Oleh: Mashuriyanto, Pegawai pada Subbagian Manajemen Risiko Sekretariat DJPb
Perubahan merupakan suatu kondisi yang pasti dialami baik oleh individu maupun organisasi, yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti perubahan zaman, teknologi, kebijakan, dan ilmu pengetahuan. Sebagaimana teori seleksi alam, untuk mempertahankan eksistensi diperlukan penyesuaian ketika terjadi perubahan melalui proses transformasi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), transformasi merupakan perubahan yang terjadi pada sesuatu, sehingga sesuatu itu tampak berbeda dari sebelumnya baik dalam bentuk, sifat, maupun fungsinya. Transformasi dapat mencakup perubahan budaya/nilai-nilai, praktik/cara kerja, maupun sumber daya manusia (SDM).
Sebagai organisasi yang adaptif dan dinamis, Ditjen Perbendaharaan telah melakukan berbagai transformasi baik dari sisi tata kelola organisasi maupun pengembangan SDM yang diawali dari lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Lahirnya undang-undang terkait Perbendaharaan Negara yang merupakan bagian dari paket Undang-Undang Bidang Keuangan Negara menjadi tonggak reformasi keuangan di Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Transformasi Perbendaharaan telah dijalankan secara nyata dengan keberhasilan dalam modernisasi perbendaharaan seperti penerapan Digital Payment (Digipay), Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN), SAKTI, dan pembentukan Regional Chief Economist (RCE).
Tentunya di balik keberhasilan dalam mentransformasikan perbendaharaan konvensional menuju perbendaharaan modern terdapat berbagai kendala dan tantangan yang apabila tidak dikelola dengan baik akan menjadi risiko yang berpotensi menggagalkan sasaran yang telah direncanakan. Sebagai salah satu instrumen pengendalian, manajemen risiko menjadi tools untuk mengendalikan kendala dan tantangan yang berpotensi memengaruhi organisasi secara negatif maupun meningkatkan manfaat dari peluang yang berpotensi mempengaruhi organisasi secara positif.
Keberhasilan transformasi tersebut juga mencerminkan keberhasilan Ditjen Perbendaharaan dalam mengendalikan risiko-risiko negatif yang berpotensi terjadi. Pengendalian tersebut dilakukan melalui awareness dan komitmen terhadap pengelolaan risiko yang diwujudkan dengan assessment dan penuangan isu-isu maupun sasaran kinerja yang strategis bagi organisasi ke dalam piagam dan profil risiko organisasi secara tahunan. Adapun mengacu data profil dan laporan pemantauan risiko organisasi di tahun 2023, pengelolaan risiko atas beberapa isu maupun sasaran kinerja strategis Ditjen Perbendaharaan berkorelasi terhadap ketercapaian berbagai sasaran utama dalam proses transformasi organisasi. Hal tersebut tecermin sebagaimana data sebagai berikut:
Pengaruh Pengelolaan Risiko terhadap Keberhasilan Transformasi
No. |
Risk Event |
Positive Impact |
---|---|---|
1 |
Terhambatnya transisi aplikasi Digipay Eksisting ke Digipay Satu (level risiko turun dari tinggi ke rendah) |
Tercapainya target Satker Digipay Satu yang berhasil dimigrasi >100% (13.775 satker dari target 12.311 satker). |
2 |
Layanan sistem utama perbendaharaan tidak dapat diakses (SPAN, SAKTI, MPN) (level risiko turun dari sangat tinggi ke rendah) |
Terselesaikannya seluruh tahapan migrasi/perpindahan perangkat infrastruktur TIK DJPb dari Gedung Data Center Lama ke Gedung Smart Data Center Pusintek. |
3 |
Operasionalisasi dan pengembangan Sistem SAKTI terhambat (level risiko turun dari tinggi ke rendah) |
Penurunan gangguan dalam implementasi Tanda Tangan Elektronik (TTE) Tesertifikasi pada SAKTI dan proses pengembangan menu SAKTI Valas untuk satker perwakilan RI di luar negeri telah berhasil dilaksanakan. |
4 |
Pengembangan Data Analytics SIKRI dilaksanakan belum secara optimal (level risiko turun dari sedang ke sangat rendah) |
Sebanyak 99,8% (545 dari total 546 data Pemda telah memenuhi kebutuhan Data Analytics SIKRI dan seluruh tahapan pengembangan Data Analytics SIKRI telah mencapai 100%. |
5 |
Implementasi RCE di tiap wilayah tidak berjalan dengan optimal (level risiko dapat dipertahankan di level sangat rendah) |
Capaian kinerja tingkat implementasi efektivitas Kemenkeu Kewilayahan sebesar >90 dan pelaksanaan RCE di wilayah yang makin settle seperti melalui pelaksanaan press release APBN. |
Sumber Data: Laporan Pemantauan Manajemen Risiko UPR-One DJPb TW IV 2023 (Diolah)
Selanjutnya, proses transformasi bukan hanya memengaruhi dari sisi tata kelola dalam proses bisnis organisasi, melainkan juga memengaruhi dari sisi tata kelola SDM. Kendala dan hambatan yang terjadi selama proses transformasi dalam kedua sisi tersebut harus dipetakan dan dimitigasi secara tepat sehingga tidak berpotensi terjadi “snowball effect” yang berdampak makin signifikan bagi organisasi apabila tidak ditanggulangi sedari dini.
Adapun pelaksanaan manajemen risiko yang baik di DJPb tecermin dari pengaruhnya terhadap aspek-aspek sebagai berikut:
No. |
Aspek yang Terdampak |
Deskripsi |
---|---|---|
1 |
Kepatuhan (Compliance) Pegawai |
|
2 |
Kepercayaan (Trust) Stakeholders |
|
3 |
Kredibilitas Organisasi |
|
Sumber Data: Laporan Pemantauan Manajemen Risiko UPR-One DJPb TW IV 2023 (Diolah)
Data sebagaimana dijelaskan di atas menjadi bukti konkret bahwa pelaksanaan manajemen risiko yang baik akan mendukung ketercapaian transformasi secara optimal tanpa menimbulkan efek-efek negatif baik kepada internal maupun eksternal organisasi. Sebagai salah satu institusi pemerintahan, DJPb telah berhasil tumbuh dan berkembang menjadi unit yang bertransformasi menjadi Pengelola Perbendaharaan Negara yang Modern dengan tetap mempertahankan bahkan meningkatkan tugas pokok dan fungsinya sebagai garda terdepan pengelola APBN.
Pandangan maupun stigma yang menyatakan bahwa “risiko merupakan hal yang harus ditutupi” perlu kita hilangkan bersama-sama. Kesadaran kita terhadap risiko justru membuat kita maupun organisasi makin tangguh dan siap untuk menghadapi masalah ataupun kendala yang berpotensi terjadi. Organisasi yang memiliki kesadaran terhadap risiko tumbuh menjadi organisasi yang berani untuk mengambil langkah ke depan, berani untuk bertransformasi, dan berani untuk menghadapi potensi risiko kedepan melalui strategi penyiapan berbagai mitigasi risiko yang efektif. Sebaliknya organisasi yang acuh terhadap risiko justru tumbuh menjadi organisasi yang stagnan karena takut akan bertransformasi dan tidak siap untuk menghadapi potensi risiko ke depannya. Selanjutnya, organisasi yang acuh terhadap risiko cenderung tidak dapat mengendalikan masalah atau kendala yang pada akhirnya membawa organisasi tersebut ke dalam kegagalan. Transformasi merupakan sebuah pilihan, apakah siap akan konsekuensi berupa timbulnya potensi risiko atau justru tidak siap.
Oleh karena itu, kesadaran terhadap risiko (risk management awareness) perlu dipupuk menjadi suatu kebiasaan dalam keseharian (risk management habit) yang dijalankan secara berkelanjutan sehingga melekat dan menjadi jati diri organisasi melalui terciptanya budaya sadar risiko (risk management culture) sehingga menciptakan organisasi yang tangguh dan percaya diri terhadap kemampuan organisasinya dalam bertransformasi.
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi.