Pasca-krisis politik dan ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1998, terjadi perubahan fundamental pada berbagai aspek kehidupan bangsa, termasuk tata pemerintahan. Perubahan ini kemudian melahirkan era baru pada sistem birokrasi di Indonesia dalam memperkuat pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, tak terkecuali pada pelaksanaan fiskal di daerah. Desentralisasi memberikan konsekuensi pada pola hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman di setiap daerahnya. Selama ini, peraturan terkait Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Kebijakan desentralisasi fiskal yang telah berlangsung selama hampir dua dekade ini turut memengaruhi kebijakan alokasi Transfer ke Daerah (TKD) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pengaruh ini salah satunya dapat dilihat dari tren alokasi yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kebijakan ini memang cukup berdampak positif, dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi di beberapa daerah. Namun, sayangnya hal tersebut belum diikuti dengan peningkatan perbaikan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat yang signifikan sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang.
Oleh karena itu, pemerintah menilai perlu melakukan penyempurnaan undang-undang yang mengatur terkait Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Atas latar belakang tersebut, pemerintah melalui Kementerian Keuangan bersama DPR RI melakukan perubahan sekaligus mengganti UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah dengan UU tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) yang baru disahkan pada 7 Desember 2021.
Tujuan dari UU HKPD tersebut ialah untuk mewujudkan alokasi sumber daya nasional yang efisien dan efektif melalui HKPD yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan guna pemerataan kesejahteraan masyarakat di seluruh Indonesia. Pada konferensi pers pasca Rapat Paripurna Pengesahan RUU HKPD, Menteri Keuangan menjelaskan bahwa UU HKPD berlandaskan pada 4 pilar utama yang akan memperkuat pelaksanaan desentralisasi fiskal. Pilar pertama adalah mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam menurunkan ketimpangan vertikal (antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota) dan ketimpangan horizontal (antar pemerintah daerah pada level yang sama). Pilar kedua adalah mengembangkan sistem pajak daerah yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien. Pilar ketiga adalah mendorong peningkatan kualitas belanja daerah, dan pilar keempat adalah harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal.
Berdasarkan Rapat Dengar Pendapat terbuka yang pernah diselenggarakan DPR RI saat penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada Juli 2021 lalu, skenario yang dibangun dalam HKPD tidak terlalu memberikan dampak pada sisi APBN, tetapi berdampak pada sisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pengaturan dalam HKPD juga berpotensi meningkatkan pendapatan daerah terutama yang berasal dari peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Selain itu reformulasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) dan TKD pada UU HKPD ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat kemandirian fiskal daerah. UU HKPD juga mendorong perbaikan kualitas pengelolaan keuangan daerah secara holistik. Terdapat beberapa pasal yang mendorong reformasi kebijakan penganggaran daerah dari seluruh elemen APBD.
Pada dasarnya, tujuan utama dari UU HKPD ini adalah untuk mendorong pemerataan kesejahteraan ekonomi daerah melalui instrumen keuangan negara. Sesuai dengan amanat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, Pengelolaan Keuangan Negara dikuasakan dari Presiden kepada Menteri Keuangan selaku Chief Financial Officer (CFO) dan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Chief Operating Officer (COO), serta diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota dalam pengelolaan keuangan daerah. Hal ini berkaitan erat dengan peran salah satu unit eselon 1 Kementerian Keuangan yaitu Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) khususnya Kantor Wilayah (Kanwil) yang berada di setiap provinsi di Indonesia. Selain berperan sebagai representasi Kementerian Keuangan di daerah, Kanwil DJPb juga memegang peran sebagai Regional Chief Economist (RCE) dalam pelaksanaan APBN dan analisis ekonomi serta fiskal di daerah. Bersamaan dengan implementasi UU HKPD nanti, Kanwil DJPb sebagai RCE dapat mengoptimalkan perannya sebagai garda (pengawal) penguatan pelaksanaan desentralisasi fiskal dan pemerataan kesejahteraan di daerah.
Pada Preliminary Focus Group Discussion (FGD) Pejabat Administrator Triwulan IV Tahun 2021, beberapa hal yang dapat dilakukan Kanwil DJPb dalam rangka penguatan perannya sebagai RCE, di antaranya adalah dengan meningkatkan kualitas Kajian Fiskal Regional, peningkatan ini tidak hanya pada aspek deskriptif namun diharapkan mampu memunculkan rekomendasi dapat digunakan sebagai feedback bagi formulasi kebijakan pemerintah daerah dan Kementerian Keuangan. Kanwil DJPb juga dapat meningkatkan kapasitas dan pemanfaatan data dan informasi terkait kebijakan fiskal, APBN, APBD, dan indikator makro ekonomi dan meningkatkan keselarasan kebijakan fiskal nasional dan regional, serta mengharmoniskan pembangunan di daerah dengan program prioritas nasional. Semua hal ini diharapkan dapat memberikan kontribusi aktif dan positif dalam upaya peningkatan ekonomi di daerah serta kesejahteraan masyarakat.
Sebagai insan perbendaharaan yang bertugas memastikan setiap rupiah dari APBN tersalurkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, penulis berharap bahwa amanah baru Kanwil DJPb sebagai RCE dan implementasi UU HKPD yang baru saja disahkan oleh DPR mampu menjadi penguat kebijakan desentralisasi fiskal serta dapat menjadi instrumen yang strategis untuk mendukung perbaikan pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, perluasan kesempatan kerja, dan pengurangan kesenjangan. Tentunya hal tersebut perlu didukung dengan sinergi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang perlu untuk terus ditingkatkan agar perumusan kebijakan dan pelaksanaannya dapat berjalan harmonis dan produktif dalam mengoptimalkan pengelolaan seluruh instrumen desentralisasi fiskal.
Oleh: Nita Safira, Kanwil DJPb Provinsi Kalimantan Barat
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi