O P I N I

Disclaimer: “Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan instansi/organisasi manapun.

Kajian SiLPA APBD Pemerintah Daerah di Aceh: Benarkah Akibat Terhambatnya Penyerapan APBD?

Oleh: Rahmad Dian Afryansyah, Kasi PSAPP Kanwil DJPb Provinsi Aceh

 

Penghujung tahun lalu, permasalahan Sisa Lebih Pelaksanaan Anggaran (SiLPA) menjadi isu hangat di tengah masyarakat Aceh. Hal ini disebabkan oleh makin meningkatnya jumlah SiLPA dari APBD seluruh pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota yang ada di Aceh dari tahun ke tahun. Sampai dengan akhir tahun 2021, saldo SiLPA seluruh pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota mencapai Rp5,31 Triliun. Hal ini merupakan jumlah yang sangat besar jika dibandingkan dengan total belanja APBD 2020 yang berjumlah Rp41,94 Triliun (12,66% dari belanja).

 Adapun pengertian dari SiLPA adalah selisih lebih/kurang antara realisasi penerimaan dan pengeluaran APBN selama satu periode pelaporan. Dikutip dari pernyataan Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu, dalam penyusunan APBD angka SILPA ini seharusnya sama dengan nol. Artinya bahwa penerimaan pembiayaan harus dapat menutup defisit anggaran yang terjadi. Misalnya dalam APBD terdapat defisit anggaran sebesar Rp100 miliar, ditutup dengan penerimaan pembiayaan (pembiayaan netto) sebesar Rp100 miliar, maka SILPA-nya adalah Rp0, tetapi jika terdapat defisit anggaran sebesar Rp100 miliar dan ditutup dengan penerimaan pembiayaan (pembiayaan netto) sebesar Rp120 miliar (SILPA Positif), yang berarti bahwa secara anggaran masih terdapat dana dari penerimaan pembiayaan Rp20 miliar yang belum dimanfaatkan untuk membiayai Belanja Daerah dan/atau Pengeluaran Pembiayaan Daerah. SILPA Positif ini perlu dialokasikan untuk menunjang program-program pembangunan di daerah. Oleh karena itu, makin besar jumlah SiLPA maka makin besar pula jumlah yang belum dimanfaatkan oleh Pemda untuk membiayai Belanja Daerah dan/atau Pengeluaran Pembiayaan Daerah. 

Kondisi SiLPA yang sangat besar pada Provinsi Aceh ini tentunya berdampak kurang baik bagi masyarakat Aceh karena berarti penyerapan anggaran belanja yang dapat menjadi stimulus ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi kurang maksimal. Ada banyak kas menganggur (idle cash) yang seharusnya dapat dimaksimalkan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat Aceh. 

Karena itu, perlu analisis terkait SiLPA seluruh pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota agar Penulis dapat memberikan saran dan rekomendasi untuk perbaikan kinerja APBD seluruh pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota di Aceh pada masa mendatang.

Berikut adalah rincian saldo SiLPA seluruh pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota di Aceh dari tahun 2017 sampai dengan 2021: 

Tabel 1 Rincian Saldo SiLPA Pemerintah Daerah di Aceh Tahun 2017 s.d. 2021

Dalam miliar rupiah

Pemda

2017

2018

2019

2020

2021

Gayo Lues

62,13

49,40

7,05

3,56

4,13

Aceh Selatan

40,38

49,29

21,95

5,55

32,77

Aceh Tenggara

93,71

15,21

9,49

6,42

4,70

Bener Meriah

2,54

1,66

5,35

9,64

32,26

Subulussalam

2,08

3,49

10,76

11,00

4,82

Aceh Singkil

4,13

13,80

23,31

13,62

36,72

Langsa

23,55

37,79

16,05

16,30

31,42

Nagan Raya

11,79

6,89

5,31

16,78

32,33

Banda Aceh

79,27

29,52

12,35

19,35

10,46

Aceh Tamiang

17,83

55,04

18,81

24,59

93,03

Pidie Jaya

423,79

80,40

104,65

35,91

29,20

Lhokseumawe

55,33

26,96

16,99

42,05

48,48

Aceh Jaya

29,14

62,97

75,16

53,37

55,93

Aceh Tengah

22,99

50,93

51,38

57,86

34,49

Bireuen

65,69

58,02

73,21

74,91

81,81

Aceh Utara

47,42

48,83

18,25

78,77

156,28

Aceh Timur

79,18

90,80

52,89

89,92

63,21

Simeulue

120,51

100,29

69,91

95,66

59,48

Aceh Besar

216,03

144,82

131,70

100,21

36,10

Sabang

76,87

94,69

84,60

109,85

48,75

Aceh Barat

53,50

87,43

122,48

113,14

108,97

Aceh Barat Daya

102,82

166,45

151,12

119,91

113,44

Pidie

203,39

159,95

127,69

137,89

258,16

Provinsi Aceh

908,67

2.954,46

2.846,14

3.969,62

3.933,68

Total

2.742,77

4.389,08

4.056,59

5.205,88

5.310,62

 

Berdasarkan tabel 1 di atas, terlihat bahwa saldo SiLPA tiap-tiap pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota di Aceh cukup besar. Adapun nilai SiLPA terbesar berada di Pemda Provinsi Aceh dengan nilai sebesar Rp3,93 triliun. Jumlah ini terus mengalami tren peningkatan dari tahun ke tahun meskipun pada tahun 2019 sempat mengalami sedikit penurunan. Pemda lain yang juga mengalami tren peningkatan ialah Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Pidie, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Singkil, Kota Langsa, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kota Lhokseumawe.

Selanjutnya berdasarkan data tersebut, analisis lebih lanjut dengan membandingkan antara SiLPA dengan pagu belanja tiap-tiap pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota di Aceh untuk mengukur porsi penerimaan pembiayaan dari SILPA tahun sebelumnya terhadap total belanja. Hal ini perlu dilakukan karena terdapat kecenderungan penggunaan SiLPA tahun anggaran sebelumnya menjadi penerimaan pembiayaan di tahun anggaran berjalan. Porsi penggunaan SILPA yang tinggi dapat mengindikasikan lemahnya perencanaan maupun lambatnya penyerapan anggaran di tahun sebelumnya. Adapun rincian datanya ialah sebagai berikut:

Tabel 2 Porsi Penggunaan SiLPA terhadap Belanja Tahun 2017 s.d. 2021

Porsi SILPA thd Belanja

2017

2018

2019

2020

2021

Aceh Besar

12,35%

8,41%

7,15%

5,25%

5,30%

Pidie

9,81%

8,07%

5,93%

6,73%

6,92%

Aceh Utara

1,98%

2,17%

0,69%

3,13%

3,28%

Aceh Timur

3,97%

5,68%

2,67%

5,02%

4,89%

Aceh Selatan

2,60%

3,64%

1,48%

0,40%

0,42%

Aceh Barat

3,95%

7,19%

8,96%

8,51%

8,42%

Aceh Tengah

1,53%

4,12%

3,71%

4,17%

4,28%

Aceh Tenggara

6,97%

1,28%

0,70%

0,48%

0,50%

Simeulue

12,25%

11,86%

7,09%

11,73%

10,96%

Aceh Singkil

0,47%

1,86%

2,63%

1,58%

1,53%

Bireuen

3,18%

3,29%

3,80%

3,97%

3,82%

Aceh Barat Daya

10,95%

20,45%

15,07%

12,41%

13,28%

Gayo Lues

6,33%

5,66%

0,71%

0,39%

0,41%

Aceh Jaya

2,88%

7,95%

8,15%

5,91%

5,80%

Nagan Raya

1,03%

0,70%

0,47%

1,48%

1,55%

Aceh Tamiang

1,39%

4,89%

1,43%

2,06%

2,10%

Bener Meriah

0,25%

0,19%

0,52%

0,99%

0,97%

Pidie Jaya

43,59%

6,72%

10,23%

3,49%

3,77%

Banda Aceh

6,47%

2,51%

1,00%

1,52%

1,60%

Sabang

12,48%

15,80%

12,51%

17,31%

16,16%

Langsa

2,31%

4,77%

1,73%

1,89%

1,84%

Lhokseumawe

6,36%

3,48%

1,95%

5,20%

5,35%

Subulussalam

0,28%

0,62%

1,51%

1,82%

1,69%

Provinsi Aceh

3,35%

7,37%

18,71%

21,49%

29,01%

 Berdasarkan tabel 2 di atas terlihat bahwa untuk tahun 2021 porsi penggunaan SiLPA terhadap belanja tiap-tiap pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota di Aceh cukup besar. Pada beberapa pemda, nilainya bahkan lebih dari 10% yaitu Kabupaten Simeulue (10,96%), Kabupaten Aceh Barat Daya (13,28%), Kabupaten Sabang (16,16%), dan Pemprov Aceh (29,01%). Menurut Suharna (2015) peningkatan SiLPA terjadi akibat lemahnya perencanaan dan rendahnya penyerapan anggaran. Kondisi pada tiap-tiap pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota di Aceh sebagaimana tabel di atas menunjukkan adanya potensi kelemahan dalam perencanaan dan rendahnya penyerapan anggaran tersebut.

Untuk menganalisis lebih lanjut terkait faktor kelemahan dalam perencanaan dan rendahnya penyerapan anggaran tersebut, penulis menganalisis data penyerapan anggaran seluruh pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota di Aceh dari tahun 2017 sampai dengan 2021. Analisis ini dilakukan dengan melakukan perbandingan antara data pendapatan, belanja, dan SiLPA.  Adapun datanya dapat dilihat pada grafik sebagai berikut:

Grafik 1 Tren Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah di Aceh

 

Grafik 2 Persentase Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah di Aceh

 

Grafik 3 SiLPA Pemerintah Daerah di Aceh Tahun 2017 s.d. 2021

Dari ketiga grafik di atas, dapat disampaikan bahwa terdapat kecenderungan bahwa pendapatan selalu lebih tinggi dari belanja (kecuali tahun 2019). Persentase capaian target pendapatan selalu lebih tinggi dari persentase penyerapan anggaran belanja, dan APBD selalu berada dalam kondisi surplus (kecuali tahun 2019). Di sisi lain, Pemda justru selalu menganggarkan penggunaan SiLPA tahun sebelumnya di tahun berjalan. Hal ini menyebabkan saldo SiLPA makin meningkat dari tahun ke tahun. 

Berdasarkan ketiga kondisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pendapatan Pemda cukup untuk membiayai belanja. Selain menunjukkan bahwa pendapatan Pemda cukup untuk membiayai belanja, informasi lain yang bisa kita peroleh dari poin-poin di atas ialah penyerapan anggaran yang kurang maksimal. Realisasi anggaran belanja hanya berada pada kisaran 88% sd 92% sehingga APBD cenderung selalu berada dalam kondisi surplus (kecuali tahun 2019). 

Halim (2014) menyatakan bahwa penilaian keberhasilan pelaksanaan anggaran dapat dilakukan dengan menilai tingkat penyerapan anggarannya. Pelaksanaan anggaran yang ideal ditandai dengan penyerapan anggaran yang tinggi disertai dengan output (keluaran) dan outcome (hasil) yang optimal. Penyerapan anggaran yang rendah menunjukkan bahwa Pemda tidak mampu untuk menyerap anggaran belanja secara maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.  

Lebih lanjut, hasil penelitian Paris Review (dalam Rozai dan Subagyo, 2015) menyatakan bahwa ada dua sudut pandang terkait dengan penyerapan anggaran. Pertama, dengan membandingkan anggaran dengan realisasinya secara sederhana. Kedua, dengan mengacu pada proporsionalitas persentase penyerapan anggaran, yakni dengan melihat kecenderungan persentase penyerapan anggaran di setiap triwulan. Fenomena yang terjadi selama ini ialah penyerapan anggaran cenderung rendah di triwulan I sampai dengan III, tetapi melonjak di triwulan IV. 

Kegagalan target penyerapan anggaran akan mengakibatkan hilangnya manfaat belanja karena dana yang telah dianggarkan tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal sehingga ada dana menganggur. Apabila dana yang dianggarkan dapat dimaksimalkan, keterbatasan sumber daya yang dimiliki negara dapat dioptimalkan untuk mendanai kegiatan strategis. Jika dianalisis lebih lanjut berdasarkan realisasi belanja per triwulan dari tahun 2018 sampai dengan 2020 APBD Pemda di Aceh, diperoleh grafik sebagai berikut:

Grafik 4 Persentase Realisasi Belanja Pemerintah Daerah di Aceh

Grafik di atas menunjukkan bahwa tren belanja Pemda di Aceh mengalami penumpukan di akhir tahun. Penyerapan anggaran belanja cenderung sangat lambat di Triwulan I sampai dengan Triwulan III dengan rata-rata persentase realisasi per triwulan berturut-turut ialah 6,43%, 25,43%, dan 46,74%. Di sisi lain, peningkatan belanja di Triwulan IV bahkan mencapai 47%. Hal ini tentunya kurang baik jika ditinjau dari fungsi anggaran sebagai stimulus ekonomi masyarakat Aceh. Realisasi anggaran yang hanya menumpuk di akhir tahun akan menyebabkan efek counter cyclical APBD menjadi tidak optimal. APBD sebagai instrumen fiskal sekaligus instrumen untuk melakukan counter cyclical, seharusnya dapat berfungsi sebagai stimulus untuk terus mendorong belanja negara yang efektif, inklusif, terukur dan memiliki dampak langsung kepada masyarakat dan ekonomi. Dengan waktu yang sangat terbatas (hanya satu triwulan) dan sisa anggaran yang masih sangat banyak (di atas 50% dari pagu) tentunya akan sangat berpotensi menyebabkan adanya sisa anggaran di akhir tahun.

Kondisi di atas juga menunjukkan lemahnya perencanaan APBD yang disusun oleh Pemda di awal tahun. Rendahnya penyerapan anggaran ini mengakibatkan potensi banyaknya rencana penggunaan anggaran yang telah dicanangkan pada awal tahun menjadi tidak terlaksana. Pemda seakan tidak memiliki target/master plan yang akurat terkait dengan rencana penyerapan anggaran tahap per tahap sepanjang tahun berjalan. Selain itu, kurang optimalnya penyerapan anggaran ini juga membuat penggunaan SiLPA yang sudah direncanakan di awal tahun menjadi tidak terpakai.

Faktor-faktor kelemahan dalam perencanaan dan rendahnya penyerapan anggaran di atas akan menyebabkan saldo SiLPA makin meningkat dari tahun ke tahun jika terus berlangsung.

Saran penulis adalah perlu adanya suatu perencanaan yang baik dalam penyusunan APBD termasuk target penyerapan yang jelas dan proporsional per triwulan agar penyerapan anggaran tidak menumpuk di akhir tahun dan semua rencana pembangunan yang telah dirancang dapat dieksekusi secara optimal. Penulis merekomendasikan target masing-masing triwulan berturut-turut sebesar 15% untuk Triwulan I, 40% untuk Triwulan II, 60% untuk Triwulan III dan 100% untuk Triwulan IV.

Dari sisi pelaksanaan APBD dapat dilakukan optimalisasi dan percepatan realisasi belanja melalui percepatan penyelesaian tagihan, penyederhanaan mekanisme kontrak, dan peningkatan monitoring dan evaluasi (monev). Khusus terkait monev, Kementerian Keuangan memiliki Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran (IKPA) yang digunakan sebagai media untuk melakukan monev secara kontinu sebagai sarana pengambilan kebijakan dalam hal terjadi kendala yang menghambat penyerapan anggaran belanja APBN. Dapat disampaikan bahwa seluruh satuan kerja para pengelola APBN di Aceh telah sukses meraih peringkat pertama tingkat nasional untuk Nilai IKPA pada Triwulan III 2022. Kanwil DJPb Provinsi Aceh berharap Pemerintah Daerah di Aceh dapat mereplikasi metode tersebut untuk diterapkan dalam monev dan pengukuran kinerja APBD di daerah masing-masing. Langkah awal dapat dimulai dengan beberapa indikator sebagai pilot project. Hal ini dilakukan demi perbaikan kinerja pelaksanaan APBD, sehingga manfaatnya bisa dirasakan dengan baik oleh masyarakat Aceh.

 

Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi




DAFTAR PUSTAKA

 

Halim, Abdul dan Muhammad Syam Kusufi. 2014. Teori, Konsep dan Aplikasi Akuntansi Sektor Publik: dari Anggaran hingga Laporan Keuangan, dari pemerintah Hingga Tempat Ibadah. Edisi ke-2. Jakarta: Salemba Empat.

 

Rozai, M.A dan Subagiyo L. 2015. “Optimalisasi Penyerapan Anggaran dalam Rangka Pencapaian Kinerja Organisasi (Studi Kasus Pada Inspektorat Kabupaten Boyolali)”. Jurnal Manajemen Sumber Daya Manusia. 9,1 (Juni): 73.

 

Suharna, Imam. 2015. “Analisis Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Pada APBD Pemerintah Kabupaten Bulungan Propinsi Kalimantan Utara Tahun Anggaran 2007 S.D 2013”

 

Hendartono, Agus. 2021. “Analisis Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran Pemerintah Daerah (IKPAD) Atas APBD Provinsi/Kabupaten/Kota di Aceh TA 2016 sd 2021”

 

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Prijadi Praptosuhardo II Lt. 1
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat 10710
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

 

 

IKUTI KAMI

 

PENGADUAN

 

 

Search

Kantor Wilayah Provinsi, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) 

(Daftar Kantor Vertikal DJPb Selengkapnya ..)