturan terkait PK BLU, baik secara konsep maupun pelaksanaannya. Kemudian, kita juga sudah sediakan helpdesk, baik melalui telpon, fax maupun website, apabila satker-satker BLU akan menyampaikan permasalahan-permasalahan untuk mendapatkan solusinya.
Mengenai peraturan-peraturan yang belum terselesaikan, sampai saat ini pembahasan dengan unit-unit terkait masih terus dilakukan. Keterlibatan unit-unit terkait tersebut sangat vital, karena pada dasarnya satker BLU adalah satker pemerintah yang dalam menjalankan fungsinya tentu saja harus berpedoman pada peraturan-peraturan yang telah ada. Flekisibilitas sesuai amanat PP 23/2005, di sisi lain, memerlukan fleksibilitas pula dari aturan-aturan yang telah ada untuk diterapkan pada satker-satker BLU. Ini diperlukan agar tujuan satker BLU sebagaimana dimaksud dalam PP 23/2005 dapat tercapai.
Apakah fokus Dit. PPK BLU saat ini?
Pertama, Direktorat PPK BLU ingin menyelesaikan peraturan-peraturan terkait dengan PP No.23/2005 dan peraturan lain yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan kegiatan dan pertanggungjawaban dana yang berada di BLU. Untuk itu, kami melakukan banyak pertemuan dengan pihak-pihak terkait termasuk dengan satker BLU untuk dapat merumuskan suatu peraturan yang tidak saja masih dalam koridor pengelolaan keuangan negara yang baik, tetapi sekaligus applicable di level satker BLU sehingga dapat meningkatkan layanan masyarakat.
Kedua, peningkatan kapasitas dan kompetensi pegawai Dit PPK BLU melalui berbagai macam diklat agar dapat mengikuti perkembangan satker BLU yang sangat beragam. Ini sangat penting karena berada di Dit PPK BLU berarti kita harus paling tidak tahu proses penganggaran mulai dari perencanaan sampai dengan pertanggungjawabannya, ditambah dengan pengelolaan aset-asetnya.
Harapan Bapak dengan Dit PPK BLU?
Dit PPK BLU perlu dukungan dari berbagai pihak untuk dapat mengembangkan kinerja satker BLU sehingga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Dukungan berbagai pihak ini sangat crucial, mengingat keberadaan PK BLU yang relatif merupakan konsep baru serta rentang tugas Dit PPK BLU yang sangat lebar seperti telah disebutkan tadi. Mulai dari perencanaan sampai dengan pertanggungjawaban anggaran, belum lagi pengelolaan aset, kemudian utang dan piutang yang memang tercantum dalam PP 23/2005. Rentang tugas tersebut merupakan kewenangan dari beberapa eselon I Departemen Keuangan, sehingga tanpa adanya koordinasi dan kesepahaman, hampir mustahil bagi kami untuk sendirian menyusun peraturan yang akan menjadi pedoman bagi pelaksanaan layanan BLU di masyarakat. Keberhasilan BLU dalam meningkatkan layanan kepada masyarakat adalah andil Departemen Keuangan, demikian juga sebaliknya, kegagalan BLU akan membawa dampak negatif bagi Departemen Keuangan secara keseluruhan.
Oleh: Tonny (Pengembangan Pegawai), Tunas Agung (Dit. BLU) & Fajar (CPNS magang di SMI)
- Wawancara
- Dilihat: 15070