Jl. Wahidin II No.3, Ps. Baru, Kecamatan Sawah Besar, Kota Jakarta Pusat

Wildan Alfandi Yahya

ASN pada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Tipe A1 Jakarta II

 

Pimpinan dan manajer organisasi memiliki tanggung jawab untuk memastikan kesejahteraan mental dan fisik para pegawainya. Employee harm, yang mencakup penurunan kesehatan psikologis, sosial, dan kesejahteraan pegawai, dapat menyebabkan berbagai dampak negatif, termasuk peningkatan stres, penurunan produktivitas, dan ketidakpuasan kerja. Faktor-faktor seperti kondisi kerja yang buruk, beban kerja yang berlebihan, dan lingkungan kerja yang toksik dapat menyebabkan employee harm. Oleh karena itu, penting bagi manajemen untuk mengidentifikasi dan mengatasi masalah ini.

Pimpinan dan organisasi yang membutuhkan tenaga kerja untuk aktivitas operasionalnya perlu memperhatikan kondisi pekerjanya terutama terkait kesehatan mental seperti stress dalam bekerja. Menurut Dattani, Roser, dan Ritchie (2018), 12 miliar hari kerja hilang per tahun karena stress, depresi dan anxiety yang merugikan hingga 1 trilliun US$. Employee harm merujuk pada berkurangnya kesehatan psikologis, sosial dan kondisi terkait pekerjaan serta kondisi para stakeholder (Prins, Peggy, Stuer, & Gielens, 2020), antara lain manajemen, pegawai, dan masyarakat luas.

Studi Global Burden of Disease (GBD) 2021 menunjukkan bahwa gangguan depresi menyebabkan kehilangan tahun hidup sehat terbesar pada kelompok usia produktif. Ini menunjukkan perlunya perhatian terhadap kesejahteraan mental di tempat kerja.

Dialog sosial antara pimpinan dan pegawai menjadi kunci untuk mengatasi perselisihan dan memediasi masalah-masalah yang timbul. Dengan memperjelas masalah melalui dialog, solusi bersama dapat dicapai. Hal ini dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan pegawai. Namun, lingkungan sosio-ekonomi yang berubah dan faktor-faktor pegawaian seperti globalisasi dan kemajuan teknologi telah mempengaruhi dinamika dialog sosial. Oleh karena itu, revitalisasi dialog sosial menjadi penting untuk mengatasi perubahan ini dan meminimalkan employee harm.

Employee harm dapat muncul dalam berbagai dampak negatif, termasuk meningkatnya stres dan burnout, berkurangnya produktivitas, dan menurunnya kepuasan kerja, serta berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental. Employee harm dapat disebabkan beragam faktor seperti kondisi kerja yang buruk, beban kerja yang berlebihan, dukungan dan sumber daya yang tidak mencukupi, tidak adanya keamanan kerja, dan lingkungan kerja yang buruk. Penting bagi manajemen untuk mengenali dan menyelesaikan permasalahan ini untuk mencegah dan memitigasi employee harm dan menjaga tenaga kerja yang produktif dan sehat.

Cooperative industrial relations dan high-performance working systems telah menunjukkan dampak positif dalam mengurangi employee harm. Sistem ini berfokus pada peningkatan komunikasi dan kolaborasi antara pekerja dan manajemen, dan menciptakan lingkungan kerja yang supportif dan inklusif.

Salah satu penelitian menemukan bahwa cooperative industrial relations yang melibatkan pekerja dan manajemen dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kepuasan kerja dan mengurangi tingkat stres dan burnout di antara para pekerja. Hal ini dikarenakan pegawai merasa lebih dihargai dan memberdayakan pekerja saat mereka dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, dan memiliki suara dalam penyusunan kebijakan dan aturan yang mempengaruhi pekerjaan mereka.

High-Performance Working Systems (HPWS) merupakan penerapan sistem pengelolaan sumber daya untuk meningkatkan kemampuan, komitmen, dan produktivitas pegawai (Datta, Guthrie, dan Wright, 2005). Akumulasi pengetahuan, keahlian, dan kemampuan seseorang pada sumber daya manusia pada organisasi merupakan definisi human capital (Alpkan, Bulut, Gunday, Ulusoy, dan Kilic, 2010).

Social dialogue juga memiliki pendekatan pada proses terkait tingkat efisiensi yang tinggi. Hal ini dikarenakan proses social dialogue yang lambat, kompleks, konservatif, dan terlalu formal. Hubungan yang efisien dibangun pada tingkat formal dan informal (Garcia, Pender, Elgoibar, Munduate, dan Euwema, 2015).

Employee harm memerlukan perhatian pada mitigasi masalah kesehatan terkait pekerjaan untuk mendorong kesehatan pekerja dengan faktor negatif eksternal atau sudut pandang bahaya (Stankeviciute dan Savaneviciene, 2014). Dalam konteks ini, Cooperative Industrial Relations (CIR) dan High-Performance Working System (HPWS) memainkan peran penting dalam mengurangi employee harm. CIR menekankan kerjasama antara pimpinan organisasi dan pegawai untuk mencapai tujuan bersama, sementara HPWS menekankan pada sistem kerja yang efisien dan efektif untuk meningkatkan kinerja. Kombinasi dari kedua pendekatan ini dapat membantu menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik, mengurangi stres, dan meningkatkan kesejahteraan pegawai.

Dapat disimpulkan, cooperative industrial relations dan high-performance working systems dapat berperan penting dalam mengurangi employee harm. Melalui peningkatan komunikasi dan kolaborasi antara pekerja dan manajemen, serta penciptaan lingkungan kerja yang mendukung dan inklusif, employee harm dapat diminimalisir. Selain itu, melalui social dialogue, institusi dapat lebih memahami dan merespon kebutuhan dan kekhawatiran pekerja mereka, sehingga menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan produktif.


* Tulisan ini sepenuhnya merupakan pendapat penulis dan tidak mencerminkan pandangan/kebijakan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Jakarta II

Daftar rujukan:

Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME). Global Burden of Disease 2021: Findings from the GBD 2021 Study. Seattle, WA: IHME, 2024.

Datta, D. K., Guthrie, J. P., & Wright, P. M. (2005). Human Resource Management and Labor Productivity: Does Industry Matter? Academy of Management Journal, 48(1), 135–145.

Dattani, S., Roser, M., & Ritchie, H. (2018, April). Mental Health. Diambil kembali dari ourworldindata: https://ourworldindata.org/mental-health

Deery, S. J., & Iverson, R. D. (2005). Labor-management cooperation: Antecedents and impact on organizational performance. . Industrial & Labor Relations Review, 58(4), 588–609.

Dhakiri, M. H. (2019, Februari 18). Menaker Ingin Pengusaha dan Pekerja Perkuat Dialog Sosial. Diambil kembali dari kompas.com: https://ekonomi.kompas.com/read/2019/02/18/165142326/menaker-ingin-pengusaha-dan-pekerja-perkuat-dialog-sosial

Eileen, A. (2013). The impact of new forms of work organization on workers. Dalam G. Anthony, J. Belanger, P.-A. Lapointe, & G. Murray, Work and employment in the high performance workplace (hal. 120). Oxfordshire: Routledge.

ENA. (2004). Dialogue social et globalisation. Séminaire de la promotion ‘Romain Gary. Paris: ENA, Direction des études.

Eurofound. (2015). Third European Company Survey – Overview report: Workplace practices – Patterns, performance and well-being. Luxembourg: Publications Office of the European Union.

European Commission. (2015). A new start for social dialogue. Brussels: Social Europe.

European Foundation. (2008). Wage flexibility. Dublin: European Foundation.

Garcia, A. B., Pender, E., Elgoibar, P., Munduate, L., & Euwema, M. (2015). Employee Representatives in European Organizations. Dalam M. Euwema, L. Munduate, A. B. Garcia, P. Elgoibar, & E. Pender, Promoting Social Dialogue in European Organizations (hal. 1-17). Dordrecht: Springer International Publishing.

Peta Situs   |  Email Kemenkeu   |   FAQ   |   Prasyarat   |   Hubungi Kami

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Djuanda I Lt. 9
Gedung Prijadi Praptosuhardo II Lt. 1 Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat 10710
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

IKUTI KAMI

Search