Arah hubungan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah ke depan telah ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yaitu alokasi sumber daya nasional yang efisien dan efektif melalui hubungan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang transparan, akuntabel dan berkeadilan guna mewujudkan pemerataan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyusunan Undang-Undang ini bukanlah bertujuan untuk resentralisasi, tetapi merupakan upaya untuk penguatan akuntabilitas dan harmonisasi kebijakan antara pusat dan daerah.
Terdapat 4 pilar yang melandasi penyusunan Undang-Undang ini. Pilar pertama, meminimalisir ketimpangan vertikal antara jenjang pemerintahan baik pusat, provinsi, kabupaten, dan kota, serta ketimpangan horizontal antar pemerintah daerah pada level yang sama. Untuk itulah terdapat beberapa perbaikan dalam kebijakan khususnya terkait Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) untuk meminimumkan ketimpangan tersebut, yaitu dengan melakukan reformulasi DAU dengan presisi ukuran kebutuhan yang lebih tinggi di mana DAU untuk masing-masing daerah dialokasikan berdasarkan Celah Fiskal tidak lagi menambah formula Alokasi Dasar.
Selanjutnya, DAK yang lebih difokuskan untuk prioritas nasional sehingga DAK Reguler dilebur dalam formulasi DAU. Pengelolaan Transfer ke Daerah yang berbasis kinerja di mana pemerintah juga dapat memberikan insentif fiskal bagi Pemerintah Daerah sebagai apresiasi kepada daerah yang memiliki kinerja baik dalam memberikan layanan publik dengan kriteria tertentu. Selain itu adanya perluasan skema pembiayaan daerah secara terkendali dan hati-hati, di mana saat ini sudah bisa menggunakan skema Sukuk Daerah yang sebelumnya hanya Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah. Selanjutnya sinergi pendanaan lintas sumber pendanaan yang ada berupa sinergi pendanaan APBD dan Non-APBD seperti Belanja K/L, BUMN/D, Swasta, dan Kerja Sama dengan Pemerintah Daerah lain.
Pilar kedua yaitu mengembangkan sistem pajak daerah dengan mendukung alokasi sumber daya nasional yang lebih efisien. Kebijakan yang dirumuskan dalam menguatkan sistem perpajakan daerah yaitu melalui harmonisasi pengaturan dengan tetap memberikan dukungan terhadap dunia usaha, mengurangi retribusi atas layanan wajib yang sudah seharusnya menjadi kewajiban Pemerintah Daerah dengan melakukan rasionalisasi retribusi dari 32 menjadi 18 layanan, menciptakan basis pajak baru melalui sinergi Pajak Pusat dengan Pajak Daerah berupa konsumsi, properti, dan sumber daya alam. Selain itu adanya opsen perpajakan daerah antara Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai penggantian skema bagi hasil dan penyesuaian kewenangan berupa Opsen Pajak Kendaraan Bermotor, Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan. Opsen beberapa 3 jenis Pajak Daerah tersebut tidak akan menambah beban bagi Wajib Pajak tetapi split langsung pembayaran Wajib Pajak ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Pilar ketiga yaitu mendorong peningkatan kualitas belanja di daerah karena belanja daerah didanai dari uang rakyat, baik berupa pajak daerah maupun transfer dari Pemerintah Pusat. Oleh sebab itu, menjadi sebuah keharusan untuk bisa memberikan dampak yang maksimal bagi kesejahteraan masyarakat di daerah. Untuk meningkatkan kualitas belanja daerah tersebut, dalam Undang-Undang ini diarahkan untuk penguatan disiplin penganggaran dan sinergi belanja daerah, pengelolaan TKDD berbasis kinerja dan TKDD diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik. Pengaturan belanja daerah yang diatur dalam Undang-Undang ini antara lain batasan belanja pegawai maksimal 30 persen, batasan belanja infrastruktur layanan publik minimal 40 persen selain kewajiban pemenuhan belanja wajib yang lain sesuai dengan amanat pengaturan perundang-undangan. Berdasarkan data di DJPK, saat ini belanja APBD didominasi oleh belanja pegawai dengan rata-rata mencapai 32,4 persen, bahkan untuk beberapa daerah ada yang mencapai sekitar 50 persen, sedangkan untuk besaran belanja infrastruktur sangat rendah, baru mencapai 11,5 persen. Pemenuhan baik belanja pegawai dan belanja infrastruktur tersebut tidak dilakukan sekaligus namun dilakukan secara bertahap selama 5 tahun dan 3 tahun.
Pilar keempat yaitu harmonisasi belanja pusat dan daerah, agar dapat menyelenggarakan pelayanan publik yang optimal sekaligus tetap menjaga kesinambungan fiskal. Dalam RUU HKPD dirumuskan desain Transfer ke Daerah yang dapat berfungsi sebagai counter-cyclical policy, penyelarasan kebijakan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, pengendalian defisit APBD, dan refocusing APBD dalam kondisi tertentu. Selain itu juga perlunya sinergi Bagan Akun Standar (BAS) sehingga dapat dilakukan penyelarasan program, kegiatan, dan output.
Penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah diperlukan sebagai upaya gotong-royong untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang ditetapkan dan banyaknya jenis program dan kegiatan yang ada di daerah dapat membuat daerah tidak fokus apa yang harus dilakukan. Jumlah program dan kegiatan di daerah mencapai 29.623 program dan 263.135 kegiatan, jumlah yang sangat banyak membuat alokasi untuk masing-masing menjadi kecil.
Hadirnya Undang-Undang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah ini diharapkan dapat memperbaiki desain desentralisasi dan juga otonomi daerah yang sudah ada sejak tahun 2001 sehingga bisa berkelanjutan serta akuntabel. Selain itu, Undang-Undang ini dapat memperkuat peran serta Pemerintah Daerah dalam bersinergi dengan Pemerintah Pusat untuk bersama-sama mencapai kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan, dari Sabang hingga sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.
Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak merepresentasikan sikap atau pendapat tempat penulis bekerja