O P I N I

Disclaimer: “Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan instansi/organisasi manapun.

Kereta dan Pemerintah: Sebuah Metafora

Oleh: Pringadi Abdi Surya, Direktorat Sistem Perbendaharaan

(Juara I Lomba Esai Populer Rakornas PA tahun 2022)

 

Kereta tertahan di sinyal masuk Manggarai. Entah akan berapa lama. Situasi seperti ini sering terjadi bagi para pekerja yang menggunakan moda transportasi KRL Jabodetabek. Mungkin awalnya kami akan mengeluh. Namun lama-lama, kami sadar apa yang terjadi adalah akibat dari pilihan, dengan faktor tambahan hampir mustahil punya rumah di Jakarta dengan penghasilan PNS. Akibatnya, pilihan mukim jatuh ke daerah-daerah di sekitar Depok, Bogor, Parung Panjang, atau Bekasi—meski kantornya berada di Jakarta. 

Waktu yang dihabiskan semua orang dalam perjalanan itu sama, tapi kualitasnya bisa berbeda-beda. Ada yang hanya menjadi limbah waktu karena tidak melakukan apa-apa di dalam kereta. Ada yang memaksimalkannya dengan membaca, mengaji, atau melakukan hal lain yang lebih produktif. 

Setiap orang memilih kualitas apa yang dapat dihadirkan di hidupnya. Dan dalam konteks itu, Pemerintah juga memilih kualitas dalam belanjanya. Bukan semata menghabiskan uang dan membiarkan uang itu menggerakkan roda perekonomian. Tetapi kebijakan yang tepatlah yang dapat memaksimalkan APBN sebagai stimulus fiskal itu. 

Jacob Lew mengatakan bahwa anggaran itu bukanlah hanya tentang angka, melainkan bentuk dari nilai-nilai dan aspirasi masyarakat. Karena itu, membicarakan kualitas belanja pemerintah juga harus dimulai dari kualitas perencanaan sebagaimana siklus penganggaran itu sendiri.

Di dalam Indonesia Public Expenditure Review 2020, bagian Improving Expenditure Management for Better Quality of Spending yang dirilis World Bank, diungkapkan bahwa ada deviasi yang besar antara Renstra dengan APBN. Hal ini menunjukkan adanya kelemahan mendasar dalam hal mengatribusikan biaya dan juga mendefinisikan target outcome.

Hal ini sebenarnya bukan isu yang baru. Ketidaksinambungan penerapan pendekatan money follow program kerap terjadi. Ada perbedaan definisi program di dokumen perencanaan dan penganggaran.

Di sisi lain, sebagaimana kita tahu, anggaran kita cenderung terbatas, ditambah ruang fiskal yang lebih terbatas. Karena itu Pemerintah dihadapkan pada keharusan untuk membelanjakan uangnya secara efektif dan efisien di semua jenis belanja. 

Mihaly Fazekas jauh-jauh hari telah mendefinisikan empat pilar kualitas belanja publik. Pertama, ia mensyaratkan adanya transparansi. Kedua, kompetisi. Ketiga, administrasi yang efisien. Dan keempat, kontrol atas korupsi. 

Transparansi ini menyiratkan bahwa informasi tentang pengadaan publik harus tersedia dalam bentuk yang tepat, dapat diandalkan, dan terstruktur untuk publik secara keseluruhan atau perwakilannya. Transparansi harus memperhatikan semua informasi yang berkaitan dengan proses dan hasil pengadaan publik seperti undang-undang umum, peraturan, keputusan pengadilan, keputusan administratif, prosedur dan kebijakan pengadaan publik, statistik kegiatan pengadaan, dan prosedur individu dan keputusan penghargaan. 

Sementara itu, pilar kompetisi menghendaki efek yang menguntungkan dari banyak penawar yang bersaing satu sama lain dimanfaatkan untuk mencapai harga rendah, kualitas tinggi, dan pengiriman barang, pekerjaan, dan jasa yang dibeli tepat waktu. Efek menguntungkan tersebut muncul ketika persaingan ketat, terbuka, dan adil, sehingga calon penawar memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi. 

Tentu kedua hal ini di atas kertas sudah diterapkan di Indonesia. Hanya saja dalam konteks perencanaan, transparansi dan kompetisi ini masih bisa dipertanyakan. 

Keterbatasan anggaran itu membuat Pemerintah harus memilih proyek mana yang dikerjakan terlebih dahulu. Hari-hari belakangan misalnya, orang bertanya tentang urgensi pemindahan ibu kota. Tentu masyarakat tak bisa menerima jika ini hanyalah berupa keputusan politik. Karena itu perlu ada semacam capital budgeting yang memadai untuk segala macam proyek yang dilakukan pemerintah.

Kebijakan publik itu adalah what to do or not to do by the government. Dalam konteks pendidikan politik yang baik, Pemerintah perlu menjelaskan kepada publik secara ilmiah, dari sisi pro dan kontranya, kenapa setiap kebijakan itu dipilih. 

Dalam hal ini, sebenarnya Pemerintah telah melakukan banyak pembelajaran. Salah satunya dalam dalam Knowledge Sharing Program (KSP) dengan Korea Selatan 2017/2018 dengan tema meningkatkan efisiensi dan efektivitas belanja infrastruktur dengan cara meningkatkan manajemen investasi publik dan meningkatkan kinerja pelaksanaan anggaran untuk mencapai kredibilitas anggaran, kualitas yang baik, efektif dan efisien dari belanja publik melalui peningkatan strategi monitoring dan evaluasi, serta spending review-nya. 

Salah satu hasil pembelajaran itu adalah tentang bagaimana secara serius Pemerintah Korea Selatan melakukan analisis biaya manfaat dalam pembangunan proyek-proyeknya yang dilakukan secara independen oleh para akademisinya. Dan hasil itu kemudian berpengaruh ke struktur pembiayaannya. Swasta turut berperan besar di dalamnya. Sebab, sumber dana yang digunakan tidak hanya berasal dari APBN, tetapi juga dari dana yang didapatkan BUMN, dan pinjaman dari donor atau pasar modal yang jumlahnya substansial disediakan oleh sektor privat. 

Semua langkah itu adalah upaya untuk menjamin efektivitas dan efisiensi bahkan sebelum proyek dimulai. Sayangnya, kita masih belum terlalu serius untuk melakukan capital budgeting yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, yang dalam konteks dimensi atau kualitas belanja itu, menodai transparansi tentang kenapa suatu proyek mesti dilakukan dan kompetisi tentang kenapa proyek A terlebih dahulu yang dipilih untuk dikerjakan dibanding proyek-proyek lain. 

Hal ini juga berkaitan erat dengan pilir berikutnya yakni efisiensi administrasi yang bertujuan untuk meminimalkan biaya untuk mencapai hasil pengadaan publik. Menurut Rothstein dan Teorell (2019) hal inilah yang menandai bahwa kecukupan desain proyek dan rasio biaya-manfaat dari desain alternatif tidak diperhitungkan dalam dimensi ini. Ada kecenderungan untuk sangat menyederhanakan analisis. 

Kabar baiknya adalah dari sisi evaluasi, kinerja anggaran sudah cukup proporsional dilihat dari realisasi penyerapan anggaran, efisiensinya, dan optimalisasinya. Bagaimana kemudian kita dapat mencapai suatu tujuan sehemat mungkin, dan yang tersisa dari itu dapat dioptimalkan untuk pencapaian output tambahan.

Namun, pekerjaan rumah berikutnya adalah menilai efektivitas dari belanja tersebut. Sebab, di sini kita perlu secara serius mengevaluasi dari apa-apa yang telah ditetapkan sebagai target/outcome

Dalam sebuah debat tentang defisit anggaran, Stiglitz pernah mengungkapkan, bahwa hal terpenting adalah melihat apakah tujuan defisit itu tercapai. Dalam konteks belanja, apakah tujuan belanja itu tercapai. 

Ada banyak kritik tentang ini. Di masyarakat sering kita saksikan pembangunan pasar atau terminal yang gagal. Ketika dibangun tempat yang baru, dipindahkan, justru pasarnya sepi pembeli. Alih-alih meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pedagang malah gulung tikar. Dalam kasus terminal pun demikian, entah apa yang salah, terminal sepi. Angkutan umum enggan mangkal di dalam terminal tersebut. 

Secara makro, bisa saja kita mengukur pertumbuhan ekonomi di sebuah wilayah dikaitkan dengan belanja infrastruktur misalnya. Ada banyak penelitian tentang itu. Dan hasilnya beragam dengan dominan positif. Tetapi patut kita renungkan yang pernah ditulis Romer, bahwa makro dekat dengan pseudosains karena tidak menggambarkan keadaan sebenarnya. Maka kini orang banyak meneliti tentang pertumbuhan ekonomi inklusif untuk melihat apakah ada pemerataan di sana dan benar-benar secara simultan belanja yang dilakukan pemerintah, selain meningkatkan pendapatan per kapita, juga mengurangi angka pengangguran dan tingkat kemiskinan. 

Di sini muncul ruang bagi Ditjen Perbendaharaan sebagai representasi Menteri Keuangan di daerah—bagaimana bisa mengeksplorasi dengan mengkaji kualitas belanja per regional, bukan dengan data sekunder, melainkan menggalinya langsung dari masyarakat (primer). 

Sebelum itu, masyarakat pun turut dilibatkan untuk turut mengetahui bagaimana belanja di regionalnya. Mungkin lewat web, transparansi atas proyek proyek yang akan dilakukan di regional tersebut dapat dilihat. Ini menjadi ada kaitannya dengan poin keempat, yakni kontrol atas korupsi. Masyarakat yang tahu informasi akan menjadi lini pertama dari kontrol atas korupsi tersebut.

Pikiran-pikiran seperti ini muncul di dalam gerbong kereta yang sesak dan penuh penumpang. Sebab pemerintah seperti kereta itu. Tertahan di sinyal masuk Manggarai, kadang entah untuk berapa lama. Penumpang lelah dan hanya disuruh menunggu tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Kereta yang isinya adalah kelas pekerja yang harus menyingkir jauh dari ibukota demi mencari rumah. Dan melihat rumah-rumah subsidi di daerah antah-berantah yang kadang tanahnya masih bermasalah dan dibeli orang yang tak berhak atas nama investasi. 

Di situ juga kadang muncul pertanyaan, apa gunanya rumah subsidi yang begitu jauh dari pusat kota. Hanya karena murah tetapi menimbulkan limbah waktu yang bisa saja dikuantifikasi menjadi kerugian material dari tidak produktifnya manusia di perjalanan. Meski di sisi lain, rumah-rumah yang jauh ini mendatangkan orang-orang baru, menjadi penghuni yang meramaikan daerah-daerah yang sepi sehingga bergeliat perekonomiannya. 

Memang tak pernah ada yang sempurna dari kebijakan. Sebab segalanya selalu punya pro dan kontra. Tetapi alangkah indahnya jika apa pun yang dipilih telah menegakkan empat pilar tadi.

Dalam konteks kereta, sebelum masuk Manggarai, di Stasiun Tebet misalnya, tak ada salahnya memberitahukan penumpang bahwa ada gangguan tertentu. Bagi yang buru-buru dipersilakan turun terlebih dahulu dan melanjutkan perjalanan dengan moda transportasi lain. Ketimbang berhenti di tempat yang tak tentu dengan pintu tak bisa dibuka, pendingin yang tak menyala, dan kita hanya bisa menunggu sampai ke tujuan. 

 

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Prijadi Praptosuhardo II Lt. 1
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat 10710
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

 

 

IKUTI KAMI

 

PENGADUAN

 

 

Search

Kantor Wilayah Provinsi, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) 

(Daftar Kantor Vertikal DJPb Selengkapnya ..)