O P I N I

Disclaimer: “Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan instansi/organisasi manapun.

Memahami Definisi SILPA

  

Oleh: Pringadi Abdi Surya

Bila harus mendedahkan niat di balik suatu kebijakan, terpaksa aku akan mengingat Ragnar Lothbrok. Pahlawan bangsa Nordik itu harus dikepung rasa curiga dari rakyatnya, bahkan sahabatnya sendiri, Floki, ketika ia minta dibaptis saat gagal menyerbu Paris. Didera luka yang parah, Ragnar dikira mati, dan hanya Bjorn anaknya, yang mengetahui bahwa Ragnar hanya berpura-pura mati agar bisa memasuki pusat kota dan memenangkan perang. Visi Ragnar pada masa depan bangsa Nordik yang selama ini terbelakang dan terjerumus pada perang saudara juga tidak mampu dipahami oleh banyak orang.

Ciri serupa selalu terjadi pada banyak penguasa. Awam cenderung sulit memahami niatan baik dan malah mengkritik sesuatu yang tidak dipahaminya. Meski di sisi lain, penguasa pada alam demokrasi selalu berusaha memperbaiki pola komunikasi publiknya, ketidakpahaman yang berpondasikan ketidakpercayaan selalu mementahkan penjelasan apa pun yang diberikan penguasa.

Di negeri kita, persoalan utang selalu saja dibahas bersayap. Melebar ke mana-mana tanpa memahami duduk utama perkaranya. Protes soal utang yang terbaru mengarah ke keberadaan SILPA dalam realisasi APBN 2020 yang mencapai Rp234,7 Triliun. Dikira, persoalannya adalah ironi, kenapa negara harus berutang kalau nyatanya pada akhir tahun malah surplus sedemikian banyak?

 

Pertanyaannya, apakah SILPA itu? Apakah SILPA sama dengan surplus anggaran?

Masih banyak orang yang belum memahami anggaran dan penganggaran itu sendiri. Struktur anggaran kita secara garis besar dibedakan menjadi pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Anggaran itu disusun dengan menyusun belanja lalu memadupadankannya dengan pendapatan. Selisih antara belanja dan pendapatan itulah yang kemudian ditutup oleh pembiayaan.

Pada titik ketika APBN disahkan, jangan bayangkan ada gelimang uang di kas negara. APBN masih berupa janji. Dan janji APBN itu adalah janji yang paling sakral—untuk memenuhi kewajiban negara menyejahterakan masyarakat lewat belanja APBN (meski pada kenyataannya uang senilai ~2700 triliun itu belum ada).

Di sini juga pertanyaan masyarakat tentang kenapa penyerapan anggaran menjadi target kinerja birokrat terjawab. Sederhananya karena apa yang sudah dianggarkan itu mengikat, kegiatannya harus dilakukan, harus ada output-nya, yang dikenal juga sebagai makna dari Anggaran Berbasis Kinerja. Istilah “penghematan” dalam anggaran bukanlah tentang tidak terealisasinya kegiatan, tetapi adanya efisiensi biaya untuk melaksanakan satu kegiatan yang sama sesuai dengan yang direncanakan.

Penyerapan atau realisasi belanja APBN tersebut juga adalah stimulus fiskal. Apalagi di masa pandemi, ketika konsumsi dan investasi terhambat, satu-satunya yang bisa diharapkan untuk menggerakan roda perekonomian adalah belanja Pemerintah. Karena itu di berbagai kesempatan, kita menyimak Presiden tak bosan-bosan berteriak tentang kecepatan dalam realisasi belanja tersebut.

Bayangkan, pada awal tahun, Pemerintah sudah memiliki kewajiban belanja tersebut. Hari kerja pertama pada tahun baru, mutlak ada kewajiban pembayaran gaji ASN. Apakah pada hari yang sama, hari kerja pertama itu, juga ada uang masuk/pendapatan ke kas negara bernilai sama dengan jumlah uang yang harus dikeluarkan? Tentu tidak. Lalu uangnya dari mana?

SILPA adalah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, yaitu selisih antara defisit anggaran dengan pembiayaan netto. Ada pembiayaan yang sengaja direalisasikan pada akhir tahun sebelumnya untuk operasionalisasi awal tahun.

Dalam keadaan normal, keberadaan SILPA ini bukan tanpa kritik. Sebab, pada tahun 2019, angka SILPA juga mencapai Rp46 triliun. Angka ini dianggap overfinancing.

Kita kerap hanya menatap anggaran pada satu bangunan besar APBN. Padahal, ada yang namanya transaksi berjalan. Di sini peran pengelolaan kas menjadi penting karena arus kas masuk tidak selalu linier dengan arus kas keluar. Banyak faktor seperti periode tahun ajaran pendidikan yang tidak sama dengan periode tahun anggaran, siklus bisnis dan perpajakan yang berbeda dengan puncak-puncak belanja di hari besar keagamaan atau akhir tahun anggaran membuat adanya selisih lebih (surplus) dan kurang (defisit) pada transaksi berjalan.

Kondisi ini yang sebenarnya selalu menjadi ancaman dalam pengelolaan kas. Cash Flow Shortage namanya. Mulai awal triwulan IV selalu menjadi periode krusial karena pergerakan realisasi belanja lebih tinggi dari realisasi pendapatan. Di sinilah, defisit pada transaksi berjalan terjadi dan hal tersebut harus ditutup dengan utang untuk membiayai belanja Pemerintah. Realisasi pendapatan dari perpajakan sendiri biasanya baru masif masuk pada bulan Desember.

Terminologi defisit pada transaksi berjalan ini juga tidak sama dengan defisit anggaran. Defisit anggaran dihitung ketika satu tahun anggaran telah terlewati. Selisih total antara realisasi belanja dengan realisasi pendapatan menjadi defisit anggaran. Defisit pada transaksi berjalan ini samar-samar nampak dalam realisasi utang.

Pertanyaannya, manakah yang lebih besar antara realisasi utang dengan defisit anggaran? Bagi teman-teman yang penasaran, silakan buka realisasi APBN dalam beberapa tahun terakhir. Realisasi utang selalu lebih besar dari defisit anggaran. Salah satu sebabnya adalah defisit pada transaksi berjalan dan memang ada utang yang diterbitkan untuk membiayai belanja pada awal tahun berikutnya.

Maka sebenarnya, SILPA yang muncul kemudian adalah buah dari transaksi berjalan dan perencanaan untuk dapat membiayai tahun anggaran berikutnya. Pun juga ada alasan sebagai langkah antisipatif untuk menghadapi pelaksanaan anggaran di triwulan IV sebagai ancang-ancang apabila realisasi penerimaan perpajakan tidak memenuhi target.

Dari sini, jelas bahwa SILPA bukanlah surplus anggaran. Terminologi yang lebih dekat dengan surplus anggaran adalah SiLPA (dengan i kecil). SiLPA (dengan i kecil) adalah Sisa Lebih Perhitungan Anggaran, yaitu selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Namun, SiLPA yang seolah tampak seperti surplus anggaran. Padahal keduanya adalah terminologi yang berbeda. Surplus anggaran lebih didasarkan pada kejadian “tidak terserapnya anggaran” atau juga anggaran tersebut direncanakan untuk surplus.

Kembali lagi, selain Anggaran Berbasis Kinerja, kita menganut sistem penganggaran defisit yang memiliki karakteristik berbeda dengan penganggaran berimbang ataupun penganggaran surplus. Sistem ini selalu menuntut kebijakan fiskal yang ekspansif. Pemerintah selalu bergerak untuk melakukan banyak hal buat kesejahteraan rakyat.

Seperti Ragnar. Ragnar mengumpulkan kekuatan dari tahun-tahun sebelumnya untuk penyerangan pada musim di tahun berikutnya. Ragnar membuat banyak perahu, mengarungi lautan ke Barat meski dihadang badai hebat. Ada banyak uang yang harus dibelanjakan, bahkan nyawa melayang dikorbankan. Hanya demi sampai di daratan baru sebagai awal untuk masa depan yang lebih baik.

Begitu pun SILPA yang sangat besar saat ini—adalah bentuk carry over untuk belanja vaksin pada awal tahun agar kita mampu melewati peperangan menghadapi pandemi yang sudah merenggut banyak korban.

 

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Prijadi Praptosuhardo II Lt. 1
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat 10710
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

 

 

IKUTI KAMI

 

PENGADUAN

 

 

Search

Kantor Wilayah Provinsi, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) 

(Daftar Kantor Vertikal DJPb Selengkapnya ..)