Organisasi sektor publik di Indonesia masih dinilai sebagai lembaga yang inefisiensi, pemborosan, dan sumber kebocoran anggaran. Konsep value for money yang terdiri dari tiga elemen utama, yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas diharapkan menjadi dasar pengelolaan organisasi sektor publik di Indonesia (Mardiasmo, 2018).
Berdasarkan laporan Indonesia Public Expenditure Review 2020 yang dikeluarkan oleh The World Bank, kemajuan pembangunan Indonesia sangat luar biasa selama 20 tahun terakhir, didukung oleh stabilitas makroekonomi dan pengelolaan fiskal yang hati-hati. Namun, Indonesia masih menghadapi kesenjangan sumber daya manusia dan infrastruktur yang besar yang menghambat daya saing, dan kemampuan untuk menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan dalam jangka menengah. Pandemi Covid-19 yang sedang berlangsung pada tahun 2020 mempersulit penutupan kesenjangan ini dengan ruang fiskal yang lebih rendah.
Indonesia perlu segera meningkatkan ruang fiskal dan cakupan sumber daya secara keseluruhan, dengan meningkatkan mobilisasi pendapatan domestik khususnya pemungutan pajak, realokasi belanja subsidi yang buruk dan regresif, dan memobilisasi pembiayaan infrastruktur dari sektor swasta, dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengeluaran publik untuk memaksimalkan dampaknya terhadap hasil pembangunan.
Dalam rangka mendorong efisiensi pengeluaran publik, pemerintah baik pempus maupun pemda sudah mulai melaksanakan pengukuran kinerja. Di pempus, kita tidak asing lagi dengan tools Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran atau disingkat IKPA. Di pemda juga dilakukan evaluasi melalui laporan kinerja satker pemda, baik dari sisi
capaian realisasi fisik maupun keuangan. Selain itu, satker pempus di tingkat kementerian/lembaga dan pemda juga menyusun Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (LAKIP) yang disampaikan kepada Menteri Keuangan paling lambat tanggal 15 Maret tahun anggaran berikutnya.
Namun demikian, evaluasi kinerja satker pempus dan pemda melalui IKPA dan LAKIP masih menggunakan pendekatan kepatuhan terhadap regulasi (compliance) dan kuantitas capaian output. Misalnya penyusunan LAKIP oleh pemda masih terindikasi lebih untuk memenuhi persyaratan peraturan daripada secara normatif membuat organisasi mereka lebih efektif dan efisien (Akbar et al, 2012).
Pengukuran kinerja pelaksanaan anggaran satker seharusnya juga diukur dari sisi kualitas belanja, termasuk dampak dari capaian output belanja. Bagaimana kita melihat contoh pada pembangunan bandara Kertajati di Majalengka, pelabuhan Patimban di Subang, kereta cepat Jakarta-Bandung, serta pembangunan smelter freeport di Gresik. Proyek yang merupakan output belanja pemerintah tersebut, dari sisi outcome kemungkinan tidak optimal atau berpotensi membebani APBN untuk biaya pemeliharaan dan operasional setiap tahun.
Dalam rangka pelaksanaan pengukuran kualitas belanja, pemerintah perlu memperhatikan tiga faktor, yaitu: efisiensi, efektivitas, dan transparansi publik. Kerangka penilaian kualitas belanja pemerintah sebaiknya disusun secara sederhana dan mudah diimplementasikan. Penulis mengusulkan beberapa indikator penilaian sebagai berikut:
No. | Faktor | Indikator | Tools |
I. | Efisiensi |
a. Efisiensi operasional. Mengacu pada penyediaan layanan publik dengan biaya yang wajar. (unit cost layanan).
b. Efisiensi alokatif. Kesesuaian antara belanja satker dengan prioritas strategis pemerintah (Tingkat relevansi belanja). |
|
II. |
Efektivitas |
a. Ketercapaian program/impact Sejauh mana output belanja pemerintah mencapai tujuan atau hasil yang diharapkan. (Tingkat kemanfaatan output belanja) |
|
III. |
Transparansi publik |
a. Ketersediaan informasi kinerja anggaran dan belanja. Informasi ini disusun untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
|
|
b. Audit publik. Meliputi pelacakan belanja pemerintah oleh masyarakat, bagaimana pemerintah benar-benar membelanjakan anggaran secara benar dan tepat. (Hasil audit publik) |
|
Khusus di belanja pempus, penulis mengusulkan untuk dilakukan penilaian kualitas belanja untuk satker sejenis pada level Unit Akuntasi Pembantu Pengguna Anggaran- Wilayah (UAPPAW). Pertama, kita harus mengelompokkan satker berdasarkan UAPPAW atau Bagian Anggaran. Misalnya, Kementerian Hukum dan HAM terdiri dari satker sejenis yaitu beberapa Lapas, Polri terdiri dari beberapa Polres, dan Kementerian Agama terdiri dari beberapa Kantor Kemenag, serta Kementerian ATR- BPN yang terdiri dari BPN di setiap kabupaten/kota.
Kedua, dilakukan penilaian atas tiga faktor, yaitu efisiensi, efektivitas, dan transparansi publik. Pada sisi efisiensi, pengukuran kualitas belanja satker per UAPPAW atau per eselon II yang memiliki karakteristik struktur, proses bisnis, dan output layanan yang cenderung sejenis. Hal ini memungkinkan pemerintah dapat melakukan benchmarking unit cost barang/layanan yang dihasilkan antar satker sejenis. Dalam penghitungannya, kita dapat mengadopsi implementasi dan sistem penghitungan unit cost output barang/layanan pada satker pemerintah dengan metode activity based costing/ABC yang telah dilakukan oleh Akbar dan Priyatmo (2019).
Pada sisi transparansi publik, penulis mengadaptasi konsep The Participatory Public Expenditure Management/PPEM yang mengambil praktek di Dominika. Dua bidang dari PPEM meliputi pelacakan pengeluaran anggaran dan pemantauan kinerja organisasi sektor publik oleh masyarakat. Pemerintah Dominika mengambil tindakan di semua bidang ini (The World bank, 2012).
Ketiga, hasil penilaian kualitas belanja satker tersebut disusun dalam bentuk laporan tahunan per UAPPAW oleh setiap Kanwil Ditjen Perbendaharaan (DJPb). Pununjukkan Kanwil DJPb ini sudah sesuai dengan PMK Nomor 262 tahun 2016 bahwa Kanwil DJPb memiliki tugas mempunyai tugas melaksanakan pembinaan, supervisi, monitoring, evaluasi, serta analisis kajian di bidang perbendaharaan. Diperkuat bahwa Kanwil DJPb merupakan salah satu unit vertikal Kementerian Keuangan yang memiliki unit kantor di setiap provinsi di Indonesia.
Kementerian Keuangan melalui Kantor Pusat DJPb, perlu melakukan kajian dan penyusunan regulasi serta standar format kertas kerja penilaian kualitas belanja pemerintah. Diharapkan dengan dilakukan pengukuran kualitas belanja pemerintah pada satker pempus di tingkat UAPPAW dapat menjadi contoh sehingga dilaksanakan juga di satker pemda oleh Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD).
Ke depan, dengan pemerintah melaksanakan pengukuran kualitas belanja yang dilaksanakan di satker pempus dan pemda di setiap Provinsi oleh Kanwil DJPb dan BPKAD maka setiap proyek belanja pemerintah akan dapat dievaluasi. Misalnya, evaluasi terhadap pembangunan 143 unit pasar rakyat dari 140 kabupaten/kota berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 54 Tahun 2020. Hasil evaluasi tersebut dapat dijadikan bahan solusi untuk optimalisasi aset dan perbaikan perencanaan program berikutnya. Hal ini dapat membantu memastikan belanja APBN dan APBD dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif sehingga mempercepat peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyakarat di Indonesia.
Referensi
- Akbar, R., Pilcher, R. and Perrin, B. (2012), "Performance measurement in Indonesia: the case of local government", Pacific Accounting Review, Vol. 24 No. 3, pp. 262-291 https://doi.org/10.1108/01140581211283878
- Mardiasmo (2018). Akuntansi Sektor Publik. Andi: Yogyakarta.
- Priyatmo and Akbar (2019). Analysis of the prospect of implementing activity-based costing (ABC) in governmental organisations: A study at the state treasury office Jakarta IV. Journal of Accounting and Investment 20 (1), 1-22. https://journal.umy.ac.id/index.php/ai/article/view/4249/pdf_83
- The World Bank (2012). Improving the Quality of Public Expenditure in the Dominican Republic. Washington, DC. © World Bank. Diakses pada tanggal 23 Maret 2022, dari link: https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/27801
- The World Bank (2020). Indonesia Public Expenditure Review: Spending for Better Results. Diakses pada tanggal 01 April 2022, dari link: https://www.worldbank.org/en/country/indonesia/publication/indonesia-public- expenditure-review